Hipokrit Demokrasi



Oleh: Yuli Ummu Raihan
 Member Akademi Menulis Kreatif

Pemilu 2019 adalah pemilu terburuk sepanjang sejarah negeri ini adalah fakta yang terjadi saat ini. Pemilu yang diharapkan mampu membawa perubahan malah membuat luka dan kegaduhan.

Selain menelan biaya fantastik hingga 26 triliun rupiah, pesta rakyat 5 tahunan ini juga turut memakan korban yang tidak sedikit. Kecurangan terpampang nyata sebelum, saat dan pasca pemilu 17 April lalu.

Dilansir oleh Detiknews.com, Kamis, 25 April 2019 pukul 18:00 wib, menurut data KPU setidaknya ada 225 anggota KPPS yang meninggal dunia, 1470 sakit akibat kelelahan dan  faktor lainnya.
Meskipun Ketua KPU Arif Budiman mengatakan bahwa telah mengajukan anggaran untuk santunan kepada para korban kepada Kemenkeu, namun belum mendapat kepastian. KPU mengusulkan santunan untuk keluarga korban meninggal sekitar 30-36 juta per orang, dan korban yang mengalami kecelakaan yang mengakibatkan cacat sebesar 30 juta, korban luka 16 juta rupiah.

Penyelenggaraan pemilu di sejumlah daerah juga mengalami kendala. Mulai dari masalah distribusi logistik, kekurangan surat suara, kerusakan surat suara, hingga surat suara yang tercoblos lebih dulu. Deretan kasus ini menunjukkan KPU gagal menjamin pemilu berlangsung aman, jujur dan adil.

Dilansir oleh Tirto.id, (18 April 2019)  setidaknya ada belasan kabupaten/kota yang terhambat melaksanakan pemilu karena kegagalan KPU tersebut.

Kasus pertama terjadi di kabupaten Timor Tengah Utara, NTT, Ketua KPU NTT, Painus Veka mengatakan ada kekurangan surat suara untuk surat suara Presiden dan anggota DPRD kabupaten untuk empat daerah pemilihan.

" Waktu memang sudah tinggal satu hari lagi, tetapi kami hanya bisa menunggu pengiriman logistik pengganti dari KPU RI," ujar Paulus seperti dilansir oleh Antara, 15 April 2019.

Keterlambatan logistik juga terjadi di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Akibatnya, ada 11 kecamatan yang terancam tidak bisa mencoblos. Polisi akhirnya dilibatkan untuk mempercepat distribusi logistik tersebut.

Kasus lain terjadi di kecamatan Tamansari dan Ciseeng, Kabupaten Bogor, Senin 15 April 2019. Di dua lokasi itu ada 682 kotak suara yang rusak, beruntung KPU Kabupaten Bogor memiliki kotak suara cadangan.

Di kabupaten Cirebon, Jawa Barat KPU menemukan ada 12 ribu surat suara yang rusak. Kerusakan surat suara ini berupa kesalahan cetak, ada bercak tinta, sobek, yang akhirnya dibakar agar tidak disalahgunakan.

Kerusakan surat suara juga terjadi di Kota Palopo, ada 2. 625 surat suara rusak lantas dimusnahkan dini hari sebelum pencoblosan.

Di kabupaten Boyolali, Jawa Tengah ada 130 kotak suara rusak karena kehujanan. Divisi Teknis Penyenggaraan, Komisioner KPU Jawa Tengah, Putnawati mengatakan kerusakan itu terjadi saat kotak suara diangkut dengan truk dan kehujanan di jalan.

Solusinya mereka menggunakan kotak suara PKK untuk penghitungan suara. Sedangkan untuk kotak suara PKK, nantinya menggunakan kotak suara dari aluminium.

Di Kabupaten Bekasi, pada hari pemilihan ada kekurangan 1.600 surat suara, meski dapat diatasi dengan adanya pengiriman dari KPU pusat.

Namun, pada hari H pencoblosan ada kekurangan surat suara untuk DPR RI  terjadi  TPS 145 kelurahan Bintara, Kecamatan Bekasi Barat.

Sementara itu, di TPS 91 dan 91 Jatirahayu Kecamatan Pondok Melati, Kota Bekasi, terjadi keterlambatan dalam pelaksanaan pemilu yaitu mundur pukul 09.30 yang seharusnya pukul 07.00.

Setelah pencoblosan muncul lagi polemik karena hasil quick count di sejumlah media menyebut petahana unggul, sementara real count pendukung 02 mengklaim lebih unggul. Ini akan terus terjadi hingga hasil perhitungan manual selesai dan hasilnya resmi diumumkan oleh KPU.

Pemilu kali ini mendapat sorotan dan perhatian lebih dari berbagai kalangan. Baik pengamat, pejabat publik, hingga masyarakat sipil. Pro kontra menghiasi media baik cetak, elektronik, maupun online. 

