Agama dan Kekuasaan Ibarat Dua Saudara Kembar

Oleh : Hawilawati
(Praktisi Pendidikan)

Pertarungan  besar dan mahal  untuk memilih seorang pemimpin di alam demokrasi dengan menghalalkan segala cara bukanlah hal baru. Itu terjadi karena nilai-nilai agama telah diabaikan.

Penulis tidak mengklaim bahwa demokrasi melakukan kecurangan namun memang sejak lahir teori dan fakta demokrasi itu sendiri telah menampakkan berbagai kebatilan terhadap umat manusia. Diantaranya mengenai :

1. Konsep kekuasaan. 
Demokrasi telah menjauhkan negeri-negeri Islam dalam konsep kepemimpinan islam. Demokrasi  telah memisahkan agama dengan kekuasaan (sekuler). Dikondisikan  agama tak diberi ruang leluasa untuk mengatur kekuasaan, alhasil agama hanya sebagai penyedap saja bukan sesuatu yang harus.

2 Kualifikasi pemimpin. 
Dalam demokrasi siapapun boleh mencalonkan diri menjadi pemimpin tak memandang  bagaimana konsep kepemimpinan yang diusungnya apakah konsep kapitalis, liberal, komunis atau Islam itu sendiri. Apakah calon pemimpinnya seorang laki-laki atau perempuan,  bebas saja atau sah-sah saja jika rakyat menginginkan.

3.Standarisasi keputusan bernegara. Segala keputusan yang diambil dari negeri-negeri yang mengadopsi sistem demokrasi, keputusan atau baik buruknya hukum diambil dari suara terbanyak. Sekalipun menurut sudut pandang Islam itu batil, keputusan mayoritas akan tetap dianggap sah.

4. Pembuat hukum (kedaulatan).
Sebagaimana dengan slogan demokrasi yang dianggap memberikan definisi terbaik, yang telah dikumandangkan oleh "Abraham Lincoln" presiden  Amerika Serikat yaitu 
“the government from the people, by the people, for the people”, “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”

Dalam demokrasi tampak jelas bahwa pembuat hukum ada di tangan manusia, disini adalah para legislatif yang ditunjuk sebagai wakil rakyat. Lingkup hukum yang akan di utak atik legislatif tiada batas, berbagai hukum akan berpeluang di rancang, direvisi dan ditetapkan  tanpa ada batasan mana lingkup hukum yang boleh dirancang dan direvisi, mana yang sudah tetap ketentuan sang Kholiq yang tak perlu diperdebatkan lagi oleh manusia.

Apa yang dilakukan demokrasi ala barat terhadap negeri-negeri Islam adalah bentuk peniadaan  kepemimpin Islam nan mulia. Negeri Islam manapun yang mengadopsi sistem demokrasi harus mengikuti mekanisme yang berlaku, sekalipun umat menginginkan penerapan syariat Islam secara totalitas, namun dalam tubuh demokrasi tak pernah terbukti berhasilnya penerpaan syariat Islam Kaaffah melalui sistem tersebut. Sekalipun ada hukum yang berbau Syariat Islam dalam demokrasi, itupun kerap kali diperdebatkan dan akhirnya hanya diberlakukan secara parsial saja.

Disinilah umat harus memahami bahwa dalam kepemimpinan tak hanya sekedar cukup berganti siapa yang memimpin, tapi yang terpenting adalah dengan sistem apa seorang penguasa akan memimpin sebuah negara.

Bagaimana Islam memandang itu semua, jelas Islam memiliki ketetapan yang sangat jelas, hingga kemenangan hakiki dapat diraih.

1. Konsep kekuasaan Islam. 
Agama dan kekuasaan ibarat dua saudara kembar yang tak dapat dipisahkan. Karena kekuasaan dalam Islam diorientasikan untuk menegakkan, memelihara dan mengemban Islam. Kekuasaan juga untuk melegalkan syariat Islam dalam seluruh sendi kehidupan manusia.

Sebagaimana ungkapan para ulama bahwa  : "Agama dan Kekuasaan itu ibarat dua saudara kembar. Dikatakan pula bahwa agama adalah fondasi, sementara kekuasaan adalah penjaganya. Apa saja yang tidak berpondasi bakal hancur. Apa saja yang tidak memiliki penjaga akan lenyap".(Nidzom Al-Hukumah an-Nabawiyah)

Begitupun ungkapan Kholifah Umar bin Abdul Azis : " Agama dan kekuasaan itu ibarat dua saudara kembar.Tidak cukup salah satunya  tanpa didukung oleh yang lain"

2. Kualifikasi Pemimpin Islam (Kholifah). 
Berdasarkan kitab Ajhizah ad-Dawlah al-Khilâfah, Kholifah memiliki syurutul in'iqod (syarat legal) diantaranya : muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, merdeka dan mampu (amanah). Jika syarat legal tersebut tidak dimiliki calon pemimpin negara maka secara otomatis akan gugur.

