Minim Antisipasi, Kasus DBD Mengancam Keselamatan Generasi

 


Oleh Riska Sapitri

Aktivis Muslimah

 

Berdasarkan Data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) hingga Minggu ke-52 tahun 2023 mencatat 98.071 kasus dengan 764 kematian. Pada 2024, angkanya diprediksi akan makin tinggi. Oleh karena itu, DBD harus menjadi perhatian bersama.


Masih data dari Kemenkes, total kasus DBD meningkat dari 73.518 kasus pada 2021 menjadi 131.265 kasus pada 2022. Kematian juga meningkat dari 705 pada 2021 menjadi 1.183 orang pada 2022. Mirisnya, 73% dari 1.183 kematian akibat DBD adalah anak-anak berusia 0—14 tahun. (media online Kompas, 3-2-2024).


Misalnya di Kalimantan Selatan, per 27 Januari 2024, sebanyak 1.062 orang terjangkit DBD dan 8 orang di antaranya meninggal dunia. Sebagian besar pasien yang dirawat adalah anak-anak usia 5—13 tahun. Dinkes Kalsel mengatakan bahwa Kasus DBD bulan ini meningkat signifikan dibandingkan dengan bulan yang sama pada tahun lalu. (media online Kompas, 1-2-2024)


Pencegahan DBD


DBD merupakan penyakit yang sangat berbahaya sebab tingkat kematiannya tinggi dan hingga kini belum ditemukan obatnya. Adapun penyebab tingginya DBD dipicu oleh musim hujan yang membuat jentik nyamuk sangat mudah berkembang biak pada genangan air yang dibiarkan di sekitar permukiman, seperti talang air, ban bekas, kaleng, botol, sampah, dsb.


Namun demikian, DBD adalah penyakit yang dapat dicegah yaitu melakukan pemberantasan sarang nyamuk dengan menguras tempat penampungan air, menutup tempat penampungan air dan mendaur ulang barang yang memiliki potensi untuk dijadikan sarang nyamuk Aedes aegypti (PSN 3M), vaksinasi khusus untuk DBD yaitu vaksin tetravalent dengue vaccine (TDV), dan penerapan teknologi Wolbachia yaitu penyisipan bakteri Wolbachia untuk mengendalikan replikasi virus dengue.


Mengapa DBD Kian Naik?


Berbagai upaya telah dilakukan seperti yang disebutkan diatas hingga fogging (pengasapan dengan bahan insektisida untuk membunuh nyamuk dewasa dengan skala yang luas) pun dilakukan. Namun, mengapa wabah DBD trennya malah kian naik? Setidaknya ada empat alasan.


Pertama, ruang hidup rakyat yang amat memprihatinkan. Data dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), mayoritas masyarakat Indonesia tidak bisa mengakses rumah layak huni. Jangankan untuk bisa menjaga lingkungannya untuk tetap bersih dan sehat, tinggal di rumah layak huni saja masih sulit. Bahkan, banyak dari mereka yang tidak memiliki rumah dan terpaksa menggelandang.


Kedua, mayoritas masyarakat Indonesia berpenghasilan rendah, alias miskin. Untuk bisa memenuhi asupan bergizi pada anak saja masih kesulitan, padahal agar penanganan DBD berhasil, imunitas tubuh harus terjaga, salah satunya dengan memberikan asupan bergizi pada anak. Sayangnya, jangankan asupan bergizi, untuk bisa makan kenyang saja masih kesusahan.


Ketiga, tidak adanya jaminan kesehatan yang mumpuni. BPJS bukanlah jaminan kesehatan sebab nyatanya rakyat masih harus membayar premi. Alhasil, masih banyak rakyat yang tidak mampu mengakses kesehatan dengan layak. Terlebih, birokrasi BPJS yang rumit sering kali menghambat terpenuhinya hak sehat bagi rakyat.


Kebijakan Kapitalistik


Melihat faktor di atas, maka pencegahan DBD tidak cukup hanya dengan melakukan penyuluhan, melainkan juga membutuhkan kekuatan ekonomi. Bagaimana rakyat bisa hidup sehat, hidup layak, menjaga lingkungannya dan asupan makanannya, jika ekonomi mereka lemah? Jangankan membersihkan genangan air, akses terhadap air bersih saja kesulitan.


Oleh karena itu, akar persoalan wabah DBD tidak bisa dilepaskan dari penetapan kebijakan yang kapitalistik. Sistem ekonomi yang kapitalistik menjadikan rakyat sulit mendapatkan seluruh kebutuhan dasarnya (sandang, pangan, papan). Sandang, jumlah gelandangan dan ODGJ yang tidak berpakaian masih banyak di negeri ini. Pangan, harga bahan pokok seperti beras meroket bahkan langka, tapi tidak dibarengi dengan kenaikan upah pekerja. Papan, kepemilikan rumah layak huni pun belum terpenuhi. Ini karena negara menyerahkan urusan pengadaan perumahan kepada swasta. Jika sudah swasta, orientasinya adalah keuntungan, bukan lagi terpenuhinya kebutuhan rakyat akan papan


Begitu pun kebijakan kesehatan yang kapitalistik, menjadikan akses kesehatan hanya bisa dirasakan oleh segelintir orang, padahal penderita DBD harus segera ditangani agar risiko kematian bisa terhindari. Fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan pun menumpuk di perkotaan, tetapi minim di pedesaan. Semua itu karena sistem kesehatan pun diserahkan pada swasta.


Tuntas dengan Islam


Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin telah memiliki sejumlah mekanisme yang komprehensif untuk bisa mengatasi wabah. Islam menjadikan negara sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap seluruh kebutuhan rakyatnya. Semua kebutuhan pokok, dari mulai sandang, pangan, papan, termasuk kesehatan, keamanan, dan pendidikan, akan bisa diakses oleh seluruh rakyatnya bahkan gratis.


Misalnya, pembangunan perumahan wajib dikelola negara, adapun pelibatan swasta boleh saja hanya sifatnya membantu sehingga orientasi pembangunan adalah terpenuhinya kebutuhan papan warga, bukan bisnis.


Begitu pun kebutuhan asupan bergizi, negara akan menjamin semua laki-laki pencari nafkah mendapatkan pekerjaan. Jika ada kepala rumah tangga yang tidak bisa mencari nafkah karena sakit atau cacat dan tidak ada kerabatnya yang bisa membantu, maka negara bisa turun untuk menyantuni keluarga tersebut.


Selanjutnya, sistem kesehatan dipegang langsung oleh negara, sehingga akses kesehatan dapat dirasakan oleh semua warga. Fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan tersebar merata di seluruh wilayah. Alhasil, penanganan pasien yang terkena DBD akan dengan mudah dan cepat tertangani.


Oleh karena itu, jika kebijakan berfokus pada kemaslahatan umat, kebutuhan pokok dan kesehatan rakyat akan terpenuhi. Ditambah dengan edukasi bahwa menjaga kesehatan adalah bagian dari perintah Allah Taala. Atas dorongan takwa, rakyat dengan ringan menjaga lingkungannya agar tetap bersih dan sehat. Inilah jaminan Islam untuk memberantas wabah dengan tuntas.


Wallahualam bissawab

1 Comments

Post a Comment

Previous Post Next Post