Perempuan Butuh Syariat Islam, Bukan RUU PKS


Penulis: Eva Rahmawati 
Ibu Rumah Tangga

Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) kini sedang dibahas panitia kerja komisi VIII DPR. Di tengah pembahasannya, pro dan kontra terus bergulir di tengah masyarakat. Masa bakti DPR periode sekarang hanya punya waktu kurang lebih sebulan. Untuk itu, harus segera dirampungkan. Jika tidak, proses panjang RUU PKS akan kandas. Pembahasan Prolegnas di DPR tidak mengenal keberlanjutan dari periode sebelumnya. Jika diajukan kembali, harus mulai dari nol ke DPR yang baru. 

Diberitakan oleh Jawapos.com (7/7/19), gabungan berbagai organisasi seperti Perempuan Mahardika, Federasi Buruh Lintas Pabrik, dan Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga, mendesak kepada pemerintah dan DPR, untuk segera merampungkan RUU PKS. Hal ini disampaikan oleh Koordinator Perempuan Mahardika Mutiara Ika Pratiwi di kantor YLBHI, Jakarta, kemarin (6/7). 

Di lain sisi, gelombang penolakan RUU PKS tak kalah besar. Sejumlah perempuan yang tergabung dalam organisasi Aliansi Cerahkan Negeri (ACN) menggelar aksi dalam menolak Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Aturan dalam RUU itu dianggap tidak memiliki tolok ukur yang jelas. (medcom.id, 14/7/19)

Berikutnya, Majelis Nasional Forum Alumni HMI-Wati (Forhati) menyatakan sikap menolak RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang sedang dibahas DPR dengan pertimbangan melanggar norma agama serta sarat dengan muatan feminisme dan liberalisme. (ANTARANews.com, 15/7/19)

Agenda Liberalisasi Melalui RUU PKS

Sejak awal, RUU PKS dinilai berbagai kalangan sarat muatan liberalisme dan feminisme. Hal ini dapat dilihat dari definisi dan banyak pasal dalam RUU tersebut yang tidak memiliki penjelasan secara rinci dan menjadi bias makna. 

Definisi kekerasan seksual diatur dalam Pasal 1 RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Pasal itu menyatakan, "Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik". (www.dpr.go.id)

Dari penggunaan istilah "kekerasan" saja tidak cukup kuat membendung segala bentuk kejahatan seksual ditambah dengan cakupan tindak pidana kekerasan seksual pada pasal 11 ayat (1) yaitu seseorang dinyatakan melakukan kekerasan seksual jika ada unsur paksaan, baik berbentuk pelecehan atau eksploitasi.

Hal ini dapat diartikan bahwa kejahatan seksual yang terjadi karena suka sama suka dianggap sah. Sebagai contoh hubungan seksual menyimpang (LGBT), pelacuran, perzinaan, aborsi, dan sebagainya, jika dilakukan tanpa ada unsur paksaan tidak dianggap sebagai tindak pidana dan lolos dari jerat hukum karena tidak ada ketentuan pidananya.

Salah Kaprah dalam Memaknai Perbedaan Gender

Narasi yang dihembuskan oleh Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Komnas HAM dan Organisasi Perempuan Perserikatan Bangsa Bangsa (UN Women), kekerasan terhadap perempuan kerap muncul akibat ketimpangan gender yang masih terjadi di berbagai sektor, seperti hak mendapatkan fasilitas kesehatan, pendidikan, politik, dan pekerjaan. (Beritatagar.id)

Maka mereka gencar menawarkan gagasan Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG) sebagai solusi. Dengan gagasan ini, kaum perempuan didoktrin untuk setara dengan kaum laki-laki. Dengan kesetaraan tersebut diharapkan tidak ada lagi ketimpangan gender. Perempuan mempunyai posisi tawar yang sama dan bisa melawan kekerasan. Gagasan tersebut juga memberikan kebebasan kepada perempuan untuk melakukan dan meraih apa saja tanpa harus terhalang batasan-batasan syariat. 

