Tinjauan Kritis Instrumen Keuangan Perbankan dalam Membangun Indonesia

Penulis : Rismayanti Nurjannah

Dalam pembangunan suatu bangsa, kehadiran lembaga keuangan merupakan hal yang sangat dibutuhkan dalam membangun peradaban. Baik lembaga perbankan, maupun lembaga keuangan non-Bank (LKNB). Dimana dengan kehadiran lembaga keuangan ini, setidaknya dapat membantu terwujudnya tujuan pemerintah. Salah satunya, tercapai kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, guna mendukung pertumbuhan ekonomi negara.

Sejauh ini, salah satu lembaga keuangan yang memiliki peran sentral dalam menggerakkan roda perekonomian masih didominasi oleh perbankan. Hal ini diperkuat dengan UU No. 10 Tahun 1998 pasal 1 ayat 2, bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

Sebagaimanan tujuan dari beridirinya perbankan itu sendiri, menurut ahli ekonom Belanda, Pierson, mengemukakan bahwa bank adalah badan atau lembaga yang menerima kredit, menerima simpanan dari masyarakat dalam bentuk giro, deposito berjangka dan tabungan, yang kemudian dikelola dengan cara menyalurkannya dalam bentuk investasi dan kredit kepada badan usaha swata atau pemerintah.

Asal Mula Kegiatan Perbankan Dunia
Kegiatan perbankan bermula dari daratan Eropa, yang kemudian berkembang ke Asia Barat melalui para pedagang. Kegiatan perbankan ini meluas ke wilayah Asia, Afrika, dan Amerika yang dibawa oleh bangsa Eropa saat melakukan penjajahan ke negara jajahannya. Bila ditelusuri, sejarah perbankan mulanya sebatas jasa penukaran uang. Sehingga, menurut sejarawan perbankan, bank sendiri lebih dikenal sebagi meja tempat penukaran uang dibandingkan tempat penyimpanan uang.

Asal Mula Kegiatan Perbankan di Indoenesia
Di Indonesia, asal mula berdirinya perbankan tidak lepas dari zaman penjajahan Hindia Belanda. Kala itu, tercatat ada beberapa bank yang dibangun oleh orang Belanda di Indonesia yang memonopoli pembelian hasil bumi dalam negeri dan juga penjualan ke luar negeri. Nama bank tersebut, yakni De Javasce NV (24 Januari 1828), De Algemenevolks Crediet Bank, De Post Poar Bank, Nationale Handles Bank (NHB), Nederland handles maatscappi (NHM) (1918), dan De Escompto Bank NV.

Selain itu, ada juga bank-bank milik orang Indonesia dan orang asing dari Jepang, Tiongkok, Eropa, dll. Bank-bank tersebut antara lain Bank Nasional Indonesia, NV Bank Boemi, Bank Abua Saudagar, The Chartered Bank Of India, The Matsui Bank, The Bank Of China, The Yokohama Species Bank, serta Batavia Bank. Ketika masa kemerdekaan tiba, bisnis perbankan di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup pesat. Bahkan beberapa bank milik Belanda dinasionalisasi oleh pemerintah Indonesia. Diantaranya, Bank Negara Indonesia yang didirikan 5 Juli 1946 dimana sekarang lebih dikenal BNI 46; Bank Surakarta Maskapai Adil Makmur (MAI) berdiri tahun 1945 Di Solo; Bank Rakyat Indonesia, didirikan 22 februari 1946. Bank ini berasal dari Syomin Ginko atau Algemenevolks Crediet Bank; Bank Dagang Indonesia (NV), berdiri tahun 1950 di Samarinda lalu kemudian merger bersama bank Pasifik; Bank Dagang Nasional Indonesia didirikan tahun 1946 di Medan, dan Bank Nagari pada tanggal 12 Maret 1962.

