Pemilu 2019: Pesta Demokrasi Berujung Duka



Oleh: Eva Rahmawati 
Pemerhati Sosial

"Pemilu serentak 2019, bagai kawin paksa yang berlangsung rumit," merupakan pernyataan Adjie Al Farabi, peneliti dari LSI Denny JA. Pasalnya dalam Pemilu tahun ini ada dua proses Pemilu yang sulit digabung, antara Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg). Namun, berdasar keputusan MK, Pilpres dan Pileg dilakukan secara bersamaan pada Pemilu 2019.

Dengan demikian dalam pesta demokrasi tahun ini, ada 5 proses yang harus dilakukan oleh pemilih. Yaitu pemilih berhak memilih presiden dan wakilnya, memilih Anggota Legislatif (Aleg) baik untuk DPRD kabupaten/kota, DPRD Provinsi, DPR RI dan anggota DPD RI. Artinya ada 5 jenis surat suara yang harus dicoblos. Untuk memudahkan pemilih dalam memasukkan kertas suara ke kotak suara yang sesuai, Komisi Pemilihan Umum (KPU) membedakannya dengan warna.

Dilansir oleh IDNTimes.com pada 15 April 2019. Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini mengatakan, lima kertas suara pada saat Pemilu 2019 antara lain, DPRD kabupaten/kota warna hijau, DPRD Provinsi warna biru, DPR RI warna kuning, DPD RI warna merah, dan Presiden-Wakil Presiden warna abu-abu. "Pemahaman warna surat suara menjadi penting, karena nantinya surat suara itu dimasukkan ke lima kotak suara yang berbeda," kata Titi.

Dengan adanya 5 jenis kertas suara tersebut dapat dipastikan beban kerja penyelenggara Pemilu 2019 semakin berat. Ditambah penghitungan suara yang secepatnya harus dilakukan, alhasil petugas KPPS terkuras seluruh tenaga dan pikiran. Tidak mengherankan jika banyak petugas Pemilu  mengalami kelelahan, dan bahkan ada yang meninggal dunia.

Dilansir oleh TribunKaltim.co, 23/4/19. Hingga berita ini diturunkan tercatat sudah 139 petugas yang meninggal dunia. Perinciannya, 91 adalah petugas KPPS yang meninggal dunia. Selain petugas KPPS, pelaksanaan rangkaian proses Pemilu Serentak 2019 juga menelan korban dari institusi lain.

Dari Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) sebanyak 33 orang dan dari kepolisian yang mengawal logistik dan mengamankan TPS sebanyak 15 anggota. Selain itu, Masih terdapat 459 orang petugas yang jatuh sakit dan harus dirawat di rumah sakit yang tersebar di hampir seluruh provinsi.

Beban Kerja Yang Berat Berdampak Buruk Bagi Kesehatan

Sungguh pesta yang berujung duka. Pesta demokrasi 5 tahun sekali yang harusnya rakyat bersuka cita, namun atas kezaliman pembuat kebijakan yang mengharuskan pemilu dilakukan serentak berbuah nestapa. Para korban harus merasakan derita akibat beban kerja yang cenderung tidak manusiawi dari sisi durasi kerja.

Sebuah studi yang diterbitkan dalam jurnal Occupational and Environmental Medicine menggambarkan hubungan dari jam kerja seseorang dalam seminggu dan risiko serangan jantung. Orang yang bekerja 55 jam seminggu, 16% lebih mungkin meningkatkan risiko serangan jantung bila dibandingkan dengan mereka yang bekerja 45 jam seminggu. Sementara mereka yang bekerja 65 jam seminggu melihat risiko mereka meningkat sebesar 33%.

Hal ini didukung oleh laporan dari NCBI, kelelahan berlebihan bisa menjadi sebab kematian mendadak yang dikaitkan dengan rasa tegang yang berkepanjangan selama bekerja atau penyakit jantung. (gridHealth.id, 20/4/19)

Menanggapi adanya korban yang berjatuhan dalam penyelenggaraan Pemilu serentak ini, banyak kalangan yang buka suara mengenai hal tersebut. Perlu adanya evaluasi dalam pelaksanaan Pemilu serentak. Seperti yang diungkapkan oleh Prof Mahfud MD, istilah 'serentak' bisa ditafsirkan digelar pada hari yang berbeda, tidak harus dalam satu hari bersamaan seperti yang terjadi dalam Pemilu 2019.

Mahfud MD menjelaskan, pemilu serentak merupakan hasil keputusan Majelis Perwakilan Rakyat (MPR) saat membuat amandemen. Mahkamah Konstitusi saat itu mengabulkannya.
"Itu dulu kan keputusan MPR saat membuat amandemen bahwa Pemilu dilakukan serentak dengan 5 kotak. Berdasar dokumen dan kesaksian eks anggota-anggota Panitia ad-hoc (PAH) MPR itu MK mengabulkannya," ungkap Mahfud. 

Sejatinya evaluasi saja tidak cukup, yang perlu dilakukan adalah mencampakkan sistem demokrasi yang telah terbukti tidak memanusiakan manusia dan gagal melindungi segenap rakyat Indonesia. Dengan asas sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan), sistem demokrasi dinilai cacat dari lahirnya. Bagaimana mungkin agama di jauhkan dari kehidupan? 