Dalam artikelnya di HU Republika, Effendi Ghazali dkk, menulis dengan judul Dukacita dan Pemilu Serentak. Dalam tulisannya, Effendi sebagai salah satu pengaju judicial review  menghimbau agar pemilu dikembalikan kepada saat 2014 dari pada dipaksakan dengan memberlakukan presidential threshold. Ketua KPU akhirnya menyatakan bahwa pemilu serentak cukup sekali saja.

Dalam tulisan itu, Effendi lantas bertanya, apakah kemudian pemilu serentaknya yang harus disalahkan?

Sungguh beragam masalah pada pemilu kali ini adalah buah busuk dari sistem demokrasi. Sistem demokrasi boros modal inilah yang harus disalahkan, kalau bahasa Ahmad Syafii Maarif, demokrasi ini cacat dan banyak bopengnya, sudah tidak layak dipertahankan. 

Demokrasi  sarat dengan praktik money politik. Maka wajar jika pemerataan dan kesejahteraan jauh panggang dari api. Ini ibarat berada dalam labirin yang tidak tau arah terus berputar ditempat yang sama, menghabiskan energi, biaya, bahkan nyawa.

Demokrasi dalam pandangan Socrates adalah bentuk pemerintahan anarkis, memberikan kesetaraan yang sembrono kepada siapapun. Memberi ruang kebebasan tanpa batas, yang akhirnya berujung kepada kekuasaan tirani.

Demokrasi adalah bentuk negara yang buruk, karena dilakukan oleh sekelompok minoritas di dewan perwakilan yang mewakili sekelompok mayoritas penduduk, ini akan mudah menjadi pemerintahan anarkis, menjadi ajang pertempuran konflik kepentingan berbagai kelompok sosial, dan pertarungan elit kekuasaan.

Demokrasi merupakan anak kandung kapitalisme sekuler. Uang adalah penentu. Money is God. Semboyan demokrasi yaitu dari, oleh, dan untuk rakyat ternyata omong kosong. Yang memegang kendali dan merasakan hasilnya adalah para pemilik modal, rakyat hanya jadi alibi, yang dilirik dan diperhatikan hanya saat menjelang pemilu untuk meraih suaranya.

Prinsip dalam demokrasi sangat bertentangan dengan Islam. Pertama karena suara  mayoritas mengalahkan suara Tuhan. Dalam demokrasi one man one vote maka suara satu orang alim sama dengan suara orang bodoh, suara seorang ulama sama dengan seorang pendosa, bahkan suara orang gila pun diperhitungkan.

Kedua, prinsip kedaulatan di tangan rakyat, karena di dalam Islam kedaulatan terletak pada hukum syara'.

Ketiga, aturan buatan manusia, manusia adalah ciptaan Allah, maka sudah seharusnya hidup dengan aturan Allah bukan yang lain. Dan masih banyak lagi prinsip lain yang bertentangan.

Belajar dari semua masalah dalam pemilu kali ini kita dapat menyimpulkan bahwa sistem demokrasi telah nyata dan terbukti tidak mampu membawa perubahan. Melainkan hanya pergantian rezim, sementara aturan dan cara pandang bernegara tetap sama.

Demokrasi hanya membuang energi, menghabiskan waktu, dan menelan biaya yang tidak sedikit. Berbeda dengan sistem Islam yang praktis hanya 2 hari 3 malam, minim biaya, untuk menghasilkan pemimpin yang sejati, bukan boneka.

Maka sebagai manusia yang berakal harus berpikir cemerlang, bukan pragmatis, saatnya melakukan perubahan. Butuh berapa bukti lagi, korban jiwa, serta biaya untuk sebuah perubahan melalui jalan demokrasi?

Selama demokrasi masih diterapkan maka selama itu pula negara kita tidak akan pernah merdeka dan berdaulat. Rakyat akan terus menjadi korban politik, janji manis pemilu, dan korban kebijakan zalim sistem kapitalisme.

Demokrasi itu ibarat panggung sandiwara, dimana para pemilik modal adalah sutradaranya. Rakyat diminta menjadi aktor utama atau peran pembantu demi sebuah jalan cerita yang sesuai skenario mereka.

Rakyat akan terus jadi tumbal, dirugikan, SDA akan terus dieksploitasi,  sementara beban hidup makin menghimpit dan mencekik sehingga tidak heran kemiskinan, kelaparan, kematian, kriminalitas bahkan pembunuhan mewarnai pemberitaan di media sosial, cetak dan elektronik.

Saatnya kita kembali kepada aturan Allah agar negeri ini bisa menjadi negeri yang baldatun thoyyibatun warobbun ghofur. Karena saat Islam dijadikan dasar suatu hukum maka keberkahan di langit dan di bumi akan diturunkan. Sebagaimana firman Allah Swt dalam surat Al A'raf ayat 96:
" Jikalau sekiranya penduduk suatu negeri  beriman dan bertakwa, maka pastilah kami akan limpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat kami) itu, maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya". 
Tidakkah kita mengharapkan semua keberkahan itu?  Tidakkah kita ingin hidup sejahtera? Maka satu-satunya cara adalah mencampakkan sistem demokrasi dan menerapkan hukum Islam secara kaffah. Wallahu a'lam.

Post a Comment

Previous Post Next Post