Kisruh PPDB, Islam Punya Solusi

Oleh : Andri Septiningrum, S.Si
Ibu Pendidik Generasi

"Kita harus menerima kekecewaan yang terbatas, tetapi jangan pernah kehilangan harapan tanpa batas. - Martin Luther King, Jr."

Ungkapan ini tepat bagi Kenneth Brian (15), siswa asal Gandaria Utara, Jakarta Selatan.

Kenneth mengaku sempat gelisah dan stres karena tidak bisa masuk ke SMA negeri yang ia inginkan lewat jalur zonasi. Namun ia berbesar hati dan akan mencoba ke jalur prestasi.

"Iya sempat sih gelisah kemarin, pas kemarin sempat daftar terus nyatanya tidak keterima. Sempat stres, tapi ya kuatin hati aja, pasti masih ada jalan di prestasi," kata Kenneth saat dihubungi, Jumat, (26/6/2020).

Kenneth mengatakan SMAN 70 dan SMAN 6 adalah SMA impiannya. Ia kecewa karena sistem PPDB Jakarta jalur zonasi tidak mengacu pada jarak, melainkan usia. (detikNews, 28/06/2020).

Protes keras orangtua murid juga terjadi saat konferensi pers Dinas Pendidikan DKI Jakarta di Kantor Disdik DKI, Kuningan Jakarta Selatan, Jumat pagi (26/06/2020). Orangtua murid yang diketahui bernama Hotmar Sinaga ini marah karena anaknya yang berusia 14 tahun, gagal masuk ke SMA, karena terlalu muda. (Kompas, 23/06/2020).

Bahkan, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta meminta Gubernur DKI Anies Baswedan merevisi aturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2020-2021 di Jakarta karena dinilai tidak sesuai dengan Permendikbud No. 44 tahun 2009. LBH meminta proses penerimaan siswa baru dijadwal ulang. Menurutnya, dalam Permendikbud yang menjadi prioritas adalah zonasi wilayah. Kemudian zonasi usia menjadi pertimbangan ketika jumlah kapasitas melebihi batas. Hal ini yang akhirnya memicu kekacauan karena  banyak yg tidak diterima di sekolah dekat rumah. (detikNews,28/06/2020).

Keinginan yang sama juga disampaikan oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak yang meminta Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) DKI Jakarta tahun ini dibatalkan atau diulang. Alasannya, kebijakan batas usia yang diterapkan Dinas Pendidikan DKI Jakarta dinilai bertentangan dengan Permendikbud Nomor 44 Tahun 2019.

Komnas Anak mendapat banyak laporan terkait syarat usia tersebut. Imbasnya, banyak siswa yang tidak mendapatkan sekolah padahal siswa tersebut memiliki nilai akademik yang tinggi.

Hal tersebut juga berdampak pada kondisi psikologis anak, yang menjadi tidak percaya pada pemerintah karena merasa sia-sia telah belajar keras. (VIVAnews, 28/06/2020).

PPDB zonasi terbukti merisaukan banyak pihak. Kondisi ekonomi yang semakin menurun dan perasaan khawatir terhadap pandemi membuat masalah semakin bertambah.

Sistem zonasi yang menjadi solusi saat ini baik berdasarkan jarak rumah maupun usia tetap saja akan membuat banyak warganya yg belum tertampung.

Mengapa negara tak mampu memberikan fasilitas pendidikan mencukupi agar semua anak usia sekolah tertampung di sekolah negeri berkualitas hingga akhirnya sistem zonasi menjadi pilihan? Mengapa akhirnya rakyat harus rela mengeluarkan dana yg lebih demi mendapatkan sekolah yang berkualitas di swasta?

PPBD zonasi memberikan pesan betapa lemahnya negara mengurus pendidikan warganya. Padahal pendidikan adalah hak mendasar individu dan masyarakat.

Negara fasilitator.

PPDB Zonasi ini sejatinya tak lepas dari paradigma pengelolaan kekuasaan negara yang kapitalis (yg menganut sistem kapitalis) dalam hal pelayanan pendidikan, negara hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator, bukan pelaksana (operator).

Negara memberi kesempatan seluas-luasnya kepada swasta (masyarakat) untuk terlibat dalam kewajiban yang seharusnya dilakukan negara. Peran sekolah swasta menjadi hal yang sangat diharapkan dalam proses pendidikan.

Data yang disampaikan Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan (PDSPK) menunjukkan bahwa jumlah sekolah negeri pada jenjang SMP lebih sedikit dibandingkan SMA. Sementara lebih dari 60% SMA ternyata merupakan sekolah swasta.

Pemerintah beranggapan bahwa membangun sekolah negeri baru untuk meningkatkan akses pendidikan bukan langkah yang ekonomis untuk dilakukan dalam waktu dekat. Kemitraan Pemerintah dengan swasta (masyarakat) dianggap solusi. Pemerintah akan mendorong pihak swasta (masyarakat) penyelenggara pendidikan agar memahami kebutuhan masyarakat. Seperti, himbauan agar menurunkan biaya pendidikan, meningkatkan kualitas dan sebagainya.

Padahal dalam sistem kapitalis yang orientasinya materi, berharap pendidikan murah berkualitas (pada swasta) dalam sistem ini bagaikan mimpi disiang bolong.

Maka seharusnya negara memberikan pelayanan pendidikan secara penuh kepada rakyatnya dan negara juga tidak berpegang kepada pembatasan anggaran (sesuai APBN), pembatasan ini membuat negara tidak akan optimal membangun pendidikan, baik untuk menyediakan sarana prasarana maupun tenaga pendidik (guru berkualitas).