Tentunya dalam merunuk perjalanan sejarah berdirinya lembaga keuangan atau perbankan dunia dan di Indonesia, maka sebagai masyarakat yang lahir dan tinggal di Provinsi Sumatera Barat sendiri, kita juga harus mengetahui dan memaparkan sejarah pendirian dan perkembangan serta peran serta Bank Nagari (merupakan sebutan untuk PT. Bank Pembangunan Daerah Sumatera Barat/BPD Sumbar), yang merupakan satu-satunya lembaga perbankan kebanggaan masyarakat Sumbar, terhadap pergerakan ekonomi dan geliat pembangunan di Provinsi Sumatera Barat.

Asal Mula Berdirinya Bank Nagari (Bank Pembangunan Daerah/ BPD di Sumatera Barat)

Sejarah Pendirian 
Bank Pembangungan Daerah Sumatera Barat secara resmi berdiri pada tanggal 12 Maret 1962 dengan nama “PT. Bank Pembangunan Daerah Sumatera Barat ” yang disahkan melalui akta notaris Hasan Qalbi di Padang. Pendirian tersebut dipelopori oleh Pemerintah Daerah beserta tokoh masyarakat dan tokoh pengusaha swasta di Sumatera Barat atas dasar pemikiran perlunya suatu lembaga keuangan yang berbentuk Bank, yang secara khusus membantu pemerintah dalam melaksanakan pembangunan di daerah. Disahkan melalui Surat Keputusan Wakil Menteri Pertama Bidang Keuangan Republik Indonesia Nomor BUM/9-44/II tanggal 25 April 1962 tentang izin usaha PT. Bank Pembangunan Daerah Sumatera Barat, dan dimulailah operasional PT. Bank Pembangunan Daerah Sumatera Barat dengan kedudukan di Jln. Batang Arau No 54 Padang, dengan modal awal sebesar Rp. 50.000.000,00 (Lima puluh juta rupiah).

Pembukaan Jaringan Bisnis  - 1965
Untuk pengembangan jaringan bisnisnya pada tahun 1965 dibukalah Kantor Cabang Pertama berlokasi di Payakumbuh berdasarkan izin usaha dari Menteri Urusan Sentral/Gubernur Bank Indonesia Nomor Kep 19/UBS/65 tanggal 25 September 1965 dan pada tahun 1983 diresmikan Gedung Baru Kantor Pusat Bank Pembangunan Daerah Sumatera Barat di Jalan Pemuda No.21 Padang.

Perubahan Badan Hukum - 1973
Perubahan Badan Hukum PT. Bank Pembangunan Daerah Sumatera Barat dari Perseroan Terbatas (PT) menjadi Perusahaan Daerah (PD) karena berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1962 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Bank Pembangunan Daerah, maka dasar hukum Bank Pembangunan Daerah Sumatera Barat diganti dengan Peraturan Daerah Tingkat I Propinsi Sumatera Barat Nomor 4 Tahun 1973, sehingga PT. Bank Pembangunan Daerah Sumatera Barat dirubah menjadi “Bank Pembangunan Daerah Sumatera Barat”.

Peningkatan Aktivitas Bisnis - 1989 s/d 1996
Bank Nagari juga menjadi Bank Pembangunan Daerah pertama yang menerbitkan Surat Hutang Obligasi dengan nominal Rp. 15 Milyar dengan tujuan meningkatkan modal usaha bank dan pada tahun 1991 juga menjadi Bank Pembangunan Daerah pertama meningkatkan aktivitas usahanya menjadi Bank Devisa berdasarkan SK Direksi Bank Indonesia Nomor 23/60/KEP/DIR tanggal 17 Januari 1961. Dalam perjalanannya tahun 1996 melalui Perda Nomor 2 tahun 1996 disahkan penyebutan nama (Call Name) sebagai ”Bank Nagari” dengan maksud untuk lebih dikenal, membangun brand image sekaligus mengimpresikan tatanan sistem pemerintahan di Sumatera Barat. Dan pada tahun 1996 itu juga Bank Nagari menjadi Bank Pembangunan Daerah yang pertama membuka Kantor Cabang diluar daerah yakni di Jakarta dan diikuti dengan Cabang Pekanbaru.