Kegagalan Demokrasi 

Indonesia telah beberapa kali menyelenggarakan Pemilu, baik Pilpres, Pileg maupun Pilkada. Tercatat dalam sejarah, selama rentang tahun 1945 – sampai sekarang ada 7 Nama Presiden yang berkuasa dan 11 Nama Wakil Presiden dengan periode jabatan yang berbeda-beda. Begitupun dengan pergantian Anggota Legislatif dan Kepala Daerah, dilakukan tiap 5 tahun sekali.

Pergantian pemegang kekuasaan tertinggi pemerintahan RI yaitu presiden, dengan back ground yang berbeda-beda. Ada yang dari militer, ulama, pengusaha, intelektual, dan Ibu ketua partai, namun kondisi negeri ini masih dalam cengkeraman neoliberalisme dan neoimperialisme. Alhasil kesejahteraan rakyat jauh panggang dari api. Di samping itu, para pemimpin negeri ini gagal menjaga kedaulatan negara. Bahkan, kegagalan tersebut telah menjalar hampir di seluruh sektor. 

Dalam sektor ekonomi, semua sepakat bahwa Indonesia adalah negara yang mempunyai kekayaan SDA berlimpah, belum ditambah dengan kesuburan tanah dan kaya akan hasil laut, ironisnya kekayaan tersebut tidak menjadikan negeri ini makmur, sebaliknya negeri ini terlilit utang riba yang cukup besar, menurut data dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu), posisi utang LN pemerintah pada Maret 2019 sebesar Rp 4.567 triliun. 

Dalam sektor pendidikan dan budaya, negara gagal mencetak generasi unggul, ada fenomena yang memperlihatkan semakin masifnya invasi budaya barat masuk ke negeri ini ditandai dengan degradasi moral pada generasi muda dan gaya hidup bebas.

Dalam sektor pemerintahan, demokrasi hanya melahirkan para pemimpin yang tidak amanah, pelaku korupsi, dan pro terhadap para pemodal. Diperparah dalam sektor hukum dan keadilan yang cenderung tebang pilih dan tidak adil.

Pergantian rezim saja tidak akan membawa perubahan hakiki, selama masih setia mempertahankan demokrasi. Biaya pemilu yang tinggi terbuang percuma, pasalnya pemimpin yang baik saja tidak cukup untuk memimpin negeri ini dengan baik tanpa didukung dengan sistem yang baik pula, yaitu sistem Islam.

Perbedaan Sistem Demokrasi dan Sistem Islam

Dalam sistem demokrasi pemegang kedaulatan dan kekuasaan adalah rakyat. Konsekuensinya, semua hukum dan undang-undang menjadi otoritas parlemen yang dianggap menjadi representasi rakyat. Rakyat pula yang berhak memilih presiden atau kepala negaranya. Pemilihan itu bisa dilakukan secara langsung oleh rakyat, bisa juga oleh parlemen. Hal tersebut diimplementasikan dengan Pemilu tiap 5 tahun sekali untuk memilih presiden dan anggota legislatif.

Adapun sistem khilafah, antara kedaulatan (al-siyadah) dan kekuasaan (al-sulthan) dibedakan secara tegas. Kedaulatan dalam khilafah Islamiyyah ada di tangan syara’. Sebab, Islam hanya mengakui Allah Swt satu-satunya pemilik otoritas untuk membuat hukum dan syariat, baik dalam perkara ibadah, makanan, pakaian, akhlak, muamalah, maupun uqubut (sanksi-sanksi).

Islam tidak memberikan peluang kepada manusia untuk menetapkan hukum, meski satu hukum sekalipun. Justru manusia, apa pun kedudukannya, baik rakyat atau khalifah, semuanya berstatus sebagai mukallaf (pihak yang mendapat beban hukum) yang wajib tunduk dan patuh dengan seluruh hukum yang dibuat oleh Allah Swt (lihat QS al-Nisa’: 59-65, 105, 115; al-Maidah: 44-50).

Sedangkan kekuasaan diberikan kepada umat. Artinya, umatlah yang diberi hak untuk menentukan siapa yang menjadi penguasa yang akan menjalankan kedaulatan syara’ itu. Tentu saja, penguasa atau pemimpin yang dipilih harus memenuhi kriteria yang telah ditetapkan syara’. Kepala negara harus memenuhi syarat sah sebagai pemimpin, yaitu: muslim, baligh, berakal, laki-laki, merdeka, adil, dan mampu menjalankan tugas kekhilafahan.

Bahwa kekuasaan ada di tangan umat dipahami dari ketentuan syara’ tentang baiat. Dalam ketentuan syara’, seorang khalifah hanya bisa memiliki kekuasaan melalui bai’at. Prosedur praktis pengangkatan dan pembaiatan khalifah dapat dilaksanakan dalam bentuk yang berbeda-beda. Prosedur ini sebagaimana pernah dipraktikkan dalam al-khulafâ’ al-râsyidûn. Mereka adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali radhiyallah ‘anhum. 

Dalam akad baiat tersebut, kekuasaan yang dimiliki umat itu diserahkan kepada khalifah untuk mengatur urusan rakyat berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Dalam hal ini, khalifah merupakan wakil umat untuk menjalankan hukum Islam (kedaulatan syara’) dalam kehidupan bernegara, bukan untuk menjalankan kedaulatan rakyat sebagaimana sistem sekular-demokrasi. 

Wallahu a'lam bishshowab.

Post a Comment

Previous Post Next Post