Pajak Marak, Infrastruktur Kok Mundur?

By : Dra. Rivanti Muslimawaty, M. Ag.
Dosen di Bandung

Infrastruktur adalah hal penting dalam membangun dan meratakan ekonomi sebuah negara demi kesejahteraan rakyatnya. Infrastruktur fisik dan sosial dapat didefinisikan sebagai kebutuhan dasar fisik pengorganisasian sistem struktur yang diperlukan untuk jaminan ekonomi sektor publik dan sektor privat sebagai layanan dan fasilitas yang diperlukan _(Infrastructure, Online Compact Oxford English Dictionary)_. Salah satu yang termasuk infrastruktur adalah fasilitas pemadam kebakaran. 

Dinas Pemadam Kebakaran dan Penyelamatan Kabupaten Bandung kini memiliki 9 pos dan satu unit pemadam kebakaran. Namun dari sembilan pos  sebanyak empat pos masih menumpang di bangunan milik instansi lain. “Pembentukan sembilan pos ini agar pelayanan ke warga makin cepat,” ujar Kepala Dinas Pemadam Kebakaran dan Penyelamatan Kabupaten Bandung, Sutaryo Yono, saat dihubungi Selasa, 6 Oktober 2020. “Demikian pula dengan jumlah mobil pemadam kebakaran juga sudah kami penuhi dengan satu pos memiliki satu unit mobil pemadam kebakaran,”  ujarnya. Pos Damkar yang masih menumpang seperti di rumah dinas camat maupun bangunan pemerintah lainnya 
(jurnalsoreang, 6/10/20).

Pembiayaan dan pengadaan infrastruktur ditanggulangi dari pajak yang diambil dari warga negara. Pajak di Indonesia terdiri dari 2 macam, yaitu pajak pusat dan pajak daerah. Pajak pusat adalah pajak yang dikelola langsung pemerintah pusat (Direktorat Jenderal Pajak) di bawah Kementrian Keuangan. Sedangkan pajak daerah adalah pajak yang dikelola Pemerintah Daerah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Pajak kabupaten/kota meliputi Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, Pajak Parkir, Pajak Air Tanah, Pajak Sarang Burung Walet, Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan, Bea Perolehan atas Tanah atau Bangunan.

Begitu banyak jenis pajak yang wajib dibayar warga negara, tapi ternyata infrastruktur yang merupakan hak warga negara tidak semua terpenuhi. Kalaupun ada ternyata tidak siap pakai atau kurang perawatannya. Pajak yang merupakan pemasukan nomor satu tidak dapat memenuhi berbagai keperluan rakyat termasuk infrastruktur.

Hal ini berbeda dengan khilafah yang memiliki dana sangat besar di _Baytul Maal_. Khilafah memiliki banyak sumber dana yang menjadi pemasukannya, mulai dari _fa’i, kharaj, jizyah_, Sumber Daya Alam, maupun zakat. Pajak _(dlaribah)_ akan diambil bila kas _Baytul Maal_ benar-benar kosong sementara pembiayaan berbagai kebutuhan rakyat harus dipenuhi.  Dengan dana yang sangat besar ini maka khilafah dapat memenuhi berbagai keperluan warga negara, baik muslim maupun kafir.

Khilafah wajib membangun infrastruktur yang baik, bagus dan merata ke pelosok negeri berdasarkan kaidah _maa laa yatimu al-waajib illaa bihi fahuwa waajib_ (suatu kewajiban yang tidak bisa terlaksana  dengan baik karena sesuatu, maka sesuatu tersebut hukumnya menjadi wajib). Berbekal kaidah inilah, dalam buku _The Great Leader of Umar bin al-Khaththab_, halaman 314 – 316, Khalifah Umar ibn Khaththab menyediakan pos dana khusus dari _Baytul Maal_ untuk mendanai infrastruktur, khususnya jalan dan semua hal ihwal yang terkait dengan sarana dan prasarana jalan. Hal ini untuk memudahkan transportasi antara berbagai kawasan Khilafah Islam.

Khalifah Umar juga menyediakan sejumlah besar unta secara khusus untuk mempermudah perpindahan orang yang tidak memiliki kendaraan antar berbagai jazirah Syam dan Irak. Selain itu beliau juga mendirikan semacam rumah singgah yang disebut _Daar ad-daqiq_ yang menyediakan berbagai macam makanan bagi _ibnu sabil_ yang kehabisan bekal dan tamu asing. Perbekalan yang layak bagi musafir serta keperluan air disediakan di jalanan antara Makkah dan Madinah.

Begitu banyak fakta kecemerlangan Khilafah dalam memenuhi berbagai keperluan rakyatnya, termasuk infrastruktur. Maka hapuslah keraguan untuk menerapkan syari’at Islam dalam institusi Khilafah.

Post a Comment

Previous Post Next Post