Pajak Bukan Solusi, Tapi Buat Frustasi

Oleh: Rini Astutik
(Pemerhati Sosial)


Demi mendorong masyarakat agar memililiki kesadaran membayar pajak, maka berbagai cara dan upaya dilakukan oleh pemerintah. Salah satunya adalah  rencana  Direktorat Jendral Pajak (DPJ) yang akan menggunakan tagline bayar pajak semudah membeli pulsa (Detikfinance, 02 Agustus 2019). 

Tagline tersebut adalah gagasan dari Menteri Keuangan kita Sri Mulyani. Beliau sangat berkeinginan merealisasikan pembayaran pajak semudah membeli pulsa. Hal ini dikarenakan teknologi saat ini berkembang sangat pesat, sehingga langkah ini merupakan upaya memberikan kemudahan efisiensi juga meningkatkan produktifitas Indonesia  (Detikfinance, 09 Agustus 2019).

Tak heran ide ini bukan hanya sekedar wacana. Ditjen Pajak akan kerjasama dengan e-commerce seperti Tokopedia untuk mempermudah pembayaran pajak. Harapannya, dengan adanya program tersebut menjadikan masyarakat tak bisa lagi menghindarkan diri dari kewajiban membayar pajak. Bahkan, Ditjen Pajak bisa mengendus harta sekalipun disembunyikan.

Inilah fakta yang terjadi ketika negara mengadopsi paham kapitalis dengan neoliberalismenya. Gagasan yang dimunculkan oleh Sri Mulyani  jelas menunjukkan bagaimana cara berfikirnya sistem ini. Yang mana pendapatan negara dibebankan pada rakyatnya melalui penarikan pajak. Pajak yang disinyalir untuk meningkatkan produktifitas Indonesia nyatanya hanya memperhitungkan keuntungan yang bisa didapat tanpa mempertimbangkan kerugian rakyat.

Lantas apakah dengan adanya kebijakan tersebut bisa memberikan solusi meringankan beban hidup rakyat ataukah malah menyengsarakan rakyat? Mengingat penduduk negeri ini adalah mayoritas dari kalangan menengah ke bawah bahkan bisa dibilang angka kemiskinan sangat tinggi, tentu saja pajak dengan berbagai macam objek dan mekanisme yang terus diciptakan bukanlah solusi melainkan justu menambah frustasi rakyat.

Meskipun pemerintah berdalih ingin menyejahterakan rakyat, faktanya rakyat hanyalah dijadikan sebagai obyek pemerasan melalui berbagai aturan pajak. Dengan mengatasnamakan untuk pertambahan pendapatan negara, rakyat seolah menjadi korban “drakula” yang terus dihisap darahnya hingga habis.

Kita bisa lihat, bagaimana pajak terus menggerogoti hidup selama ini. Seperti adanya pajak penghasilan pajak bumi dan bangunan serta pajak dari bea materai yang harganya cuma 3000 sampai dengan 6000 kini menjadi 10.000. Alasan kenaikan tersebut adalah atas perintah dari Presiden Joko Widodo untuk meningkatkan penerimaan pendapatan negara dari bea materai (Muslimah news.id). 

Belum lagi pemberlakuan wajib pajak bagi penggunaan kantong kresek dan plastik di pusat-pusat perbelanjaan. Ada juga pajak restoran, pajak hotel, pajak kendaraan, pajak penerangan jalan dan lain lain yang dinilai makin memberatkan rakyat. Padahal jelas Rasulullah SAW pernah bersabda “Siapa yang mengurusi urusan masyarakat lalu dia menutup diri orang yang lemah dan membutuhkan niscaya Allah menutup diri dari dirinya pada hari kiamat” (HR Muslim).

Lalu mengapa pemerintah masih saja mengambil resiko memberatkan rakyat dengan cara menjerat dan memalak mereka melaui pajak? Maka sungguh, ini adalah bentuk kezaliman nyata yang diakibatkan oleh penerapan sistem kapitalis dengan rezim yang kian neoliberalis. 

Berbeda dengan Islam. Dalam sistem negara Khilafah, dharibah (pajak) bukanlah sumber pemasukan utama negara. Adapun pajak yang boleh ditarik dalam Khilafah harus memiliki empat syarat yaitu pertama, pajak diambil dalam rangka membiayai kewajiban bersama antara negara dan ummat. Kedua, hanya diambil dari muslim saja. Ketiga, hanya diambil dari muslim yang mampu/kaya yang mempunyai kelebihan setelah tercukupi kebutuhan sandang pangan dan papan secara sempurna. Keempat, hanya boleh diambil pada saat tidak ada dana di Baitul Maal (kas negara sedang kosong).                                                             

Adapun ketika tidak ada dana yang mencukupi dari Baitul Maal, maka terdapat empat pengeluaran yang dapat dipenuhi dengan pajak yaitu pertama, untuk nafkah Fuqara, masakin, Ibnu Sabil dan Jihad Fi Sabilillah. Kedua, untuk membayar gaji orang-orang yang memberikan jasa atau pelayanan kepada negara seperti pegawai negeri, para penguasa, tentara dan lain-lain.

Ketiga, untuk membiayai kepentingan pokok yang mendesak dan dapat menimbulkan bahaya jika tidak ada, seperti jalan utama, rumah sakit utama, jembatan satu-satunya. Keempat, untuk 
membiayai peristiwa luar biasa seperti menolong korban bencana alam, gempa bumi, banjir, angin topan, kelaparan dan lain-lain.

Demikianlah cara dan mekanisme sistem pemerintahan Khilafah dalam memandang pajak dan mengatur serta membelanjakan uang negara. Ketentuan seperti ini  hanya berhukum pada Alqur’an dan Sunnah yang datangnya dari Allah Subhanallahu wata’ala pemilik dan penggenggam alam semesta serta telah dipraktekkan oleh Rasulullah SAW yang dilanjutkan oleh para khalifahnya selama 13 abad lamanya.

Manusia tidak perlu lagi bersusah payah membuat aturan dari akalnya yang terbatas, cukup memahami tuntunan dari Allah SWT, Rasul-Nya serta para sahabatnya yang mulia. Lantas, tidakkah itu cukup bagi kita? Wallahu A’lam bishshawab.
Previous Post Next Post