Banjir di Kotaku, Akibat Kebijakan Liberal

Oleh: Sri Kencanawati, S.Pd

Sejak lama permasalahan banjir tak pernah usai. Jika hujan datang, maka kota bersiap akan segera banjir. Padahal, beberapa jam saja, banjir sudah mengenangi jalan dan pemukiman. Kota Samarinda sebagai ibukota Kalimantan Timur sudah sangat biasa menghadapi permasalahan ini. Apalahi jika curah hujan yang tinggi akan berdampak banjir yang sangat luas sehingga membuat masyarakat panik  karena akan mempengaruhi aktivitas mereka baik dirumah dan yang ada di luar rumah.  

Biasanya titik-titik banjir di Samarinda di antaranya di DI Panjaitan, Jl Wahid Hasyim, Jl A Yani, Jl Lambung Mangkurat, Jl AW Syahranie, dan Jl Air Hitam. Termasuk juga akses menuju Bandara APT kebanjiran, dan kawasan Jalan Lempake Jaya, Samarinda Utara (https://news.detik.com/berita/d-4855320/banjir-di-samarinda-polisi-kerahkan-truk-pasukan-untuk-angkut-warga).

Dikonfirmasi Sekretaris Daerah Kota Samarinda Sugeng Chairudin di Samarinda Selasa (4/7/2019) kepada RRI mengatakan, Pemerintah Kota Samarinda akan melakukan penyelesaian banjir mulai dari hulu.“Penyelesaian banjir ini mulai dari hulu, hulu ini akan kita tata lagi, daerah resapan kita kendalikan, daerah yang tidak boleh dibangun akan kita pertahankan, kita bikin folder, kita coba bersihkan karang mumus, nah di daerah hilir kita akan benahi drainase dan pintu-pintu air” jelas Sugeng.  (http://rri.co.id/post/berita/689837/mitigasi_bencana/keruk_sungai_karang_mumus_upaya_pemkot_samarinda_tanggulangi_banjir.html).

Apakah semua upaya tersebut akan berhasil menangani banjir? Justru permasalahan banjir semakin berdampak luas pada daerah-daerah yang tidak biasa terdampak banjir.

Sungguh memprihatinkan! Banjir akan banyak memberikan kerugian materiil bagi masyarakat bahkan bisa nyawa. Meski masalah banjir ini dianggap musibah dan teguran namun ketika banjir terus menerus bahkan tambah parah tentu ada yang salah. Seharusnya permasalahan banjir yang terus menerus ini harus dicari tahu agar dapat diselesaikan dengan tuntas.Penulis ingin mengajak masyarakat menarik benang merah apa sebenarnya masalah utama muncul masalah banjir di kota ini. 

Banjir dan Tambang
Kota Samarinda yang kita cintai ini banyak dikelilingi oleh pertambangan. Tak sedikit pertambangan meninggalkan lubang-lubang tanpa direklamasi kembali. Tumbuhan yang awalnya ada diatas pertambangan habis digunduli untuk bisa mengeruk batubara yang ada didalamnya. Tanpa memperhatikan akibat negatif yang muncul nantinya bagi alam dan masyarakat. 

Penggalian tambang akan berefek pada kerusakan. Apalagi sedari awal tidak memikirkan baik dan buruknya, juga solusi tepat setelah penggalian. Tapi yang terjadi terus saja menggali, mengambil, memperluas penggalian hanya untuk mendapatkan hasil dan keuntungan semata dari proyek tersebut. 

Jadi, dalang dari kerusakan lingkungan salah satunya banjir adalah para investor baik asing maupun swasta yang sudah mendapatkan ijin untuk melakukan penggalian SDA di daerah kita. Pemerintah melalui sistem saat ini secara tidak langsung melalui ijin dan undang-undang meliberalkan SDA dikuasai swasta atau asing.

Sistem kita yang berasas pada kapitalis sekuler hanya akan melahirkan kebijakan liberal. Negara membuat kebijakan-kebijakan sebebasnya bagi kepemilikan umum, individu maupun negara, bagi mereka yang kapital (pemilik modal besar) untuk bisa menguasai SDAE di negeri ini.
Kalimantan Timur sebagai satu wilayah yang kaya sebagai  penghasil SDAE utama di Indonesia. Liberalisasi kepemilikan  ini terlihat jelas dari UU yang dibuat oleh negara bagi pihak swasta maupun asing dalam mengelola SDAE. Semua diserahkan pengelolaannya kepada pihak tersebut dan untuk pemerintah mendapatkan bagian yang sesuai. Yang pasti harus sejalan dengan kepentingan pemerintah dan memberi keuntungan juga bagi mereka (penguasa). Tanpa melihat apakah ini ada dampak negatif di kemudian hari. 
Kebijakan liberal yang tak berpihak pada kemaslahatan rakyat. Inilah  kefasadan dan kebatilan yang terjadi dinegeri ini, akibat ulah tangan-tangan manusia itu sendiri.  

Pandangan Islam

Allah SWT berfirman:  
﴿ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ﴾  
Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)(TQS ar-Rum [30]: 41).  
Berbagai kerusakan yang terjadi itu tentu mendatangkan akibat buruk bagi masyarakat secara keseluruhan. Sejatinya itu baru sebagian dari akibat kerusakan yang disebabkan manusia berpaling dari Islam dan syariahnya. Allah swt menimpakan sebagian dari akibat kerusakan itu agar manusia bertobat dengan kembali pada Islam dan Syariahnya.  

