Ingkar Janji Karakter Rezim Demokrasi?

Oleh : Melitasari

Beredar Video pernyataan KH. Said Aqil saat berbicara dalam wisuda mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) di Parung, Bogor, Jawa Barat, beberapa waktu lalu dengan  durasi 32 menit 2 detik  diunggah di channel Youtube, NU Channel, sehari setelah wisuda mahasiswa Unusia. Di menit 17.45 video,  Said Aqil mengatakan, "Ketika Pilpres suara kita dimanfaatkan. Tapi ketika selesai, kita ditinggal."

Pernyataan itu keluar langsung dari Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj. Warga Nahdliyin pantas kaget karena NU sendiri bukanlah partai politik yang berkewajiban mendukung salah satu pasangan calon (paslon) pada Pemilu lalu.

"Khittah NU itu tak berpolitik. Hanya mendidik umat. Pengakuan ketua PBNU tentu membuat jemaah NU di bawah, terutama NU kultural, kaget," ujar pengamat politik dari UIN Syarief Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno saat berbincang dengan Kantor Berita RMOLNetwork di Jakarta, Sabtu (28/12).

Pernyataan ketua PBNU ini berbanding terbalik dengan masa pilpres  lalu  seperti dilansir (TEMPO.CO, Jakarta(14/08)), Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siradj kembali menyatakan dukungan kepada pasangan calon presiden dan wakil presiden Joko Widodo atau Jokowi dan Ma'ruf Amin di pemilihan presiden 2019.

"Karena yang maju adalah Rais Aam, jadi harus menang," ujar Said saat ditemui di kantor PBNU, Jakarta pada Selasa, 14 Agustus 2018. Said mengatakan, meski tidak berpolitik, NU memiliki bobot politis yang berat. "Kami membantu mensukseskan, kendaraan politik-nya tentu PKB," ujar Said.

Dia juga mengklaim, seluruh struktur NU akan turut mendukung penuh Jokowi-Ma'ruf di pemilihan presiden 2019. "Struktur kami di NU, warga nahdliyin, enggak usah digerakkan, enggak perlu dibayar, akan mendukung penuh," ujar Said.

Namun pernyataan Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) itu hanya menegaskan bahwa rezim sekuler demokrasi berkarakter ingkar janji, sebab setelah terpilihnya kandidat nomor satu sebagai presiden dan wakil presiden, Nahdiyin ditinggalkan ibarat peribahasa "Habis manis sepah dibuang". 

Bahkan bukan hanya NU saja yang ditinggalkan. Tapi umat Islam secara keseluruhan. Dulu sebelum jadi presiden umat tertipu dengan model pencitraan blusukan. Rakyat didekati ke pasar tradisional yang kotor seolah dia merakyat dan sangat perduli dengan rakyat kecil. Atau seolah peduli dengan ulama’, dengan menjenguk ulama’ karismatik yang sedang sakit. 

Menjelang pilpres berbagai cara dilakukan untuk mendapatkan simpati dari umat Islam agar dukungan diberikan pada rezim saat ini. Namun saat kekuasaan sudah ada pada genggaman, umat dicampakkan. Ulama’ dimusuhi dan banyak aksi pembubaran pengajian dibiarkan. Umat Islam hanya didekati dan dibutuhkan saat menjelang pilpres saja. Namun setelah terpilih, umat Islam ditinggalkan dengan lebih memilih para konglomerat yang menjajikan banyak keuntungan.

Saat umat merasa sakit saudaranya Muslim Uighur di China diperlakukan tidak manusiawi oleh rezim, penguasa tidak perduli bahkan terlihat mesra dengan pemerintahan China. Apakah Jokowi tidak butuh umat Islam lagi? Jika umat sudah tidak dibutuhkan dan dicampakkan, jangan coba-coba mendekati umat yang sudah tersakiti dan kecewa pada pemerintahan yang anti Islam. Umat harus bangun dari tidur mereka dan melihat kenyataan bahwa mereka sudah dipermainkan.

Hendaknya menjadi I'tibar (hikmah) bahwa ormas tidak boleh beralih dari tanggung jawab amar makruf nahi mungkar (Al-imran : 104) dan muhasabah lilhukam (mengoreksi penguasa) sesuai misi kehadirannya di tengah Masyarakat. Amal inilah yang saat ini menjadi kebutuhan hakiki umat, bukan dana dan suntikan modal yang justru membuat umat tidak menyadari pertentangan rezim dengan kepemimpinan Islam. Jangan menjadi pejilat dan mau diperalat. Wallahu 'alam bishsowab

Post a Comment

Previous Post Next Post