Jaminan Kualitas Media dalam Islam



Oleh Ilvia Nurhuri
Mahasiswi dan Aktivis Dakwah


Sungguh memilukan kekerasan seksual rupanya sudah lama terjadi,  bahkan hal tersebut terjadi di KPI. Pasalnya baru-baru ini terkuak pelecehan seksual yang dilakukan oleh tujuh pegawai KPI pusat terhadap seorang pria yang merupakan pegawai KPI Pusat. Korban sempat mengadu pada Komnas HAM pada tahun 2011 namun aduan tersebut tak menuai hasil dan pelaku pun tidak mendapat hukuman. Dikutip dari Republika.co.id (13/09/2021), "Seorang pria yang mengaku sebagai pegawai KPI Pusat mengaku sebagai korban perundungan dan pelecehan seksual yang dilakukan oleh tujuh pegawai di Kantor KPI Pusat selama periode 2011-2020. Korban menyampaikan ia sempat melapor ke Komnas HAM dan kepolisian. Namun, saat melaporkan kasus yang dia alami, polisi yang menerima laporan meminta korban menyelesaikan masalah itu di internal kantor. Korban pun melapor ke kantor, tetapi aduan itu hanya berujung pada pemindahan divisi kerja dan pelaku tidak mendapat hukuman. Pemindahan itu, kata korban lewat siaran tertulisnya, tidak menghentikan perundungan dari para pelaku." Mirisnya, kekerasan seksual yang dilakukan oleh pelaku baru diproses setelah desakan muncul dari berbagai publik. 

Tak hanya itu, kini sedang ramai artis pelaku kekerasan seksual yang baru saja keluar dari penjara dan tampil kembali di layar pertelevisian. Lebih pilunya lagi, pelaku kekerasan seksual tersebut justru disambut bak pahlawan atas pembebasannya. Pelaku kejahatan seksual diberi panggung hiburan dan kebanggaan, padahal di sisi lain korban sedang berjuang untuk menyembuhkan trauma mendalam atas kekerasan seksual yang dirasakannya. 

Dengan begitu, sudah sangat jelas menunjukkan bahwa Lembaga KPI begitu lunak memperlakukan pelaku kekerasan seksual, dan sangat bertolak belakang dengan kampanye nasional KPI anti kekerasan seksual. Parahnya protes yang kerap kali dilakukan oleh masyarakat atas berbagai tayangan yang tidak bermutu di televisi seperti tebang pilih untuk ditindak lanjuti,  bahkan diberi ruang untuk ditayangkan.

KPI yang seharusnya menjadi lembaga pembina dan pengontrol penyiaran yang menjalankan fungsi pelayanan informasi publik yang baik dan sehat, ternyata tidak sesuai dengan yang diharapkan.

Inilah bukti kegagalan media dalam negara yang menerapkan sistem sekuler kapitalisme. Fungsi media dalam sistem kapitalis yang seharusnya untuk mengedukasi masyarakat dan menanamkan nilai-nilai kebaikan sama sekali tidak tampak, ini dikarenakan prinsip media dalam sistem kapitalisme hanya mengejar rating demi meraup keuntungan berlimpah.

Hal tersebut tentu sangat berbeda dengan sistem Islam. Dalam Islam media berfungsi semaksimal mungkin dalam melayani ideologi Islam yang baik. Dalam Islam pemerintah akan melarang keberadaan media yang berhaluan selain ideologi Islam. Media juga akan menayangkan acara yang dapat menjaga suasana iman dalam masyarakat dan menayangkan berbagai edukasi yang membuat masyarakat dalam meningkatkan keimanannya terhadap Allah Swt. sehingga melahirkan banyak kebaikan di masyarakat. Dalam Islam ada beberapa etika dalam penyiaran, yang pertama isi siaran hendaknya mengandung nilai pendidikan yang baik,  mendorong manusia untuk maju hidup sesuai ajaran Islam. Kedua, media harus menyampaikan berita dengan benar yang bersih dari penipuan dan pembohongan. Ketiga, penyiaran berisi peringatan agar para penonton tidak melakukan perbuatan tercela atau melanggar hukum syariat.

Dengan demikian, peran media dalam Islam adalah untuk mendorong rakyatnya dalam meningkatkan ketakwaan. Maka, sudah seharusnya umat sadar dan beralih pada sistem Islam yang sempurna milik Sang Pencipta.

Wallahu'alam bishawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post