Dua Garis Biru, Film Perusak Generasi Baru

Oleh : Azizah Nur Hidayah
(Pelajar, Author, member Akademi Menulis Kreatif)

Baru-baru ini, sebuah perusahaan perfilm-an mengeluarkan film terbaru yang berjudul “Dua Garis Biru”. Film “Dua Garis Biru” menceritakan kisah sepasang kekasih yang masih duduk di bangku SMA. Di usia 17 tahun, mereka nekat melakukan hubungan suami istri di luar nikah. Walhasil, sang perempuan pun hamil. Mereka berdua akhirnya dihadapkan dengan keadaan menjadi orang tua yang tak terbayangkan oleh anak-anak seusia mereka.
Membaca sinopsis singkat serta trailer film tersebut, banyak orang yang mengecam film ini. Lantaran khawatir akan menjerumuskan generasi ke dalam jurang pergaulan bebas di laur nikah. Akhirnya, dibuatlah sebuah petisi untuk meminta tidak meloloskan film “Dua Garis Biru” ke pasaran. "Beberapa scene di trailer menunjukkan proses pacaran sepasang remaja yang melampaui batas, terlebih ketika menunjukkan adegan berduaan di dalam kamar yang menjadi rutinitas mereka. Scene tersebut tentu tidak layak dipertontonkan pada generasi muda, penelitian ilmiah telah membuktikan bahwa tontonan dapat mempengaruhi manusia untuk meniru dari apa yang telah ditonton,"
Meski tak melihat ada adegan yang melanggar undang-undang, mereka menyebut ada pesan implisit yang ingin disampaikan lewat 'Dua Garis Biru'. Pesan tersebut dikhawatirkan dapat merusak generasi muda Indonesia. "Segala tontonan yang menjerumuskan generasi kepada perilaku amoral sudah sepatutnya dilawan (bukan tentang film Dua Garis Biru, melainkan film secara umum), karena kunci pembangunan negara ada pada manusianya. Mustahil apabila kita ingin mewujudkan Indonesia Emas 2045, namun generasi muda masih sering disuguhkan tontonan yang menjerumuskan kepada perilaku amoral," tulis mereka. (Dilansir dari DetikHot/01052019).
Bukan hal yang baru di dalam sistem liberal bila beredar film-film serupa seperti ini. Telah banyak sekali film-film lain yang tidak patut ditonton oleh masyarakat. Tak hanya satu dua film, tetapi puluhan bahkan ratusan film serupa telah beredar menjadi tontonan masyarakat. Sistem liberal merupakan sistem yang mengagungkan kebebasan, berasaskan mencari keuntungan dari bisnis merusak satu ini. Mereka tak segan-segan membuat tontonan perusak moral generasi demi keuntungan belaka. Selama ada yang berminat dengan suguhan yang mereka berikan, sekaligus menjanjikan keuntungan film, maka dibuatlah judul film dan trailer yang “menjual”. Inilah yang disebut kebebasan yang terlalu bebas, bahkan melampaui batas.
Menghadapi persoalan ini, sudah menjadi kewajiban bagi Negara untuk mengendalikan arus liberalisasi melalui tontonan generasi. Namun sayang, Negara tidak berdaya dalam mengendalikan arus liberalisasi yang akan menghancurkan generasi. Sudah seharusnya, Negara melarang dengan keras pembuatan sekaligus penyajian tontonan-tontonan dan film-film yang akan merusak moral dan akidah generasi bangsa. Tidak bisa hanya melalui petisi yang dibuat oleh individu atau kelompok dan komunitas. Tetapi haruslah langsung mendapat pelarang dari Negara.
Berbeda ketika Islam menjadi sistem dalam bernegara. Film dan tontonan di dalam sistem Islam, merupakan film dan tontonan dalam rangka dakwah dan edukasi bagi rakyat, termasuk untuk generasi-generasi muda. Tak hanya itu, ketika Negara mampu menerapkan seluruh hukum-hukum Islam dalam bernegara, maka Negara pun akan mampu berdiri sendiri, tidak digoyahkan oleh kepentingan individu. Negara memiliki peran utama dalam mengendalikan produksi film. Pengendalian ini merupakan salah satu bentuk penjagaan Negara dalam menjaga akidah rakyatnya, terlebih generasi muda. Negara akan menyajikan film-film dalam rangka dakwah dan edukasi masyarakat. Bukan film-film perusak moral dan akidah generasi. 

Previous Post Next Post