Mengapa Takut Khilafah?

Penulis : Aniyatul Ain
(Pemerhati Media)

Ada yang berbeda dalam gelaran pesta rakyat lima tahunan saat ini yaitu terangkatnya isu khilafah dalam debat pilpres yang keempat lalu (30/3), yang dilaksanakan di Hotel Shanri-La, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Debat saat itu memang mengangkat tema: ideologi, pemerintahan, keamanan, serta hubungan internasional. Menariknya, isu khilafah malah menjadi sorotan. Bahkan, sebagaimana yang dilansir Jawa Pos, mantan kepala BIN AM Hendropriyono blak-blakan menyikapi persoalan khilafah ini.

Tidak hanya mantan kepala BIN yang berujar soal khilafah, mantan Ketum PP Muhammadiyah sekaligus menjabat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan MUI, Prof. Dr. M. Din Syamsuddin pun angkat suara terhadap persoalan khilafah ini. Sesuai tausiyah Dewan Pertimbangan MUI sebagai hasil rapat pleno ke-37 pada 27 Maret 2019, disampaikan lima imbauan yang perlu diperhatikan masyarakat. Dua diantaranya tercatat, yakni pada poin pertama: Sebaiknya kedua kubu paslon Presiden dan Wapres, menghindari penggunaan isu keagamaan, seperti penyebutan khilafah, karena itu bentuk politisasi agama yang bersifat pejoratif (menjelekkan). Pada poin kedua tertulis: Walaupun di Indonesia khilafah sebagai lembaga politik tidak diterima luas, namun khilafah yang disebut dalam Al-Qur’an adalah ajaran Islam yang mulia (manusia mengemban misi menjadi Wakil Tuhan di Bumi/khalifatullah fil ardh).

Sesungguhnya apa yang disampaikan oleh Prof. Dr. M. Din Syamsuddin benar adanya. Khilafah adalah ajaran Islam yang mulia, tidak perlu ditakuti. Khilafah adalah janji Allah dan kabar gembira Rasul yang pasti datang dan menjadi solusi bagi masyarakat. Memang, di Alqur’an tidak disebutkan secara spesifik kata khilafah, namun kita dapat temukan kata ‘khalifah’ di Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 30 dan QS: Shad ayat: 26. Khilafah mashdar dari khalifah. Jika secara tekstual kata khilafah tidak ditemukan di Al-Qur’an, bukankah kita punya sunnah Nabi yang menjadi penjelas (bayan) Al-Qur’an itu sendiri? Sebagaimana kewajiban solat memang ada secara spesifik di Al-Qur’an yaitu QS: Al-Ankabut: 45 namun, bagaimana tata cara solat, hal yang membatalkan solat, dll  tidak dijelaskan secara langsung di Al-Qur’an karena memang Al-Qur’an datang dalam bentuk yang (mujmal/global). Oleh karenanya kita membutuhkan sunnah sebagai bayan (penjelas). 

Hal demikian pun berlaku ketika membahas khilafah sebagai ajaran Islam. Banyak hadis Nabi yang menjelaskan tentang khalifah (mashdar: khilafah) ini, antara lain: “Dulu Bani Israel diurus dan dipelihara oleh para Nabi. Setiap kali Nabi meninggal, Nabi yang lain menggantikannya. Sesungguhnya tidak ada Nabi sesudahku dan akan ada para khalifah yang berjumlah banyak”. Para Sahabat bertanya, “Lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Nabi saw. Bersabda, “Penuhilah baiat yang pertama, yang pertama saja, berikanlah kepada mereka hak mereka. Sesungguhnya Allah akan meminta pertanggung-jawaban mereka atas apa saja yang mereka urus”. (HR. Bukhori dan Muslim). Hadis lain, “Siapa saja yang melepaskan tangan dari ketaatan, ia akan menjumpai Allah pada Hari Kiamat kelak tanpa memiliki hujjah, dan siapa saja yang mati, sedangkan di pundaknya tidak terdapat baiat (kepada khalifah), maka ia mati seperti kematian jahiliyyah”. (HR. Muslim). Atau hadis yang lain: “Sesungguhnya Imam/Khalifah itu laksana perisai, tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya”. (HR. Muslim).

Banyak kalangan yang belum menyetujui gagasan khilafah, tidak lantas ditafsirkan khilafah tidak ada di Al-Qur’an atau bukan ajaran Islam. Tentu anggapan ini sangat keliru karena bertentangan dengan nash itu sendiri dan bukti historis ketika khilafah masih tegak berdiri. Selain itu, anggapan sebagian orang bahwa Khilafah ancaman bagi NKRI itu tidak lebih sebuah propaganda jahat agar umat Islam phobia terhadap agamanya. 

