MENINGKATKAN KEMANDIRIAN PANGAN DENGAN SOLUSI HAKIKI


Oleh : Shofi Lidinilah
(Member Akademi Menulis Kreatif)


Tahun baru merupakan momentum yang dinanti oleh masyarakat, karena banyak masyarakat yang menggantungkan harapannya dipergantian tahun agar nasib ditahun berikutnya bisa lebih baik lagi. Harapan hanya sekedar harapan, tahu baru 2021 disambut oleh teriakan para petani dan pedagang. Pasalnya tahu dan tempe hilang dipasaran, diakibatkan mogok produksi dikalangan perajin kedelai.
Dilansir dari republika.co.id, Mogok produksi terjadi karena naiknya harga bahan baku kedelai impor membuat para perajin tahu di Bogor hingga se-Jabodetabek melakukan libur produksi massal mulai 31 Desember 2020 hingga 2 Januari 2021. Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk protes kepada pemerintah karena tidak ada perhatian pada perajin tahu dan tempe mengenai kenaikan harga kedelai. 

Libur produksi atau mogok massal tidak hanya dilakukan di kota bogor tetapi juga oleh pengrajin tahu dan juga tempe hampir di seluruh Indonesia. Dengan adanya libur produksi massal ini, perajin tahu berharap ada perhatian dari pemerintah, agar menekan harga kedelai segera turun.

Dilansir oleh merdeka.com, Seorang pedagang warteg selama ini membutuhkan 30 sampai dengan 40 kilogram tahu dan tempe untuk digoreng dan dijual di warteg kawasan Jatinegara, Jakarta Timur. Namun, sejak komoditas berbahan baku kacang kedelai itu hilang dari pasaran, ia beralih menjual kentang goreng dan sayuran.

Usut punya usut, dilansir oleh tirto.id, UU Cipta Kerja yang diusulkan pemerintahan dan disahkan DPR RI pada 5 Oktober lalu berpotensi membawa Indonesia terjebak dalam kebiasaan impor produk pertanian. Petani pun was-was dibuatnya.

Ketua Umum Serikat Petani (SPI) Indonesia mengatakan pelonggaran impor pangan tampak jelas dalam revisi UU 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Perlintan). UU Cipta Kerja menghapus frasa pasal 30 ayat (1) beleid itu yang berbunyi: “Setiap orang dilarang mengimpor komoditas pertanian pada saat ketersediaan komoditas pertanian dalam negeri sudah mencukupi kebutuhan konsumsi dan/atau cadangan pangan pemerintah.”

Dalam UU Cipta Kerja versi 812 halaman, pasal 30 ayat (1) diubah menjadi: “Kecukupan kebutuhan konsumsi dan/atau cadangan pangan pemerintah berasal dari produksi dalam negeri dan impor dengan tetap melindungi kepentingan petani.” 
Menurutnya, ini jelas berdampak pada petani dalam negeri, karena tidak ada lagi ketentuan kewajiban mengutamakan produksi pertanian dalam negeri.
Hal ini pun dicemaskan pula oleh Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) mengatakan aturan itu bermasalah meski maksudnya mengintegrasikan sistem pangan Indonesia ke pangan dunia, memenuhi ketentuan World Trade Organization (WTO) Agreement of Agriculture. Ia mengingatkan kesalahan yang sama pernah dilakukan pemerintah di tahun 90-an.

Ia mengingatkan ketergantungan pada produk pangan luar negeri akan membuat Indonesia rentan terhadap gejolak harga komoditas pangan dunia. Pemerintah akan mengulangi kesalahan negara-negara di Afrika Utara dan Timur Tengah yang saat ini menjadi importir.

Sungguh, kenaikan harga bahan pangan sangat jelas berdampak pada kesejahteraan masyarakat, masyarakat yang menggantungkan nafkahnya dengan berjualan pun menjadi korban sebuah sistem.  Sehingga pengaruh impor bahan pangan itu terhadap harga, dan pada kemandirian bangsa. Naik turunnya harga pangan karena besarnya jumlah impor bisa diatasi dengan keseriusan menghentikan ketergantungan impor tentunya dengan memulihkan kondisi pertanian lokal, dengan fokus membangun produksi ditanah sendiri, tentunya hal ini bisa terwujud dibawah sistem Islam, karena sistem Islam adalah sistem paripurna. 
Wallahu a’lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post