COVID-19 merebak, Dimanakah Pelindung yang Layak?

Oleh : Yunanda Indah 
Aktivis Dakwah Kampus 

Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menegaskan bahwa dirinya adalah pemimpin langsung task force atau satuan tugas untuk menangani persebaran virus corona (COVID-19). Itu disampaikan presiden saat melakukan jumpa pers kala menginspeksi Bandara Soekarno-Hatta sebagai salah satu gerbang Indonesia dengan dunia, (CNN Indonesia.co, 15/03/20).

Namun presiden belum sempat turun sebagai pemimpin untuk menangani penyebaran COVID-19,  justru penyebaran ini semakin membuat panik masyarakat Indonesia karena semakin hari COVID-19 ini telah banyak menelan korban, baik dari pihak medis, pejabat negara dan rakyat biasa. 

Dilansir oleh CNN Indonesia.co (23/03/20), Jumlah pasien positif terinveksi virus corona (COVID-19) kembali bertambah menjadi 579 orang. Korban yang meninggal pun meningkat menjadi 49 orang, dengan jumlah yang sembuh mencapai 30 pasien. Jumlah ini meningkat dibandingkan dengan jumlah pasien COVID-19 yang mencapai 514 orang, 48 meninggal dan 29 sembuh. 

Banyaknya korban yang berjatuhan, ini diakibatkan oleh sikap kelalaian penguasa dalam bertindak. Ibarat kata, tindakan penguasa dan penyebaran COVID-19 bak perlombaan lari kura-kura dan kancil. Kancil sudah berlari sampai finish sedangkan kura-kura masih di garis start. Begitupun sebaliknya, COVID-19 sudah menyebar di berbagai daerah di Indonesia sedangkan penguasa masih stagnan. Lantas apa yang mau diharapkan lagi?

Kini nasi sudah menjadi bubur. Penguasa terkesan lamban dalam menangani penyebaran COVID-19, misalnya dengan mengambil langkah lockdown sebagaimana langkah yang diambil oleh pemerintah daerah. Namun anehnya penguasa justru melarang pemerintah daerah untuk tidak mengambil lockdown sebagai jalan tengah atas masalah COVID-19. 

Dilansir oleh Liputan6.co (15/03/20), Presiden Jokowi melimpahkan status darurat COVID-19 ini di daerah masing-masing oleh Kepala Daerahnya, alasan Jokowi menilai bahwasanya tingkat penyebaran COVID-19 di daerah derajatnya bervariasi. Presiden Jokowi mengatakan bahwa “Saya minta kepada seluruh Gubernur, kepada seluruh Bupati, kepada seluruh Walikota untuk terus memonitor kondisi di daerah dan terus berkontribusi dengan pakar untuk menelaah situasi yang ada." Ujar Jokowi di Istana Kepresidenan Bogor Jawa Barat. 

Ibarat menelan ludahnya sendiri, presiden hanya bisa melimpahkan wewenangnya kepada kepala daerah masing-masing dengan berkonsultasi kepada Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tanpa turun tangan langsung untuk penanganan ini. Padahal sebelumnya presiden telah menegaskan bahwa di adalah pemimpin langsung task force untuk penanganan COVID-19. 

Ketidakpedulian penguasa semakin terlihat jelas, di tengah merebaknya penyebaran virus corona penguasa malah tidak memperketat penjagaan dan tidak berupaya menutup jalur masuknya pihak asing ke Indonesia. Tapi apalah daya turis asing dari Cina sebanyak 181.281 orang sejak Januari 2020. 

Ditambah lagi, penguasa terlihat seperti lepas tanggung jawab. Padahal seharusnya penguasa berperan penting dalam menjalankan tugas dan kewajibannya termasuk penanganan kasus COVID-19, bahkan penguasa juga memilki otoritas penuh untuk mengatasi persoalan yang sudah mencapai tahap pandemik. 

Tapi nyatanya, penguasa tidak bergerak cepat, malahan pemerintah daerah yang justru bergerak cepat dalam menangani wabah corona. Padahal sejatinya pemerintah daerah berada dibawah kepemimpinan rezim dan tidak seharusnya pemerintah daerah bergerak tanpa instruksi Presiden. 

Namun dengan banyaknya korban COVID-19 yang semakin berjatuhan, membuat pemerintah daerah mengambil langkah lockdown, tanpa kendali presiden. Dan dalam hal ini membuat rakyat Indonesia semakin percaya 100% bahwasanya Presiden yang sedang menduduki kursi di Istana saat ini tidak cukup kompoten untuk 'Menahkodai' pemerintahan Indonesia. 

