Politik Uang vs Politik Takwa

Penulis : N. Vera Khairunnisa

Pemilu baru saja usai digelar. Panasnya perpolitikan masih terasa hingga kini. Khususnya pemilihan presiden dan wakil presiden. Menyisakan suasana politik yang menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat. Hal ini terjadi karena semua calon dan para pendukungnya berambisi untuk memenangkan pemilu.

Sudah rahasia umum dalam sistem demokrasi, siapapun yang terpilih, akan sulit dipastikan bahwa dia benar-benar bersih. Pasalnya, agenda pemilu selalu diwarnai dengan money politics atau politik uang. Tidak terkecuali dengan agenda pemilu periode sekarang. Politik uang bisa ditemui di setiap daerah. 

Politik uang atau politik perut adalah suatu bentuk pemberian atau janji menyuap seseorang baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu pada saat pemilihan umum. (www. wikipedia. org)

Bentuk politik uang itu beragam. Ada yang memberi sumbangan untuk pembangunan masjid, pengembangan lembaga pendidikan, atau untuk perbaikan jalan. Ada juga yang membagi-bagikan amplop, sembako atau kaos bergambar calon presiden dan wapres. Yang pasti, semua pemberian itu bukan cuma-cuma. Tapi selalu dibarengi dengan permintaan untuk memilih calon tertentu ketika pemilu.

Sangat miris, politik uang seolah sudah menjadi budaya menjelang pemilu di negara yang menerapkan sistem demokrasi. Mereka menghalalkan segala cara demi meraih kekuasaan, termasuk membeli suara dengan cara politik uang. Sebab dalam pidato Gettyburgnya, Presiden Amerika Serikat yang ke-16  Abraham Lincoln menyatakan bahwa demokrasi merupakan suatu sistem pemerintahan yang diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. 

Kemungkinan besar ketika sudah terpilih, mereka akan menyalahgunakan jabatannya untuk membuat kebijakan yang hanya menguntungkan dirinya, dan pihak-pihak yang paling mendukung dia ketika sebelum terpilih. Yang pasti, para pendukung adalah pihak yang memberikan sumbangan dana kampanye. Merekalah para pengusaha. Maka pejabat yang terpilih ini berpeluang membuat kebijakan yang menguntungkan pengusaha tersebut, meski merugikan rakyat banyak.

Sistem Politik Islam Melahirkan Politik Takwa

Di dalam Islam, politik dibangun berdasarkan takwa. Meraih kekuasaan bukan untuk membuat aturan dan kewenangan sendiri, tapi untuk melaksanakan aturan Allah. Hakikat politik dalam Islam adalah politik takwa. Dimana jabatan dan kekuasaan adalah amanah dari Allah, sehingga harus diatur sesuai dengan hukum-hukum Allah. Lebih dari itu, dia akan diminta pertanggungjawaban kelak di akhirat, atas kepemimpinannya.

فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ »(رَوَاهُ مُسْلِمٌ)

"Dan kamu sekalian pemimpin dan akan ditanya atas pertanggungjawabannya." (HR. Muslim).

Islam akan menghilangkan adanya praktik politik uang. Sebab dalam Islam, politik uang adalah bentuk suap yang jelas diharamkan.

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الرَّاشِىَ وَالْمُرْتَشِىَ.

“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melaknat orang yang memberi suap dan yang menerima suap”. (HR. Abu Daud no. 3580, Tirmidzi no. 1337, Ibnu Majah no. 2313. Kata Syaikh Al Albani hadits ini shahih).

Rasulullah saw. juga mengabarkan tentang seseorang yang begitu haus akan kekuasaan. Padahal kekuasaan akan menyebabkan seseorang menyesal. Sebab mengurusi umat bukan hal yang mudah. Kalau salah dalam melakukan ri',ayah, siap-siap untuk mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah swt. 

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى الإمَارَةِ ، وَسَتَكونُ نَدَامَةً يَوْمَ القِيَامَة

“Nanti engkau akan begitu tamak pada kekuasaan. Namun kelak di hari kiamat, engkau akan benar-benar menyesal” (HR. Bukhari no. 7148).

Kalau hari ini orang-orang begitu tamak pada kekuasaan dan menghalalkan segala cara untuk meraihnya, berbeda dengan yang terjadi dengan Umar bin Abdul Aziz. Salah seorang khalifah dari Bani Umayyah. Ketika beliau diamanahi menjadi seorang khalifah, bukannya senang dan mengucap syukur, tapi justru mengucap "innâlillâhi wainna ilaihi raaji'uun". Umar mengucapkan ini, sebab dia mendapatkan sesuatu yang tidak disukainya.