Apalagi dengan kebijakan otonomi daerah, banyak wilayah yang sangat minim pendapatan daerahnya sehingga tak mampu menggaji guru honorer secara layak. Maka bagaimana mungkin pendidikan akan maju dan merata di setiap daerah? Padahal inilah pangkal masalah PPDB zonasi.

Pendidikan menjadi hal yang sangat penting dalam Islam.

Keutamaan ilmu, belajar dan mengajarkan ilmu sangat penting dalam Islam.
Berdasarkan sabda Rasulullah Saw.

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ


Artinya: "Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim." (HR. Ibnu Majah no. 224, dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, dishahihkan Al Albani dalam Shahiih al-Jaami'ish Shaghiir no. 3913).

Bahkan ayat pertama kali yg turun adalah surat Al alaq 1-5, yang menunjukkan perintah untuk membaca dan dalam hal ini tidak hanya membaca akan tetapi juga dimaksudkan perintah untuk menuntut ilmu.

Islam tidak tegak dan tidak akan ada tanpa ilmu. Tidak ada cara dan jalan untuk mengenal Allah dan sampai kepada-Nya tanpa ilmu. 

Maka dalam sistem Islam, menuntut ilmu menjadi salah satu hal yang penting dan wajib bagi warganya.
Negara akan memenuhi kebutuhan pendidikan bagi seluruh warganya.
Negara akan membangun paradigma pendidikan yang benar. Membangun suasana ketakwaan dalam diri umat.
Mereka berlomba-lomba mencari derajat tertinggi di sisi Allah melalui ilmu yang diraihnya.

Dalam Islam, negaralah yang berkewajiban untuk mengatur segala aspek yang berkenaan dengan sistem pendidikan yang diterapkan. Bukan hanya persoalan yang berkaitan dengan kurikulum, akreditasi sekolah/PT, metode pengajaran, dan bahan-bahan ajarnya, tetapi juga mengupayakan agar pendidikan dapat diperoleh rakyat secara mudah.

Rasulullah saw. bersabda,

«الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»

“Seorang imam (khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Berdasarkan sirah Nabi saw. dan tarikh Daulah Khilafah Islam (Al-Baghdadi, 1996), negara memberikan jaminan pendidikan secara gratis dan kesempatan seluas-luasnya bagi seluruh warga negara untuk melanjutkan pendidikan ke tahapan yang lebih tinggi dengan fasilitas (sarana dan prasarana) yang disediakan negara.

Kesejahteraan dan gaji para pendidik sangat diperhatikan dan merupakan beban negara yang diambil dari kas baitulmal. Sistem pendidikan bebas biaya tersebut didasarkan pada ijmak sahabat yang memberikan gaji kepada para pendidik dari baitulmal dengan jumlah tertentu.

Khalifah Umar dan Utsman memberikan gaji kepada para guru, muadzin, dan imam sholat jamaah. Khalifah Umar memberikan gaji tersebut dari pendapatan negara (Baitul Mal) yang berasal dari jizyah, kharaj (pajak tanah), dan usyur (pungutan atas harta non muslim yang melintasi tapal batas negara) (Rahman, 1995; Azmi, 2002; Muhammad, 2002).

Selain itu sumber pendanaan pendidikan yang lain adalah wakaf yang bersifat khusus atau umum. Melalui wakaf yang disyariatkan, sejarah mencatat banyak orang kaya yang membangun sekolah dan universitas. Hampir di setiap kota besar, seperti Damaskus, Baghdad, Kairo, Asfahan, dan lain-lain terdapat lembaga pendidikan dan perpustakaan yang berasal dari wakaf (Qahaf, 2005).

Madrasah al-Muntashiriah yang didirikan Khalifah al-Muntahsir Billah di kota Baghdad menjadi salah satu contoh bagaimana negara benar-benar mengupayakan pendidikan bagi warganya. Di sekolah ini, setiap siswa menerima beasiswa berupa emas seharga satu dinar (4,25 gram emas). Kehidupan keseharian mereka dijamin sepenuhnya oleh negara. Fasilitas sekolah disediakan seperti perpustakaan beserta isinya, rumah sakit, dan pemandian.

Begitu pula dengan Madrasah an-Nuriah di Damaskus yang didirikan pada abad 6 H oleh Khalifah Sultan Nuruddin Muhammad Zanky. Di sekolah ini terdapat fasilitas lain seperti asrama siswa, perumahan staf pengajar, tempat peristirahatan, para pelayan, serta ruangan besar untuk ceramah dan diskusi.

Walhasil dalam Islam, pembatasan kuota dengan adanya sistem zonasi tidak akan menjadi pilihan negara karena negara akan berupaya memberikan fasilitas pendidikan yang terbaik buat semua warganya.
Berlimpahnya sekolah dengan kualitas terbaik yang diberikan negara cukup memberi ruang kepada seluruh warga negara untuk memilih sekolah sesuai dengan minat.

Dalam kondisi sekolah yang dikelola secara baik oleh negara (baik secara kualitas maupun kuantitas), warga negara juga tulus ikhlas mencari pendidikan, tentu akan meminimalisasi problem dalam proses penerimaan siswa atau alih jenjang. Ini salah satu keberkahan ketika sistem pendidikan Islam diterapkan. Masalah pendidikan akan terselesaikan jika kita mengembalikan kepada sistem yang berasal dari pencipta yang sejatinya mengetahui bagaimana pengaturan yang terbaik buat hamba-Nya.
Previous Post Next Post