Kini nyawa rakyat Indonesia seperti tergadaikan dengan kekhawatiran penguasa terhadap pengaruh ekonomi apabila mengambil langkah lockdown. Bahkan dengan adanya virus corona menjadi bukti bahwa negara masih bersikap acuh terhadap penderitaan rakyatnya daripada menjamin keselamatan rakyat. 

Beginilah realita pemimpin sekarang, tidak bisa dipungkiri lagi sejak Indonesia dan negeri di belahan dunia lainnya menganut Ideologi Kapitalisme yang berasakan sekularisme permasalahan datang beruntun tak ada ujung. Dari masalah ekonomi, Pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya. Penguasa seolah tidak mempedulikan nasib rakyatnya sendiri, mereka hanya sibuk mencari muka pada korporasi asing dan aseng. 

Terlihat sekali ketika masyarakat membutuhkan hadirnya  sosok pemimpin untuk menagani Covid-19, tapi penguasa justru abai melakukan lockdown dengan alasan tidak mampu memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat selama masa lockdown. 

Bukan hanya itu, pemerintah lebih mengutamakan investasi asing daripada nyawa rakyatnya. Untung rugi tak diindahkan untuk rakyatnya. 

Apabila ada unsur manfaat yang didapatkan, maka tidak diragukan lagi pemerintah akan sangat gesit mengambilnya. Sungguh malang negeriku, negeri dengan mayoritas muslim terbesar justru menjadi antek-antek barat. Dengan melihat sikap acuh tak acuh penguasa sekarang yang tak mapu melindungi rakyatnya, lantas pertanyaannya dimanakah pelindung yang layak? 

Padahal kalau kita mau menilik bagaimana peran Penguasa dalam negara Islam sangat luar biasa terutama dalam menangani kasus yang mewabah di wilayahnya. 

Wabah sendiri dalam pandangan Islam merupakan musibah yang ditimpakan kepada seluruh manusia, baik yang beriman atau tidak. Yang membedakannya hanyalah bagaimana menyikapi wabah tersebut. 

Bagi sebagian orang beriman ia meyakini bahwa segala ketentuan yang terjadi di dunia ini tidak terlepas dari kehendak Allah swt, ia akan berikhtiar dengan segala ketentuan-Nya sembari bertaubat memohon ampun kepada Allah. 

Sebagaimana yang pernah di lakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab 14 abad yang lalu, beliau meminta masukan kepada Amru bin Ash untuk menangani pandemi. Umar bin Khattab memisahkan interaksi orang yang terkena wabah dengan orang yang tidak. Umar bin Khattab juga mendirikan pusat pengobatan di daerah yang terkena wabah tersebut untuk mengurangi angka korban. 

Pada tahun 17 H (sekitar 639 M) di masa kepemerintahan Khalifah Umar bin Khattab muncul satu wabah (taha’un) ia berasal dari virus yang berasal dari hewan ini terjadi di Amwas suatu daerah di Palestina, Syam. setelah mengetahui sebuah hadis Nabi untuk permasalahan ini.

Rasulullah sallaullahu ‘alaihi wasallam sudah memperingatkan jauh-jauh hari apabila menemukan suatu wabah yang mematikan di wilayahnya. Sebagaimana sabdanya:
“ Jika kalian mendengar tentang wabah (tha’un) di suatu negeri, maka janganlah kamu memasuki wilayah itu. Apabila kalian berada di wilayah yang terjangkiti itu, maka janganlah kamu keluar dari nya karena hendak melarikan diri “ (HR. Muslim). 

Islam telah mengajarkan konsep lockdown yang sempurna. Hanya Islam yang menjadikan pemimpin sebagai junnah (perisai) yang mampu melindungi rakyatnya dan sebagai penanggung jawab terbaik, terhadap apa yang menimpa rakyatnya. 

Seorang khalifah tentunya tidak akan lepas tangan terhadap masalah yang menimpa rakyatnya, apalagi melimpahkan kewajibannya kepada bawahannya. 

Inilah yang menjadi alasan kuat umat islam saat ini untuk memperjuangkan kembali tegaknya hukum-hukum Allah dalam bingkai Khilafah.
Waullahu’alamu bissawab

Post a Comment

Previous Post Next Post