Dalam Demokrasi Semua Bisa Korupsi 



Oleh: Merli Ummu Khila
Kontributor Media 

Memberantas korupsi ibarat menimba air di lautan. Pekerjaan yang tidak ada habisnya. Jika semua pejabat diselidiki maka hampir semua terlibat korupsi. Karena di setiap badan pemerintahan kemungkinan terjadi penyalahgunaan jabatan oleh pejabat sangat besar.  Sebagian besar dana yang dikorupsi berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang berakibat merugikan negara ratusan triliun rupiah. 

Sudah ratusan kasus korupsi yang tertangkap KPK, tetapi tetap saja tidak membuat jera pejabat, dari pemanggilan sampai OTT bahkan tidak ada wajah malu dari para tersangka. Bukannya menyembunyikan muka justru mereka dengan percaya diri menyungging senyuman. Menganggap yang dilakukan bukan sesuatu yang hina. Mereka seolah menganggap berada  di penjara hanya pindah lokasi tidur saja. Karena mereka bisa bebas melakukan apa pun di dalamnya.

Tepatlah jika dikatakan Indonesia darurat korupsi. Alih-alih memperkuat perangkat KPK agar lembaga negara bebas korupsi, pemerintah justru ingin mengesahkan Rancangan Undang-Undang KPK yang diindikasikan akan melemahkan KPK. 

Dilansir oleh Tribunners, 21 September 2019, berdasarkan naskah Revisi UU KPK per 16 September 2019 yang telah disahkan oleh Pemerintah dan DPR terlihat sejumlah pasal-pasal yang dinilai dapat melemahkan KPK.

Ketentuan yang dianggap melemahkan KPK antara lain pembentukan Dewan Pengawas (pasal 37 Revisi UU KPK), kewenangan penghentian penyidikan (Pasal 40 Revisi UU KPK), Izin Penyadapan, Penyitaan dan Penggeledahan (Pasal 37 Revisi UU KPK), KPK masuk rumpun eksekutif (Pasal 1 Ayat 3 Revisi UU KPK), Pegawai KPK bersatus Aparatur Sipil Negara (Pasal 1 ayat 6 Revisi UU KPK).

Selain itu Revisi UU KPK juga memberikan dampak lain terhadap korupsi yaitu kini dianggap sebagai perkara biasa, bukan extraordinary crime, kewenangan pimpinan KPK dibatasi, kewenangan merekrut penyelidik independen dihilangkan dan perkara korupsi yang sedang ditangani bisa tiba-tiba berhenti. 

Pengesahan RUU KPK ini tentu mendapat  penolakan dari masyarakat berbagai kalangan. Terjadi aksi demontrasi mahasiswa di depan DPR RI dan DPRD berbagai kota dan provinsi sebagai puncak dari penolakan terhadap RUU KPK.  Lebih mencengangkan lagi bagi khalayak ketika siswa SMK pun ikut turun ke jalan. Meski sebagian besar mereka tidak mengetahui RUU KPK namun motivasi mereka tentu saja karena kekecewaan pada DPR yang sudah sewenang-wenang membuat aturan. 

Jika lembaga KPK sudah dibatasi ruang geraknya, maka bisa dipastikan korupsi akan semakin tak terkendali. Ditambah lagi ada rencana pengesahan RUU Pemasyarakatan yang seolah memanjakan koruptor dengan melonggarkan syarat remisi dan pemberian cuti. Jika RUU ini juga disahkan maka semakin jelas bahwa rezim ini ingin melemahkan bahkan mematikan KPK. 

Fakta pelemahan KPK dengan pemberlakuan UU KPK yang baru terjadi hanya di sistem demokrasi. Dalam demokrasi semua perundang-undangan adalah hasil pemikiran manusia. Aturan yang dibuat sudah pasti tendensius dan hasil pemikiran itu terbatas, tidak bisa menyelesaikan satu kasus secara sempurna. Setiap kebijakan tentu saja akan ada kepentingan di dalamnya baik kepentingan oknum tertentu atau golongan tertentu sebagai bagian dari deal-deal politik sebelum wakil rakyat terpilih. 

Saat ini demokrasi sudah di titik nadir. Terbukti dan tidak terbantahkan bahwa setiap hukum yang dibuat manusia tidak akan mampu menyelesaikan setiap persoalan. Negara membuat kebijakan seperti tambal sulam, menyelamatkan satu masalah namun menimbulkan masalah baru. Slogan untuk rakyat hanya utopis belaka. Para pemangku kekuasaan ternyata  hipokrit terhadap demokrasi. 

Solusi Hanya Dengan Sistem Islam 

Tindak pidana korupsi dikategorikan sebagai perbuatan penipuan (al-ghasyi) yang telah diharamkan Allah Swt. 
Rasulullah saw bersabda:
“ Dari Abu Ya’la Ma’qal ibn Yasar berkata aku mendengar Rasulullah saw bersabda, 
seorang hamba yang dianugerahi jabatan kepemimpinan, lalu dia menipu rakyatnya, maka 
Allah mengharamkannya masuk surga.” (HR. Bukhari dan Muslim). 

Dalam pidana korupsi, sanksi yang diterapkan sesuai dengan tingkat 
kejahatannya. Karena tidak adanya nash qath'i yang berkaitan dengan tindak kejahatan yang satu ini. Artinya sanksi syariat yang mengatur hal tersebut yaitu sanksi ta'zir, seorang hakim (imam/ pemimpin) diberi otoritas penuh untuk 
memilih tentunya sesuai dengan ketentuan syariah.

Umar bin Abdul Aziz menetapkan sanksi koruptor adalah dijilid dan ditahan dalam
waktu yang sangat lama. Zaid bin Tsabit menetapkan sanksi koruptor yaitu dikekang (penjara) atau hukuman yang bisa menjadi pelajaran bagi orang lain. Sedangkan Qatadah mengatakan 
hukumannya adalah dipenjara (Buletin Al-Islami, Edisi 585:3). 

Sudah saatnya kita campakkan demokrasi. Segera ganti dengan penerapan sistem Islam. 
Apa yang salah jika kita mengulang masa lalu? Masa kejayaan yang pernah dikecap umat Islam. Sejarah yang sudah disembunyikan bahkan dikubur oleh pembenci Islam. Karena ketakutan mereka akan kebangkitan Islam yang akan menghancurkan ideologi kufur mereka. Sistem Islam yang dibangun oleh tiga asas yaitu individu yang bertakwa, masyarakat sebagai pengontrol dan negara sebagai pelaksana hukum syariah. Sistem yang bersumber dari Sang Maha Pengatur, Tuhan Semesta Alam.

Wallahu'alam bishawab

Post a Comment

Previous Post Next Post