Kebebasan Dikebiri Tanda Demokrasi Mati, Islam sebagai Pengganti


Oleh : Nur Fitriyah Asri
Penulis Opini Member Akademi Menulis Kreatif

Masalah demi masalah terus bermunculan. Ironisnya, tidak ada masalah yang tersolusi hingga tuntas. Justru, malah melahirkan masalah-masalah baru. Itulah sistem demokrasi yang salah satu pilarnya mengagungkan kebebasan. Nyatanya tidak berlaku untuk kelompok yang berseberangan. Bahkan, kebebasan lawan politiknya pun dikekang demi kepentingannya. Dikeluarkanlah undang-undang untuk menghadangnya. Dipersekusi, diintimidasi dan dikriminalisasi. Itulah cara mengebiri kebebasan lawan politiknya.

Melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) yang ditandatangani enam menteri dan pimpinan lembaga, Front Pembela Islam (FPI) resmi dibubarkan pada tanggal 30 Desember 2020. Pembubaran yang dimaksud mencakup larangan penghentian kegiatan FPI, penggunaan simbol dan atributnya. Menurut pengamat Hukum Tata Negara Margarito mengatakan, bahwa pernyataan menteri bukanlah hukum. Begitu pula, pernyataan Presiden sekalipun, juga bukan hukum. 

Kecuali di negara otoriter, apa yang keluar dari mulut pejabat adalah hukum. Apalagi sejak Juni 2019, FPI sudah tidak memperpanjang lagi Surat Keterangan Terdaftar (SKT) di Kementerian Dalam Negeri. Artinya FPI tidak terdaftar dalam register. Adapun syarat pembubaran kan harus mencabutnya. Apa yang mau dicabut? Kata Margarito. (eramuslim.com, 30/12/2020)

Senada dengan apa yang disampaikan oleh Ketua LBH Pelita Umat dan BHP KSHUMI Chandra Purna Irawan, SH, MH. Menilai rezim melanggar konstitusi. Karena mendirikan organisasi kemasyarakatan tidak perlu izin. menyampaikan pendapat, gagasan, berserikat, dan berkumpul adalah hak asasi manusia yang bersifat bawaan (fitrah). Hak asasi ini akan tetap ada atau melekat pada manusia dan akan dilakukan meskipun tidak ada negara. Oleh sebab itu, tidak boleh dicabut oleh siapa pun termasuk negara. Sebab, berserikat, berkumpul merupakan hak konstitusional yang tidak bisa dibubarkan atau dicabut haknya oleh siapa pun, kecuali oleh putusan hakim pengadilan negeri, bukan pengadilan administratif (PTUN). (IG@chandrapurnairawan)

Dalam sistem demokrasi melakukan pelanggaran konstitusi adalah hal biasa dan sering terjadi. Bukannya hal aneh, karena demokrasi lahir dari rahim sekularisme. Yakni sistem yang memisahkan agama dari kehidupan. Agama hanya diberi ruang untuk mengatur akidah dan ibadah mahdah saja. Agama tidak boleh mengatur dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Karena dalam sistem demokrasi yang berhak membuat hukum adalah manusia. 

Jadi, wajar jika aturan yang dibuat hanya untuk kepentingan berdasarkan hawa nafsunya. Segala cara dihalalkan, dengan mudahnya membuat aturan untuk menjegal dan menghadang lawan politiknya yang mengancam kekuasaannya. Tidak peduli, meskipun harus melanggar konstitusi. Ibarat pagar makan tanaman.

Dampaknya sungguh mengerikan.  Banyak terjadi ketidakadilan dan kezaliman yang dilakukan rezim kepada ulama dan aktivis yang kritis. Begitu pula dengan ormas-ormas Islam yang berani membongkar kebobrokan rezim, yang menginginkan diterapkannya syariah Islam kafah. Mereka dituduh radikal, anti-Pancasila dan akhirnya dibubarkan. Itulah cara mengebiri dan membungkam kebebasan berpendapat dan berekspresi.

Demokrasi memang utopis, slogan keadilan, kesejahteraan, kemakmuran, hanya mimpi. Pemulihan harkat kemanusian dengan programnya revolusi mental nyatanya gagal total. Dari hari ke hari dengan berubahnya tahun ke tahun, sistem demokrasi tidak dapat memberikan solusi, justru demokrasi sistem yang merusak tatanan kehidupan dan gagal, sedang menuju kehancurannya.

Tidak lama lagi demokrasi akan mati, seperti apa yang tertulis dalam buku "How Democracies Die," menjadi viral karena salah satu pembacanya adalah   Gubernur Anis Bawesdan.
Menurut buku tersebut, ada empat indikator kunci matinya demokrasi:

1. Penolakan (atau lemah komitmen) terhadap sendi-sendi demokrasi. Parameternya, "Apakah mereka suka mengubah-ubah UU? Apakah mereka melarang organisasi  tertentu? Apakah mereka membatasi hak-hak politik warga negara?" Pasti semua akan bisa menjawab. Karena rezim pernah melarang partai Masyumi, juga melakukan pencabutan BHP ormas yang mendakwahkan khilafah ajaran Islam. Kini, kembali berulang membubarkan ormas yang mengusung revolusi akhlak.

