Menanti Janji Presiden


(Oleh : Nita Nopiana)

Joko Widodo kembali memimpin pemerintahan untuk lima tahun ke depan. Kini beliau menjadi presiden hingga 2024 ditemani Wakil Presiden Ma'ruf Amin. Ada sejumlah visi dan misi yang dicanangkan. Itu semua juga sudah dipaparkan selama berkampanye saat Pilpres 2019 masih berjalan.

Jokowi-Ma'ruf Amin bertekad menjalankan program-program tersebut. Akan tetapi, bukan berarti Jokowi bisa sepenuhnya fokus merealisasikan janji kampanyenya lalu mengabaikan permasalahan yang muncul di periode pertama. Tentu publik bakal menyoroti warisan masalah di periode pertama jika muncul kembali di periode kedua. Ada tujuh masalah pada periode pertama yang saat ini belum mampu diselesaikan (CNN Indonesia | Sabtu, 19/10/2019 ).

Pertama,  Radikalisme. Islam yang selalu mereka tuduhkan. 
Kedua, Karhutla. Dalam  periode pertama Jokowi belum mampu menyelesikan kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Asap membubung tinggi ke langit di berbagai daerah, khususnya di Sumatera dan Kalimantan. Asap karhutla ini bahkan sampai memakan korban jiwa.  Greenpeace Indonesia mencatat 3,4 juta hektare lahan terbakar selama 2015-2018. Ditambah catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang menyebut 328.724 hutan dan lahan terbakar sepanjang Januari-Agustus 2019. Angka itu tidak statis dan masih bisa bertambah.

Ketiga, pelanggaran HAM masa lalu. Janji penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu yang dikumandangkan Jokowi pada 2014 juga tidak bisa direalisasikan. Penanganan HAM ini juga menjadi PR Jokowi pada periode kedua.

keempat,  Revolusi Mental Belum Optima. Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah menilai Revolusi Mental yang dicanangkan dan dilaksanakan Jokowi di periode pertama memang belum berjalan optimal. Hasilnya pun jadi tak maksimal.

Kelima, Pendekatan Militeristik di Papua. Masalah lain yang mendera pemerintahan periode pertama Jokowi adalah Papua. KontraS menilai Jokowi tidak mengubah pola pendekatan yang dilakukan terhadap masyarakat Papua. Menurut KontraS, Jokowi masih tetap menggunakan pakem lama, yakni cenderung militeristik.

Keenam,Revisi UU KPK. Revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) menjadi satu dari sekian masalah lain peninggalan periode pertama Jokowi. Gelombang penolakan terhadap Revisi UU KPK datang silih berganti. Dari masyarakat awam, pegawai KPK, aktivis anti-korupsi, hingga mahasiswa.DPR tetap mengesahkan Revisi UU KPK menjadi UU pada 17 September lalu.

Ketujuh, Sistem Zonasi Mendapatkan Sekolah. Sistem zonasi dalam PPDB juga tak ketinggalan menjadi perhatian di periode pertama Jokowi. Sistem zonasi ini pertama kali diterapkan pada 2017 lalu. Meski ada penolakan, terutama orang tua siswa, Kemendikbud kembali menerapkan sistem serupa pada 2018 dan 2019.

Ini semua membuktikan rezim telah gagal menjamin kesejahteraan hakiki atas rakyat.Terlalu banyak kebijakan rezim yang dirasa sangat mencederai umat Islam. Mulai dari pembungkaman ulama/aktivis dan ormas Islam yang dipandang membahayakan rezim, kriminalisasi ajaran Islam (bendera tauhid dan ide khilafah), munculnya narasi perang melawan radikalisme yang juga marak di kampus-kampus dan melibatkan pihak rektorat dan media, masifnya mainstreaming gagasan Islam moderat di semua bidang, dan lain-lain.
Kita tahu, salah satu pilar demokrasi adalah kedaulatan di tangan rakyat yang lahir dari kredo utamanya, yakni vox populi vox dei, suara rakyat adalah suara Tuhan. Dengan kredo maupun pilar ini, berarti rakyatlah yang memiliki hak penuh untuk membuat hukum. Hukum yang dibuat oleh rakyat melalui para wakilnya di parlemen, itulah yang berlaku sebagai aturan kehidupan.

Pada praktiknya, kredo ini menjadi bukti adanya cacat bawaan pada demokrasi yang membawa manusia pada kehancuran. Kenapa? Karena demokrasi bertumpu pada akal manusia yang lemah. Sehingga aturan-aturan (poleksosbudhanhukkam) yang dilahirkannya pun akan lemah dan cacat pula. Gagal menjadi solusi bagi kehidupan umat manusia.
Sistem perwakilan dalam membuat hukum yang dikenal dalam praktik demokrasi ini pun menjadi celah perebutan kekuasaan berbagai pihak, demi meraih kepentingan pribadi maupun kelompok elite. Dan tentu saja, celah ini membuka celah lain berupa munculnya berbagai intrik politik, terutama praktik money politic yang kerap kita lihat dalam setiap perhelatan pesta demokrasi.
Itulah yang menyebabkan ongkos demokrasi begitu mahal. Dan karenanya membuka celah berikutnya berupa kongkalikong antara penguasa dan pemilik modal. Lalu ujung-ujungnya, membuat praktik korupsi dalam berbagai bentuknya menjadi sebuah kelaziman, sementara rakyat dikorbankan. Sehingga, berharap demokrasi akan menyejahterakan, adalah bagaikan pungguk merindukan bulan.
Namun yang tak kalah berbahaya, kecacatan ini membuat kekuasaan sangat rentan intervensi asing, yang bisa masuk lewat kekuatan modal atau dukungan politis. Terlebih bagi negara pengekor seperti Indonesia. Penerapan sistem demokrasi ini justru akan membuat negeri ini bertambah lemah dan lebih gampang disetir.
Jangan heran jika rezim yang menerapkan demokrasi akhirnya sangat anti-Islam dan mustahil disandingkan dengan Islam atau memberi jalan bagi kekuasaan Islam. Karena antara keduanya ada perbedaan yang sangat mendasar. Mulai dari asasnya hingga penerapannya.
Sungguh, berharap pada rezim yang bertumpu pada sistem sekuler demokrasi kapitalis neoliberal akan selalu berujung pada kekecewaan. Sama dengan rela hidup dalam kedurhakaan dan dosa berkepanjangan. 
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman dalam QS. Al-A’raf ayat 96,
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ 
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”
Mari menjemput kemenangan Islam dengan berkontribusi maksimal menyampaikan yang haq tentang Islam dan Khilafah, karena itulah tuntutan iman kita dan demi tunaikan kewajiban terbesar. Allahumma inna nas’aluka bi ‘audatil Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah waj’alna min man aqaamaha bi aydiina..[]

Post a Comment

Previous Post Next Post