Pemimpin dalam Islam adalah Junnah (perisai), ia memiliki amanah besar untuk melaksanakan kekuasaan dalam menjaga dan menjamin segala kebutuhan rakyatnya berdasarkan syariat Allah, bukan yang lain, agar roda kehidupan berjalan sesuai fitrah mendatangkan maslahat, terhindar mudhorot dan  ridho Allah akan didapatkan.

"Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu (laksana) perisai, dimana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya. Jika seorang imam (Khalifah) memerintahkan supaya takwa kepada Allah ’azza wajalla dan berlaku adil, maka dia (khalifah) mendapatkan pahala karenanya, dan jika dia memerintahkan selain itu, maka ia akan mendapatkan siksa.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, An-Nasa’i, Abu Dawud, Ahmad)

Islam pun tidak akan memberikan peluang kepemimpinan kepada siapapun jika terindikasi tidak mau menerapkan syariat Allah. Dengan kata lain calon pemimpin yang seperti ini akan diskualifikasi tidak akan diproses menjadi kandidat pemimpin. 

3. Standar baik buruk sebuah keputusan jelas bukan diambil dari suara terbanyak atau suara 
Kaum kapital yang memiliki kepentingan, tapi berdasarkan standar Syara' yaitu seruan dari Sang Pembuat Syariat (Allah Subhanahu wa Ta’aala) yang berkaitan dengan perbuatan manusia. Baik berupa perintah atau larangan yang bersumber dari Kitabullah dan Sunnah Rosul.

4.Adapun dalam kedaulatan. Hukum yang sifatnya pasti adalah kehendak Allah bukan kehendak anggota legislatif. Ruang lingkup yang menjadi hak Allah seperti masalah hudud tidak boleh diperdebatkan lagi.

Jarimah hudud adalah tindak pidana yang diancam hukuman had, yakni hukuman yang telah ditetapkan  macam dan jumlah (berat ringan) sanksinya yang menjadi hak Allah swt melalui dalil naqli. Hukuman tersebut tidak bisa dihapuskan oleh perseorangan  atau oleh masyarakat yang mewakili negara.

Ada tujuh macam perbuatan jarimah hudud yaitu,
1.Had zina (hukuman Zina) ditegakkan untuk menjaga keturunan dan nasab.
2. Had al-Qadzf (hukuman orang yang menuduh berzina tanpa bukti) untuk menjaga kehormatan dan harga diri.
3. Had al-Khamr (hukuman orang minum khamer (minuman memabukkan) untuk menjaga akal.
4. Had as-Sariqah (hukuman pencuri) untuk menjaga harta.
5. Had al-Hirâbah (hukuman para perampok) untuk menjaga jiwa, harta dan harga diri kehormatan.
6. Had al-Baghi (hukuman pembangkang) untuk menjaga agama dan jiwa.
7. Had ar-Riddah (hukuman orang murtad) untuk menjaga agama.

Demikianlah Islam mengatur kepemimpin umat manusia. Namun 
Fakta saat ini telah membuktikan kehadiran demokrasi telah memisahkan agama dengan  kekuasaan,  tak mampu menyelesaikan problematika umat manusia, berbagai cara dilakukan demi meraih kekuasaan  yang  banyak menimbulkan masalah ketidakadilan atau kecurangan. 

Berharap Demokrasi bersih dan memberi ruang penerapan Syariat Islam Kaffah hanyalah utopis saja, karena mekanisme berdasarkan cara pandang barat dalam sistem tersebut sangatlah bersebrangan dengan konsep kepemimpinan Islam. Dan kian nyata terlihat bahwa karakter demokrasi penuh kebatilan hanya untuk kepentingan kaum kapital, yang kerap kali melukai hati umat islam.

Sudah saatnya umat islam meninggalkan demokrasi ala barat, fokus perjuangan dengan kepemimpinan Islam nan mulia hingga kemenangan hakiki diraih. Dengan cita-cita mulia menerapkan  syariat Islam secara totalitas dalam seluruh sendi kehidupan manusia dalam bingkai khilafah Islamiyyah.
Wallahu'alam bishowwab

2 Comments

  1. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  2. Menyimak, tulisan bagus tuk seorg praktisi pendidikan.

    ReplyDelete

Post a Comment

Previous Post Next Post