Berharap Aturan Syariah di Legislasi Demokrasi


Oleh : Devi Yulianti, ST


Siapa yang tak kenal dengan barang satu ini? Ya, Minuman alkohol (minol) ini sudah menjadi rahasia umum bagi masyarakat dimana keberadaannya menjadi sesuatu yang dilarang dan diharamkan. Baru-baru ini Indonesia dihebohkan terkait pro dan kontra RUU minol. Penetapan RUU minol ini, tentunya akan mempengaruhi seperti apa masa depan keberadaan minol selanjutnya.

Bagi pihak yang pro yakni mereka yang menyetujui usulan legislasi RUU pelarangan minol berargumen bahwa sebagian besar  masyarakat Indonesia adalah muslim yang tentunya mengharamkan keberadaan minol dan  agama-agama lain pun tidak mengizinkan umatnya minum hingga mabuk. Hal ini dikatakan Illiza Sa'aduddin Djamal, beliau salah satu  Anggota Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan sekaligus selaku wakil walikota Banda Aceh. 

Disisi lain, menurutnya minuman beralkohol bisa merusak kesehatan dan berakibat fatal terhadap hilangnya akal dan sebagainya. Dalam kondisi mabuk, banyak kasus pemerkosaan dan kematian akibat kecelakaan lalu lintas dan kasus-kasus lainnya yang berakibat fatal. Melarang minuman alkohol dan aturan itu penting demi menjaga ketertiban. 

Bagi yang kontra berpandangan bahwa minol juga dibutuhkan dalam ritual keagamaan yang merupakan bagian dari keyakinan beragama. Terlepas dari alasan tersebut ada juga yang memanfaatkan keberadaan minol seperti dengan mengkhawatirkan jika RUU minol disahkan menurut Asosiasi importir minuman beralkohol, aturan itu akan membunuh sektor pariwisata.

Sementara, peneliti kebijakan publik mempertanyakan urgensi RUU itu, merujuk pada data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menyebutkan bahwa Indonesia adalah salah satu negara dengan konsumsi minuman beralkohol terendah di dunia, dilansir dari www.bbc.com, (13/11/2020) 

Berbeda lagi, menurut Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Gomar Gultom "wacana 
pendekatan RUU minol yang menurutnya sangat infantil alias segala sesuatu dilarang". Padahal, kata dia, negara lain seperti Uni Emirat Arab mulai membebaskan minuman  beralkohol untuk dikonsumsi dan beredar luas di masyarakat. (m.cnn.com, 13/11/2020) 

𝗞𝗲𝗺𝘂𝘀𝘁𝗮𝗵𝗶𝗹𝗮𝗻 𝗟𝗲𝗴𝗶𝘀𝗹𝗮𝘀𝗶 𝗗𝗲𝗺𝗼𝗸𝗿𝗮𝘀𝗶

Seperti  yang dilansir nasional.tempo.co (13/11/2020) Ketua Kelompok Fraksi Golkar di Baleg, Firman Soebagyo, mengatakan RUU Larangan Minuman Beralkohol ini telah dibahas sejak DPR periode 2014-2019. Namun pembahasannya mentok lantaran perbedaan pendapat DPR dan pemerintah. Rumit dan ruwetnya persoalan ini tidak lain karena keberadaan Demokrasi telah mengukuhkan bahwa segala sesuatu dipandang penting apabila ada manfaat dan keuntungan yang didapat menurut ukuran akal manusia. 

Padahal kita ketahui akal manusia sangat terbatas dan banyak kelemahan apabila diletakkan sebagai pijakan untuk mempertimbangkan mana sebuah kebaikan dan keburukan serta manfaat dan mudharat. 

Disisi lain, demokrasi juga sangat bertentangan dengan Islam. Abdul Qadim Zalum menjelaskan pertentangan di antara keduanya dapat dilihat dari beberapa hal, di antaranya dari akidah yang melahirkannya dan ide pokok yang melandasinya.

Akidah sekuler yang melahirkan demokrasi tidak mengingkari eksistensi agama, tetapi hanya menghapuskan perannya mengatur kehidupan bernegara.

Konsekuensinya, manusia diberi wewenang membuat peraturan hidupnya sendiri. Akidah ini telah menjadikan akal sebagai pemutus (al haakim) untuk memberikan penilaian terpuji atau tercelanya perbuatan-perbuatan manusia.

Sedangkan Islam, dibangun di atas landasan akidah Islamiyah, yang mewajibkan pelaksanaan perintah dan larangan Allah dalam seluruh urusan kehidupan dan kenegaraan. Manusia tidak berhak membuat peraturan hidupnya sendiri, melainkan mengambil peraturan yang ditetapkan Allah SWT untuk manusia.

Pemutus dalam Islam adalah Allah SWT atau syara’, bukannya akal. Aktivitas akal terbatas hanya untuk memahami nash-nash berkenaan dengan hukum yang diturunkan Allah SWT.

Allah SWT berfirman,

إِنِ ٱلْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ ۖ ُ

“…Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah…” (QS Al An’aam [6] : 57)

Pertentangan demokrasi dengan Islam juga dapat dilihat dari ide pokok yang melandasinya, yaitu kedaulatan di tangan rakyat dan rakyat sebagai sumber  kekuasaan.

Ide kedaulatan di tangan rakyat telah menetapkan rakyatlah yang membuat hukum melalui para wakilnya. Sementara Islam, menetapkan kedaulatan di tangan syara’, yaitu di tangan Allah SWT. Sebab Allah SWT sajalah yang layak bertindak sebagai Musyarri’ (pembuat hukum).

Allah SWT berfirman,

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا۟ فِىٓ أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا۟ تَسْلِيمًا

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) hakim (pemutus) terhadap perkara yang mereka perselisihkan.” (QS AnNisaa’ [4] : 65)

Jadi merupakan sesuatu kemustahilan apabila berharap pada legislasi demokrasi untuk melahirkan UU yang pro syariah, karena telah dianggap bertentangan dengan prinsip legislasi dalam demokrasi. Hal ini diibaratkan seekor ikan yang mati perlahan-lahan karena habitatnya di air dipindahkan  ke daratan atau jalanan.  Begitupun umat islam, berharap UU pro syariah lahir pada sistem demokrasi bagai mimpi di siang bolong. 

𝗜𝘀𝗹𝗮𝗺 𝗟𝗮𝘆𝗮𝗸 𝗠𝗲𝗻𝗷𝗮𝗱𝗶 𝗛𝗮𝗿𝗮𝗽𝗮𝗻

Bagaimana mungkin
Umat Islam bersandar pada sistem yang diharamkan Allah SWT? Dan berharap aturan syariah di legislasi demokrasi? Saatnya berhenti berharap pada Demokrasi  dan kembali menjadikan Islam sebagai satu-satunya harapan sebagai solusi seluruh kehidupan manusia baik bagi muslim maupun non-muslim. 

Tak perlu diragukan lagi, Islam telah membuktikannya selama 13 abad lamanya. Dengan kekuatan sistem dan aturannya, Islam mampu menghantarkan pada peradaban unggul 
 menguasai dunia hingga mewujudkan kesejahteraan dan menjadi rahmat bagi seluruh umat manusia.

Wallahu 'alam bishowab

Post a Comment

Previous Post Next Post