Ada baiknya kita berkaca pada beberapa tokoh Barat yang objektif memuji negara Khilafah yang memberi keadilan, kesejahteraan, toleransi bagi semua manusia. Tidak memandang apakah dia muslim atau non muslim, semua diperlakukan adil. Tidak seperti saat ini keadilan dan kesejahteraan menjadi barang langka.

Berikut ini pengakuan beberapa tokoh dan sejarawan Barat terkait Khilafah: Pertama, Thomas Walker Arnold. Ia adalah seorang orientalis dan sejarawan Kristen. Meski dia beragama Kristen, ia ternyata memuji kerukunan beragama dalam negara Khilafah. Ia berkata: "...Perlakuan terhadap warga Kristen oleh Pemerintahan Khilafah Turki Utsmani-selama kurang lebih dua abad setelah penaklukan Yunani-telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa. (The Preaching of Islam: A History of Propagation Of The Muslim Faith, 1896, hlm 134). Dia juga berkata: "....Kaum Kalvinis Hungaria dan Transilvania serta Negara Utaris (Kesatuan) yang kemudian menggantikan kedua negara tersebut juga lebih suka tunduk pada pemerintah Turki daripada berada dibawah pemerintahan Hapsburg yang fanatik. Kaum Protestan Silesia pun sangat menghormati pemerintah Turki dan bersedia membayar kemerdekaan mereka dengan tunduk pada hukum Islam.  Kaum Cossack yang merupakan penganut kepercayaan dan selalu ditindas oleh Gereja Rusia, menghirup suasana toleransi dengan kaum Kristen di bawah pemerintahan Sultan".  Orientalis Inggris ini juga berkata: "Ketika Konstantinopel dibuka oleh keadilan Islam pada 1453, Sultan Muhammad II menyatakan dirinya pelindung gereja Yunani. Penindasan pada kaum Kristen dilarang keras dan untuk itu dikeluarkan sebuah dekrit yang memerintahkan penjagaan keamanan pada uskup Agung yang baru terpilih, Gennadios, beserta seluruh uskup dan penerusnya. Hal yang tak pernah didapatkan dari penguasa sebelumnya. Gennadios diberi staf keuskupan oleh Sultan sendiri. Sang Uskup juga berhak meminta perhatian pemerintah dan keputusan Sultan untuk menyikapi para gubernur yang tidak adil..."
Kedua,  Will Durant. Ia adalah seorang sejarawan Barat. Ia justru memuji kesejahteraan negara Khilafah. 

Dalam buku yang ia tulis bersama Istrinya Ariel Durant, Story of Civilization, ia mengatakan: “...Para Khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan kerja keras mereka. Para Khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang untuk siapapun yang memerlukan dan memberikan kesejahteraan selama beradab-abad dalam wilayah yang sangat luas. Fenomena seperti itu belum pernah tercatat (dalam sejarah) setelah zaman mereka...”.

Ketiga, Mary McAleese. Ia adalah Presiden ke-8 Irlandia yang menjabat dari tahun 1997 sampai 2011. Selain Presiden, Ia juga anggota Delegasi Gereja Katolik Episkopal untuk Forum Irlandia Baru pada 1984 dan anggota delegasi Gereja Katolik ke North Commission on Contentious Parades pada 1996. Meski dia beragama Kristen Katolik, namun tak disangka, ia memuji kedermawanan negara Islam (negara Khilafah).  Dalam pernyataan persnya, ia memuji bantuan Khilafah Turki Utsmani ke negaranya, Irlandia, sekitar tahun 1847. Bantuan itu dikirimkan ke Irlandia saat terkena musibah kelaparan hebat (The Great Famine), yang membuat satu juta penduduknya meninggal dunia. 

Terkait bantuan itu, Mary McAleese berkata: “...Sultan Ottoman (Khilafah Utsmani)  mengirimkan tiga buah kapal, yang penuh dengan bahan makanan, melalui pelabuhan-pelabuhan Irlandia di Drogheda. Bangsa Irlandia tidak pernah melupakan inisiatif kemurahan hati ini”. Untuk mengenang jasa Khilafah tersebut, kini Irlandia menggunakan logo Khilafah Turki Utsmani (Bulan Sabit) di club sepak bolanya. "Selain itu, kita melihat simbol-simbol Turki pada seragam tim sepak bola kita”, katanya.

Keempat, Karen Amstrong. Beliau adalah mantan biarawati sekaligus penulis terkenal. Amstrong juga memuji kehidupan beragama yang ada dalam negara Khilafah. Dalam negara Khilafah, agama selain Islam mendapatkan perlakuan yang sangat baik. Bahkan menurut Karen Amstrong, kaum Yahudi menikmati zaman keemasan di Andalusia. "Under Islam, the Jews had Enjoyed a golden age in al-Andalus...”, tulis Karen Amstrong. (syahid/voa-islam.com).

Post a Comment

Previous Post Next Post