Kejanggalan Mati Listrik dan Pekat Aroma Liberalisasi

Penulis : Rizki Sahana 
(Pemerhati Kebijakan Publik, Penulis Bela Islam)

Kasus mati  listrik yang terjadi pada Minggu (4/8) dan Senin (5/8) masih menyisakan tanda tanya besar. Meski PT PLN (Persero) sudah berkali-kali menggelar pernyataan pers terkait black out yang terjadi Minggu (5/8), dan berdalih mati listrik disebabkan kerusakan interkoneksi jaringan, tapi pengamat menilai ada beberapa kejanggalan.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, misalnya, menyebut adanya kejanggalan menyangkut rencana cadangan (back-up plan) saat aliran listrik terputus. Menurutnya, pemadaman kemarin seharusnya bisa diantisipasi menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) Muara Karang dan PLTGU Tanjung Priok. Tapi kenyataannya, PLTGU tidak bisa berfungsi cepat untuk memback-up problem mati listrik. Hal itu membuatnya berspekulasi bahwa pasokan gas kedua PLTGU tak mumpuni sehingga kerjanya tak maksimal.

Sementara itu Direktur Indonesia Resource Studies (IRESS), Marwan Batubara, mengatakan kondisi yang terjadi Minggu (5/8) kemarin merupakan buah dari perencanaan ketenagalistrikan yang tidak matang. Menurutnya, pemerintah harus menyusun back-up plan dengan baik, sehingga bisa melakukan antisipasi dengan cepat. Jika PLTU tak serta merta berfungsi baik ketika jaringan transmisi dari Timur ke Barat sedang rusak misalnya, PLN bisa mengandalkan PLTA. Marwan Batubara menyayangkan mekanisme perencanaan tersebut tidak disusun secara terperinci dan sempurna.

Fabby Tumiwa dan Marwan Batubara juga mempertanyakan pangkal dari problem mati listrik Minggu (5/8) kemarin. Kenapa back-up plan tidak bisa terealisir dan kenapa tidak ada investigasi untuk menelusuri akar masalahnya.

Kejanggalan ini seperti mendapat jawaban ketika Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara, memberikan pernyataan bahwa PLN perlu memiliki pesaing yang turut berperan menyediakan pasokan listrik kepada masyarakat. Alasannya, agar beban perusahaan setrum negara tidak seberat saat ini. Selain itu, juga untuk mendukung kebijakan pusat data digital yang memiliki standar pemasok listrik lebih dari satu perusahaan.

Mencermati rangkaian peristiwa di atas: mati listrik, kejanggalan serta masih buramnya penyebab pangkalnya, juga solusi yang ditawarkan; tampak bahwa aroma liberalisasi justru lebih dominan ketimbang problem di tingkat teknis. Bahwa kinerja PLN memang belum ideal, semua setuju. Namun jika solusinya adalah dengan memberi restu bagi perusahaan lain untuk menjadi distributor listrik di Indonesia sebagai pesaing PLN, maka ini tidak akan pernah mengcover akar masalah.

Listrik sebagai hajat asasi publik, harus diselenggarakan oleh negara dengan profesional dan penuh dedikasi, bukan fasilitas yang dijual kepada rakyat dengan harga tinggi. Karena negara sejatinya adalah pengurus urusan rakyat, yang diamanahi untuk mengemban tanggung jawab pelayanan terbaik kepada rakyat. Memberi 'jalan tol' pada perusahaan lain untuk bersaing dengan PLN adalah bentuk pelalaian negara terhadap tugas utamanya mengayomi dan melayani rakyat. Karena listrik akan menjadi komoditi bisnis yang dipatok dengan harga tinggi untuk meraih sebanyak-banyak keuntungan.

Oleh sebab itu, negara wajib menguasai dan mengelola listrik secara mandiri, bukan menyerahkannya kepada swasta atau membiarkan swasta masuk ke dalam persaingan pasar. Untuk tujuan apa? Supaya negara memiliki kendali total dalam mengelola listrik sebagai kebutuhan dasar masyarakat, serta tidak jatuh pada pengelolaan berbasis bisnis.

Sungguh, para penguasa akan ditanya tentang tugas periayahan (pengurusan) serta tanggung jawabnya terhadap rakyat.

Rasulullah bersabda, 
“Imam itu adalah laksana penggembala, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban akan rakyatnya (yang digembalakannya).” (HR. Bukhari dan Ahmad dari sahabat Abdullah bin Umar r.a.)
Previous Post Next Post