Butuh Penerapan Syariat Islam Utuh untuk Memajukan Ekonomi dan Perbankan Syariah

Oleh: Suci Wulandari

Alumni Politeknik Negeri Jakarta

 

Sektor ekonomi dan perbankan syariah tengah menjadi sorotan pemerintah. Pasalnya di tengah guncangan krisis ekonomi karena pandemi Covid-19, sektor ekonomi dan keuangan syariah dinilai tetap bisa bertahan, padahal pandemi yang terjadi masih belum bisa dipastikan kapan berakhirnya justru melemahkan kinerja korporasi saat ini. Kondisi tersebut dinilai dari rasio kecukupan modal atau CAR perbankan syariah hingga kredit macet (non-performing loan (NPL)).

Bertahannya keuangan syariah juga dilihat dari aset perbankan justru meningkat sepanjang 2020. Total asetnya pada Desember 2020 naik menjadi Rp608,9 triliun yang pada Desember 2019 mencapai Rp538,32 triliun. Indonesia juga dinilai masih harus menggali potensi di masa mendatang dan pasar keuangan syariah bisa diperluas dengan melakukan perbaikan sumber daya manusia dan melakukan pengembangan teknologi digital.(bisnis.tempo.co).

Selain itu, PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI)—yang merupakan bank syariah hasil mergernya tiga perusahaan perbankan milik negara— semakin menunjukan keseriusannya dalam rangka melebarkan sayap. BSI berencana melakukan kolaborasi dan sinergi dengan lembaga riset dan perguruan tinggi. Hal ini disampaikan dalam acara peresmian Center of Sharia Finance and Digital Economy (Shafiec) dan Forum Keuangan Syaria, Jum’at lalu (12 Maret 2021) dengan tujuan untuk mengembangkan ekonomi syariah.

BSI akan aktif melakukan kerja sama dengan perguruan tinggi terkait implementasi kurikulum keuangan syariah, penelitian dan pengembangan produk serta layanan bank syariah. Selain itu BSI juga bekerja sama dengan asosiasi seperti MES dan Asbisindo melalui forum diskusi dan seminar untuk pengembangan bank syariah. Pemerintah melalui Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, menyampaikan dengan adanya Shafiec ini juga diharapkan bisa memberikan kontribusi dalam pengembangan SDM dan kebijakan di bidang ekonomi yang memahami dinamika global dan perubahan teknologi dengan tetap mengacu pada nilai-nilai islami, yakni keadilan, kejujuran, integritas, profesionalisme, tata kelola keislaman yang akuntabel dan dapat dipercaya.

Indonesia sebagai negara Muslim terbesar diharapkan akan memiliki layanan keuangan syariah yang kuat dan mumpuni karena jumlah penduduk Muslim yang besar dianggap bisa menjadi pilar dan energi pengembangan ekonomi syariah nasional. Saat ini, berdasarkan The State of The Global Islamic Economy Report (SGIE Report) 2020/2021, Indonesia berada di posisi keempat, setelah 2019 berada di peringkat kelima dan id tahun lalu berada di peringkat 10.Ada lima indikator yang mendorong naiknya peringkat Indonesia ini, di antaranya islamic finance, halal food, muslim friendly travel, modest fashion, media and recreation, serta cosmetic and formation. (finance.detik.com).

Ironi Melanda Indonesia

Pengakuan serta dukungan yang diberikan oleh pemerintah terhadap kuatnya ekonomi syariah yang mampu bertahan di tengah guncangan krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19 mengundang tanya. Cukupkah hanya bermodalkan negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia untuk mengembangkan sektor ekonomi syariah?

Sikap dan respon berbeda ditunjukkan oleh pemerintah terhadap beberapa hukum syariat. Respon keras pemerintah seringkali ditunjukkan apabila berhadapan dengan ide Islam yang tidak berpotensi menghasilkan sisi materi di sana. Sedangkan hukum syariat yang dinilai menghasilkan keuntungan dianggap sebagai sesuatu yang harus diperjuangkan dan dipertahankan. Hal ini justru ironi, masyarakat Muslim yang dianggap mayoritas di dalam negara ini cenderung dianggap hanya sebagai subjek yang seolah-olah akan memberikan keuntungan secara materi kepada negara.

Respon semacam itu bukan hanya sekali ditunjukkan oleh pemerintah, sebelumnya respon yang sama ditujukan terhadap gerakan nasional wakaf uang, yang dianggap memiliki potensi besar untuk menambah pemasukan negara. Lagi dan lagi salah satu alasan pemerintah pun juga melihat dari sisi besarnya jumlah penduduk Muslim di Indonesia, tanpa melihat trust yang akan diperoleh pemerintah terhadap gerakan tersebut.

Padahal penerapan hukum syariat dalam suatu negara tidak bisa dilakukan begitu saja tanpa adanya instansi yang menaruh Islam sebagai satu-satunya prinsip dan pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Jikapun demikian, penerapan hukum tersebut akan saling bertentangan antara prinsip yang diemban dengan hukum syariat itu sendiri. Apalagi hanya bermodalkan Muslim sebagai warga negara mayoritas di dalam suatu negara yang dianggap akan memberikan dukungan penuh terhadap apapun syariat Islam yang akan diambil oleh negara, karena bicara kebijakan berarti bicara people dan system, bukan hanya people.

Hal tersebut merupakan bentuk dari ketidakpastian suatu negara dalam rangka menjalankan roda pemerintahan dan kebijakannya. Semua hanya dinilai dari keuntungan yang bisa diukur dalam bentuk materi. Sedangkan hukum syariat lain yang tidak berpotensi demikian dianggap harus ditolak. Begitulah cerminan sebuah negara yang saat ini labil, menolak disebut sebagai negara Islam, tapi di satu sisi pun menolak disebut sebagai negara sekuler dan mengakui juga mayoritas penduduknya adalah Muslim.

Sebuah alat elektronik akan bermanfaat secara maksimal untuk penggunanya apabila dijalankan mengikuti buku panduan yang tepat, lain halnya jika buku panduan yang digunakan oleh pengguna juga salah. Begitu pun sebuah negara, dalam rangka menjalankan suatu kebijakan yang berasal dari Islam, sudah seharusnya negara mengikuti petunjuk yang sudah ditetapkan Allah SWT dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, yang secara prinsipnya jelas, melihat hukum syara yang berlaku di dalam Islam, bukan melihat untung rugi materil saja.

Kalau penerapan syariat saja masih menimbang untung dan rugi materil, lantas bagaimana negara sebetulnya melihat kritik dan aspirasi warga negaranya saat ini?[]

Post a Comment

Previous Post Next Post