Dengan demikian, atas nama pemberdayaan kaum perempuan didorong untuk berkiprah di ranah publik. Dengan membuka lebar-lebar dinding sekat rumah, yang mereka pandang hanya mengungkungnya. Bagi kaum feminis, perempuan produktif adalah mereka yang mempunyai penghasilan sendiri dan punya karir. Perempuan maju dan modern adalah mereka yang bebas berekspresi tanpa mempedulikan ajaran agama. Sebaliknya, kebanggaan sebagai ibu sedikit demi sedikit terhapus sejalan dengan kian jauhnya mereka dari cara pandang dan sistem hidup yang dipenuhi nilai-nilai Ilahiyyah. Perempuan yang taat menjalankan aturan agamanya (menutup aurat dengan sempurna) distigma negatif. Dicap kuno, bahkan dilabeli radikal atau pun teroris.

Untuk diketahui, gagasan KKG muncul dari pemuja kebebasan (barat), yang diaruskan ke dunia Islam sebagai bentuk serangan pemikiran untuk mendiskreditkan Islam. Atas asas sekularisme, kaum perempuan dijauhkan dari kodratnya sebagai ummu wa robatul bait (ibu dan pengatur rumah tangga). Ironisnya, tak sedikit muslimah yang tergiur dengan gagasan KKG. Maka lihatlah, dunia kerja dan usaha didominasi oleh kaum perempuan. Waktu harian mereka lebih banyak dihabiskan di ruang publik.
Keberhasilan gagasan KKG tersebut erat kaitannnya dengan sistem kapitalisme demokrasi. Sistem yang mengharamkan agama mengatur kehidupan, sehingga kebebasan dijunjung tinggi. Alhasil, dalam kehidupan sosial masyarakat interaksi antara laki-laki dan perempuan jauh dari nilai-nilai agama. Inilah yang menjadi faktor utama maraknya kejahatan seksual pada perempuan. 

Maka, kehadiran RUU PKS bukanlah solusi. Bahkan, jika benar-benar disahkan menjadi UU, dikhawatirkan menjadi pemantik munculnya legalisasi tindakan LGBT dan pergaulan bebas. Sehingga, berharap pada RUU PKS untuk melindungi kaum perempuan "bagai pungguk merindukan bulan." Mustahil. 

Saatnya umat menyadari bahwa RUU PKS wajib ditolak. Perempuan tidak butuh RUU PKS, yang dibutuhkan adalah penegakkan syariah Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Hanya dalam Islam, masalah kejahatan seksual dapat teratasi. Dengan upaya preventif (pencegahan) dan kuratif (sanksi berat).


Dalam sistem Islam, interaksi hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur sangat detail dan terperinci. Perintah menundukkan pandangan baik laki-laki dan perempuan (Qs. An Nur: 30-31), larangan berkhalwat (berduaan), larangan ikhtilat, larangan zina (Qs. Al Isra': 32), perintah menutup aurat bagi perempuan (Qs. An Nur: 31 dan Al Ahzab: 59), larangan bertabarruj, larangan perempuan menyerupai laki-laki dan sebaliknya laki-laki menyerupai perempuan, larangan liwath, dan sebagainya.

Dalam kehidupan keluarga, kewajiban menafkahi menjadi tanggungan laki-laki, bagi perempuan ditempatkan pada posisi mulia sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Sehingga, perempuan akan lebih terjaga. Jika kondisinya mengharuskan baginya keluar rumah, akan tetap menjaga batasan interaksi dengan laki-laki asing. Baik laki-laki maupun perempuan diwajibkan untuk selalu terikat dengan hukum syara'.

Hukum-hukum Islam yang diimplementasikan dalam ranah individu tersebut dibangun atas dasar keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt. Selain itu masyarakat dan negara juga turut berperan. Masyarakat melakukan kontrol sosial dengan menegakkan amar ma'ruf nahi mungkar. Dengan upaya menjaga lingkungan agar kondusif dan tidak membiarkan terjadi tindakan asusila.

Dalam upaya pencegahan, negara berperan aktif dalam mengawasi dan mengontrol media. Blokir semua konten-konten pornografi dan pornoaksi. Negara juga wajib menghilangkan pemicu tindak kejahatan seksual seperti minuman keras, narkoba, dan sebagainya. Yang tak kalah penting negara memberikan sanksi tegas bagi para pelaku kejahatan seksual. Hukum persanksian dalam Islam berfungsi sebagai jawazir (pencegah terjadinya tindak kriminal yang baru terulang kembali) dan jawabir (penebus siksa akhirat) yang tidak dimiliki oleh sistem demokrasi.

Wallahu a'lam bishowab.
Previous Post Next Post