Menanti Oleh-oleh di Musim Haji

Oleh: Siti Maisaroh, S.Pd

Jutaan kaum Muslim kini berkumpul di Makkah al Mukarramah kota nan suci. Melaksanakan ibadah sakral yang sahnya setahun sekali. Dari berbagai macam Negara melampaui. Sanak saudara ditanah air melepaskan rindu dengan tangisan haru. Cemas terbingkis dalam kiriman do’a nan syahdu. 

Ditanah harom sana kaum Muslim bertemu dan berhadapan dengan segala perbedaan. Berbeda warna kulit; ada hitam, merah, putih sampai coklat. Berbeda asal suku, Negara juga bangsa. Tak ada lagi siapa yang berjabatan tinggi lebih dihormati. Tak ada lagi sekat antar kelompok atau organisasi. Tak ada lagi pakaian dinas atau pangkat yang disegani, semua sama, dengan pakaian ihram tubuhnya dilekati. 

Ada semangat persatuan yang tak tertandingkan oleh agama manapun atau perkumpulan apapun. Disana juga, semangat para lansia terlihat layaknya semangat pemuda. Tak ingin ketinggalan, bahkan tak jarang yang mengharapkan mengakhiri hidupnya disana. Semua menyatu. Karena ada perasaan, pemikiran dan tujuan yang satu. Di rumah Allah sebagai tamu. Juga tak ada persaingan antar Negara, yang ada persaingan meraih takwa. Mereka bertemu layaknya keluarga besar yang terpisah jarak sekian lama. Tapi pada dasarnya, hati mereka punya satu rasa. Rindu memeluk ka’bah dan mencium hajar Aswad. Rindu menghirup udara dibawah menara Masjidil Harom dan Masjid Nabawi. Rindu meneguk zam-zam; air yang diberkahi. 

Demikianlah, kecintaan kaum Muslim kepada agamanya. Kerinduan pada aset-aset peninggalan sejarah gemilang agamanya. Semoga kita semua dapat dimudahkan untuk menyusul ditahun berikutnya. 

Sayang seribu sayang, melihat pemandangan ini hati bertanya-tanya. Bertahun-tahun ritual haji dilakukan, tetapi tetap saja tidak membawa perubahan atau kebangkitan pada umat. Aturan haji dari niat, amalan, sampai syukuran kepulangan, semua diupayakan agar aturan Islam bisa sempurna tertunaikan. Tetapi, tetap saja, kaum Muslim masih terbelenggu dengan aturan kehidupan yang menggunakan akal juga nafsu manusia, yakni Sekularisme. Sehingga menjalankan aturan Islam yang sempurna sebagaimana yang diperintahkan dalam al Qur’an (lihat al Baqarah: 208) tak dapat dijalankan adanya. 

Namun sayang, ratusan ribu jamaah para haji dan hajjah kembali kemasing-masing negerinya, semua kembali seperti sedia kala. Sekat Nasionalisme menanti disetiap Negara. Masing-masing Negara tetap saja bersaing dan silang kepentingan. Negeri-negeri yang penduduknya bermayoritas Muslim, tetap saja dijajah oleh negeri adidaya dan sekutunya, dengan dalih sebagai konsekuensi aturan main globalisasi. 

Sejak runtuhnya kekhilafahan Islam terakhir di Turki tahun 1924, system jahiliyah hadir kembali menggantikan system Islam. Adalah system Sekularisme yang kini telah mempengaruhi setiap lini kehidupan. Ibadah haji yang dahulu Rasulullah Saw dan para sahabat lakukan selain untuk menjalankan syarat rukun haji, juga digunakan untuk menumbuhkan rasa persatuan dari setiap bangsa-bangsa. Tapi kini tersisa ibadah ritual (mahdo) belaka. Dahulu ketika Islam kuat dengan memiliki satu kepemimpinan saja yakni khalifah. Diatur  dengan aturan yang satu, yakni aturan Islam yang sempurna. 

Juga parahnya lagi, karena sekat Nasionalisme yang sempit. Kaum Muslim dipenjuru dunia menjadi tercepah belah. Tidak lagi diikat oleh persamaan akidah (Islam). Buktinya, ketika penjajahan bertubi-tubi yang terjadi di Palestina dan negeri Muslim lainnya, dunia seakan bungkam. Masing-masing Negara sibuk dengan kepentingannya. Kepala negeri-negeri Muslim juga sibuk dengan pencitraan dan hajat politiknya. Tetapi tak ada satupun Negara yang menyerukan persatuan untuk sama-sama melawan teroris tulen yakni Israel laknatullah. Yang ada justru media Sekular mewanti-wanti akan makna jihad yang dimaknai kekerasan dan kekejian. Padahal kita semua tahu, kalau kaum Muslim adalah laksana satu tubuh. Merasakan sakit, ketika saudara di Negara lain tengah terjajah dan terdzolimi. 

Padahal, hanya dengan bersatunya kaum Muslim dengan perasaan, pemikiran dan peraturan yang satu, maka kebangkitan akan berpindah tangan kepada kaum Muslim yang berjumlah mayoritas ini. Hanya dengan menjadikan Islam sebagai ideology maka kebangkitan juga persatuan akan diraih. Sebagaimana kita melihat, Amerika bangkit juga karena ideology Kapitalis penjajahnya. Maka, Islam pun akan bangkit sebagai agama rahmatan lil ‘alamin-nya. 

Benar adanya kalau selama ini kaum Muslim punya perasaan, pemikiran yang sama yakni Islami. Tetapi perasaan dan pemikiran itu belum diatur oleh aturan yang satu (Islam). Dan inilah yang harus kita perjuangkan. 

Juga ini merupakan konsekuensi keimanan kita untuk menjalankan syari’at Islam secara sempurna. Baik berniaga, berpendidikan, berpolitik, maupun yang lainnya. 

Sebagaimana Allah Swt berfirman, “Apa saja yang  Rasul perintahkan, terimalah; apa saja yang ia larang atas kalian, tinggalkanlah.” (TQS al Hasyr: 7). 

Semoga dengan momentum haji ini, kita semua semakin sadar akan penting dan wajibnya melakukan persatuan. Semoga dengan momentum berkorban tahun ini, kita semua semakin sadar akan pentingnya pengorbanan untuk menolong dan memuliakan agama ini. Inilah sejatinya oleh-oleh dari musim haji yang diharapkan. Bukan sekedar sajadah madinah, kurma, tasbih, air zam-zam dan sekawanan lainnya. Waallahu ‘alamu bishowab.
Previous Post Next Post