KAWIN SAPASUKUAN DALAM PERSPEKTIF ADAT MINANGKABAU V

Oleh : Drs. H. Muasri Rajo Mudo

Disampaikan pada Seminar Nasional Budaya
Senat Mahasiswa Fakultas Adab IAIN Imam Bonjol Padang



Bila disesuaikan dengan ketentuan diatas, pengertian sasuku menurut garis keturunan ibu (matrilineal) maka perkawinan sasuku ada yang diharamkan dan ada pula yang dihalalkan yaitu :

Perkawinan sasuku yang diharamkan adalah :
1. Saudara-saudaramu yang perempuan
2. Saudara-saudara ibumu yang perempuan
3. Anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan

Selain perkawinan sasuku yang diharamkan diatas, tentu halal mengawini perempuan sasuku lainnya. Larangan kawin sapasukuan dalam adat Minangkabau tidak dalam kontek halal dan haram. Kesepakatan untuk tidak kawin sapasukuan adalah soal raso jo pareso. Berdasarkan kekerabatan matrilineal masyarakat Minangkabau merasa badunsanak dengan orang-orang sekaum atau sapasukuan. Tagak banagari paga nagari, tagak basuku paga suku. Kawin sapasukuan dianggap kawin jo dunsanak. Pelanggaran terhadap aturan adat akan mendapat sanksi secara adat pula seperti sudah disebutkan diatas.

Sejalan dengan perjalanan waktu dan semakin bertambahnya jumlah masyarakat Minangkabau yang tersebar di berbagai luhak dan rantau diberlakukan pula aturan adat yang bersifat lokal, adat salingka nagari, pusako salingka kaum. Tentu saja aturan adat Minangkabau yang bersifat prinsip tetap dipertahankan. Prinsip adat salingka nagari ini juga berlaku di beberapa nagari. Di Painan Pesisir Selatan misalnya; kawin sapasukuan tidak dibolehkan kalau sa sako jo pusako. Jika tidak sa sako jo pusako, kawin sapasukuan dibolehkan.. Bagi yang melanggar akan mendapat sanksi adat. Di beberapa nagari lainnya tetap berprinsip kawin sapasukuan sama dengan kawin dengan dunsanak. Karena itu mereka melarang kaumnya untuk melakukan hal tersebut.

Aturan adat yang melarang kawin sapasukuan sebenarnya tidak perlu dipertentangkan dengan hukum Islam yang menjadi sandi ajaran adat karena adat tidak mengharamkan apa yang dihalalkan dan tidak menghalalkan apa yang diharamkan agama Islam. Aturan Islam jelas dan tegas dan bersanksi ukhrawi sementara aturan adat bersanksi duniawi. Aturan-aturan adat dalam berbagai hal sangat fleksibel seperti terungkap; Tagang bajelo-jelo, kandu badantiang-dantiang. Mandindiang indak sampai kalangiik, maampang indak sampai kasubarang. Ada ketegasan dalam toleransi, ada toleransi dalam ketegasan.

VI. Penutup

ABS-SBK sebagai adagium adat Minangkabau harus diterjemahkan dengan menempatkan Syara’ pada tempat yang menentukan karena bersifat tegas dan tidak bisa ditawar-tawar dan adat pada tingkat pelaksaan dengan memperhatikan kondisi-kondisi yang sesuai penuh kebijaksanaan.

Larangan kawin sapasukuan terutama nan sasako jo pusako jangan diartikan sebagai penentangan terhadap hukum-hukum Islam yang menjadi landasan hukum adat Minangkabau tetapi lihatlah sebagai keunikan suatu masyarakat yang menganut system kekerabatan matrilineal yang menjunjung tinggi harkat kaum perempuan dan memegang teguh rasa persaudaraan dengan pijakan raso jo pareso. the end


* Penulis adalah Kepala Museum Negeri Adityawarman
Provinsi Sumatera Barat

Post a Comment

Previous Post Next Post