Jika kita kembali kepada aturan Islam, maka akan jelas  bagaimana Islam mengatur masalah kepemilikan. Tidak ada liberalisasi kepemilikan sebagaimana dalam kapitalis sekuler, dikarenakan semua yang ada didunia ini hanyalah milik Allah. Sehingga, pengelolaan kepemilikan individu, umum dan negara akan mengikuti aturan Syara’ yaitu Allah sebagai pengatur. 

Menurut aturan Islam, kekayaan alam adalah bagian dari kepemilikan umum. Kepemilikan umum ini wajib dikelola oleh negara. Hasilnya diserahkan untuk kesejahteraan rakyat secara umum. Sebaliknya, haram hukumnya menyerahkan pengelolaan kepemilikan umum kepada individu, swasta apalagi asing. 

Di antara pedoman dalam pengelolaan kepemilikan umum antara lain merujuk pada sabda Rasulullah saw.: 
الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ فِي الْمَاءِ وَالْكَلَإِ وَالنَّارِ 
Kaum Muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, rumput dan api (HR Ibnu Majah). 
Rasul saw. juga bersabda: 
ثَلَاثٌ لَا يُمْنَعْنَ الْمَاءُ وَالْكَلَأُ وَالنَّارُ 
Tiga hal yang tak boleh dimonopoli: air, rumput dan api (HR Ibnu Majah). 

Terkait kepemilikan umum, Imam at-Tirmidzi juga meriwayatkan hadis dari penuturan Abyadh bin Hammal. Dalam hadis tersebut diceritakan bahwa Abyad pernah meminta kepada Rasul saw. untuk dapat mengelola  sebuah tambang garam. Rasul saw. lalu meluluskan permintaan itu. Namun, beliau segera diingatkan oleh seorang sahabat, “Wahai Rasulullah, tahukah Anda, apa yang telah Anda berikan kepada dia? Sungguh Anda telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (mâu al-iddu).” Rasul saw. kemudian bersabda, “Ambil kembali tambang tersebut dari dia.” (HR at-Tirmidzi). 

Mau al-iddu adalah air yang jumlahnya berlimpah sehingga mengalir terus-menerus.  Hadis tersebut menyerupakan tambang garam yang kandungannya sangat banyak dengan air yang mengalir. Semula Rasullah saw. memberikan tambang garam kepada Abyadh. Ini menunjukkan kebolehan memberikan tambang garam (atau tambang yang lain) kepada seseorang. Namun, ketika kemudian Rasul saw. mengetahui  bahwa tambang tersebut merupakan tambang yang cukup besar, digambarkan bagaikan air yang terus mengalir, maka beliau mencabut kembali pemberian itu. Dengan kandungannya yang sangat besar itu, tambang tersebut dikategorikan sebagai milik bersama (milik umum).

Berdasarkan hadis tersebut, semua milik umum tidak boleh dikuasai oleh individu, termasuk swasta dan asing. Tentu yang menjadi fokus dalam hadis tersebut  bukan “garam”, melainkan tambangnya. Dalam konteks ini, Al-Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani mengutip ungkapan Abu Ubaid yang mengatakan, “Ketika Nabi saw. mengetahui bahwa tambang tersebut (laksana) air yang mengalir, yang mana air tersebut merupakan benda yang tidak pernah habis, seperti mata air dan air bor, maka beliau mencabut kembali pemberian beliau. Ini karena sunnah Rasulullah saw. dalam masalah padang, api dan air menyatakan bahwa semua manusia bersekutu dalam masalah tersebut. Karena itu beliau melarang siapapun untuk memilikinya, sementara yang lain terhalang.” 

Alhasil, menurut  aturan Islam, tambang yang jumlahnya sangat besar  baik  garam maupun selain garam seperti batubara, emas, perak, besi, tembaga, timah, minyak bumi, gas dsb semuanya adalah tambang yang terkategori milik umum sebagaimana tercakup dalam pengertian hadis di atas. 
Karena itulah Ibnu Qudamah dalam kitabnya, Al-Mughni, sebagaimana dikutip Al-Assal & Karim (1999: 72-73), mengatakan, “Barang-barang tambang yang oleh manusia didambakan dan dimanfaatkan tanpa biaya seperti garam, air, belerang, gas, mumia (semacam obat), minyak bumi, intan dan lain-lain, tidak boleh dipertahankan (hak kepemilikan individualnya) selain oleh seluruh kaum Muslim sebab hal itu akan merugikan mereka.” 

Sebagai konsekuensi keimanan kepada Allah swt dan Rasul-Nya, setiap muslim, termasuk para penguasanya, wajib terikat dengan seluruh aturan syariah Islam. Karena itu semua perkara dan persoalan kehidupan, termasuk masalah pengelolaan sumber daya alam, harus dikembalikan pada al-Quran dan as-Sunnah. 

Allah SWT berfirman: 
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ 
Jika kalian berselisih pendapat dalam suatu perkara, kembalikanlah perkara itu kepada Allah (al-Quran) dan Rasul-Nya (as-Sunnah) jika kalian mengimani Allah dan Hari Akhir  (TQS an-Nisa [4]: 59).

Post a Comment

Previous Post Next Post