2. Penolakan terhadap legitimasi oposisi. Parameternya, "Apakah mereka menyematkan lawan politik mereka dengan sebutan-sebutan subversif? Mengancam asas dan ideologi negara? Apakah mereka mengkriminalisasi lawan-lawan politik mereka dengan berbagai tuduhan yang mengada-ada?" Semua sangat gamblang karena telah dipertontonkan sendiri oleh rezim, yakni dengan banyaknya ulama, aktivis yang dikriminalisasikan, diintimidasi dengan tuduhan, anti-Pancasila, membahayakan NKRI, radikal, makar dan lainnya.

3. Toleransi atau mendorong aksi kekerasan. Parameternya, "Apakah mereka memiliki hubungan dengan semacam organisasi paramiliter yang cenderung menggunakan kekerasan dan main hakim sendiri?" Orang awam pun bisa menunjukkan dengan jari, bahwa ada kelompok yang suka main hakim sendiri melebihi wewenang aparat keamanan. Mengaku penjaga NKRI, tapi sepak terjangnya membuat gaduh dan kisruh. Suka membubarkan pengajian, gemar mengadu domba dengan kelompok lainnya.

4. Kesiagaan untuk membungkam kebebasan sipil. Parameternya, "Apakah mereka mendukung (atau membuat) UU yang membatasi kebebasan sipil, terutama hak-hak politik dan menyampaikan pendapat? Apakah mereka melarang tema-tema tertentu?" Kita semua tahu, bahwa UU ITE, UU Ormas, adalah salah satu cara untuk membungkam kebebasan berpendapat dan berekspresi. Bahkan, sampai melarang mendakwahkan khilafah ajaran Islam, padahal dalilnya qath'i.

Sejatinya pembunuh demokrasi bukanlah khilafah, tetapi sikap penguasa dan punggawa-punggawanya yang otoriter (sewenang-wenang) Dalam hal ini pemerintah (eksekutif), DPR (legislatif), dan peradilan (yudikatif). Semua bersikap semakin otoritarian menghadapi rakyat yang menuntut keadilan dan kebenaran. Bahkan malah menimbulkan konflik yang meluas dan berkepanjangan.

Terbukti dengan pembubaran ormas FPI yang tidak melalui proses persidangan, itu menunjukkan bahwa demokrasi sudah mati. Seharusnya fakta tersebut menyadarkan rakyat, bahwa sistem demokrasi adalah sistem yang rusak dan zalim. Wajib kaum muslimin meninggalkan sistem kufur yang bertentangan dengan Islam. Karena yang berhak membuat aturan atau hukum hanyalah Allah Subhanahu wa ta'ala. (QS. Yusuf [12]: 40). 

Apalagi, jumlah penduduk Indonesia 87,19 persen adalah Muslim. Karena itu, sudah saatnya sistem Islam yang menggantikan dan mengatur tatanan kehidupan yang bersumber dari wahyu Allah. Allah Yang Maha Adil, mewajibkan untuk semua orang beriman, agar berislam secara kafah. (QS. al-Baqarah [2]: 208)  
Yakni menerapkan hukum Allah di semua lini kehidupan, pasti akan mendatangkan keadilan dan kesejahteraan.

Untuk memastikan hukum Allah tegak, Islam mewajibkan kepada setiap individu muslim untuk berdakwah yaitu beramar makruf nahi mungkar (menyerukan kebaikan dan melarang kemungkaran). Sebagaimana sabda Rasulullah saw.:

بَÙ„ِّغُوا عَÙ†ِّÙ‰ ÙˆَÙ„َÙˆْ آيَØ©ً

“Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat.” (HR. Bukhari)

Sebab amar makruf nahi mungkar adalah kewajiban penting dalam Islam. Merupakan ciri khas kaum mukmin sekaligus menjadi ciri umat terbaik. Allah Swt berfirman:
"Orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka adalah penolong dari sebagian yang lain. Mereka melakukan amar makruf nahi mungkar, mendirikan salat, menunaikan zakat, serta mentaati Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sungguh Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS. at-Taubah [9]: 71)

Untuk kembali menjadi umat terbaik tidak ada jalan lain kecuali perang pemikiran, yakni dengan menggencarkan dakwah secara bersungguh-sungguh, penuh keberanian. Lenyapkan semua bentuk kemungkaran dan kezaliman di muka bumi. 

"Janganlah rasa segan kepada manusia  menghalangi seseorang untuk menyatakan kebenaran yang telah ia ketahui." (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Wallahu a'lam bishawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post