Umar naik mimbar, dan dalam tatap muka pertama dengan rakyat, dia mengatakan, “Jamaah sekalian, sesungguhnya aku telah diuji dengan perkara ini, tanpa dimintai pendapat, tidak pernah ditanya dan tidak pula ada musyawarah dengan kaum muslimin. Aku telah membatalkan baiat untukku, sekarang pilihlah seseorang untuk memimpin kalian.” Orang-orang serentak menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, kami telah memilihmu, kami menerimamu, silahkan pimpin kami dengan kebaikan dan keberkahan.”

Di saat itulah Umar merasa bahwa dirinya tidak mungkin menghindar dari tanggung jawab khalifah, maka Umar menambahkan kata-katanya untuk menjelaskan kebijakan-kebijakannya dalam menata umat Islam (Umar bin Abdul Aziz wa Siyasatuhu fi Radd al-Mazhalim, Hal: 102), “Amma ba’du, tidak ada lagi nabi setelah nabi kalian, tidak ada kitab selain kitab yang diturunkan kepadanya. Ketahuilah bahwa apa yang Allah halalkan adalah halal sampai hari kiamat. Aku bukanlah seorang hakim, aku hanyalah pelaksana, dan aku bukanlah pelaku bid’ah melainkan aku adalah pengikut sunnah. Tidak ada hak bagi siapapun untuk ditaati dalam kemaksiatan. Ketahuilah! Aku bukanlah orang yang terbaik di antara kalian, aku hanyalah seorang laki-laki bagian dari kalian, hanya saja Allah Subhanahu wa Ta’ala memberiku beban yang lebih berat dibanding kalian.

Kaum muslimin, siapa yang mendekat kepadaku, hendaknya dia mendekat dengan lima perkara, jika tidak, maka janganlah mendekat: Pertama, mengadukan hajat orang yang tidak kuasa untuk mengadukannya, kedua, membantuku dalam kebaikan sebatas kemampuannya, ketiga, menunjukkan jalan kebaikan kepadaku sebagaimana aku dituntut untuk meniti jalan tersebut, keempat, tidak melakukan ghibah terhadap rakyat, dan kelima, tidak menyangkalku dalam urusan yang bukan urusannya.

Aku berwasiat kepada kalian agar kalian bertakwa kepada Allah, karena takwa kepada Allah memberikan akibat yang baik dalam setiap hal, dan tidak ada kebaikan apabila tidak ada takwa. Beramallah untuk akhirat kalian, karena barangsiapa beramal untuk akhirat, niscaya Allah akan mencukupkan dunianya. Perbaikilah (jaga) rahasia (yang ada pada diri kalian), semoga Allah memperbaiki apa yang terlihat dari (amal perbuatan) kalian. Perbanyaklah mengingat kematian, bersiaplah dengan baik sebelum kematian itu menghampiri kalian, karena kematian adalah penghancur kenikmatan. Sesungguhnya umat ini tidak berselisih tentang Tuhannya, tidak tentang Nabinya, tidak tentang Kitabnya, akan tetapi umat ini berselisih karena dinar dan dirham. Sesungguhnya aku, demi Allah, tidak akan memberikan yang batil kepada seseorang dan tidak akan menghalangi hak seseorang.”

Kemudian Umar meninggikan suaranya agar orang-orang mendengar, “Jamaah sekalian, barangsiapa yang menaati Allah, maka dia wajib ditaati dan barangsiapa mendurhakai Allah, maka tidak wajib taat kepadanya dalam permasalahan tersebut. Taatilah aku selama aku (memerintahkan untuk) menaati Allah, namun jika (perintahku) mendurhakai-Nya, maka kalian tidak boleh taat dalam hal itu…” kemudian Umar turun dari mimbar.

Itulah pemimpin yang lahir dari politik Islam. Sosok pemimpin yang tidak menyukai kekuasaan, namun dia begitu paham arti tanggung jawab terhadap rakyatnya. Berbeda dengan hari ini. Semua berambisi jadi pemimpin, namun mereka tidak paham bagaimana meri'ayah rakyat. Sebelum terpilih begitu dermawan, namun setelah terpilih membuat berbagai kebijakan yang menyengsarakan.

Oleh karena itu, sudah seharusnya kita merindukan negara ini diatur oleh sistem politik Islam, yang akan melahirkan sikap politik takwa, dan menenggelamkan demokrasi, yang hanya menyuburkan politik uang. Wallahua'lam.

Post a Comment

Previous Post Next Post