Peningkatan Aktivitas Bisnis - 2006 s/d 2016
Sesuai dengan perkembangan dan untuk lebih leluasa dalam menjalankan bisnis, tanggal 16 Agustus 2006 berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 3 Tahun 2006, bentuk badan hukum Bank Pembangunan Daerah Sumatera Barat berubah dari Perusahaan Daerah menjadi Perseroan Terbatas, yang didirikan berdasarkan akta Pendirian Perseroan Nomor 1 Tanggal 1 Februari 2007 dihadapan Notaris H. Hendri Final, S.H. dan disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Azazi Manusia Republik Indonesia dengan Keputusan Nomor W3-00074 HT.01.01-TH.2007 tanggal 4 April 2007. Saat ini Bank Nagari telah berstatus sebagai Bank Devisa serta telah memiliki Unit Usaha Syariah. Pada tahun 2012 terjadi peningkatan modal dasar perusahaan menjadi Rp. 2 Triliun serta penerbitan Obligasi Subordinasi II Bank Nagari sebesar Rp. 225 Miliar  dan Pada tahun 2016 modal dasar mengalami perubahan menjadi Rp. 5 Triliun.

Bank Nagari (merupakan sebutan untuk PT. Bank Pembangunan Daerah Sumatera Barat/BPD Sumbar) adalah satu-satunya bank milik pemerintah daerah yang berguna untuk meningkatkan perekonomian masyarakat khususnya di Sumatera Barat. Bank Nagari berpusat di kota Padang. Bank Nagari yang didirikan pada tanggal 12 Maret 1962 dengan nama PT Bank Pembangunan Daerah Sumatera Barat (PT BPD Sumbar). Pendirian tersebut dipelopori oleh Pemerintah Daerah beserta tokoh masyarakat dan tokoh pengusaha swasta di Sumatera Barat atas dasar pemikiran perlunya suatu lembaga keuangan yang berbentuk Bank, yang secara khusus membantu pemerintah dalam melaksanakan pembangunan di daerah. Sampai saat sekarang ini Bank Nagari telah tersebar di beberapa kota atau kabupaten di Sumatera Barat bahkan telah ada di luar Sumatera Barat, yaitu Jakarta, Bandung dan Pekanbaru.

Pada tanggal 28 September 2013, Bank Nagari mulai menggunakan sistem Perbankan Syariah pada Bank Nagari Syariah.

Peran Perbankan di Indonesia
Dewasa ini lembaga perbankan mulai dilirik sebagai bisnis yang sangat menggiurkan. Bisnis yang dinilai mudah untuk melakukan perputaran rupiah. Bahkan seiring perkembangannya, terus bermunculan bank-bank baru yang siap bersaing demi menarik minat masyarakat. Langkah-langkah strategis guna meningkatkan jumlah nasabah dan penabung pun terus digencarkan. Beragam produk perbankan ditawarkan, penawaran jaminan kemudahan calon nasabah diberikan, promo tabungan berhadiah terus digulirkan. Persaingan antarbank pun kian sengit. 

Beragam bank yang kita temui sehari-hari seperti BRI, BNI, BCA, dan sebagainya berada di bawah naungan bank sentral, yakni Bank Indonesia. Sebagai salah satu badan terpenting dalam perekonomian di Indonesia, bank ini berada di bawah langsung kementerian keuangan. Tentunya, sebagai bank sentral, Bank Indonesia memiliki peran strategis dalam perekonomian di Indonesia. Diantaranya, menjaga stabilitas moneter, menciptakan kinerja lembaga keuangan yang baik, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, menjalankan riset dan pemantauan, sebagai jaring pengamanan sistem keuangan, menciptakan uang giral, menjadi perantara keuangan, mengelola arus pembayaran dan pelayanan jasa-jasa seputar perbankan, memelihara cadangan devisa negara, mengawasi bank-bank di bawahnya, serta sebagai bankir sekaligus agen dan penasihat pemerintah.

Tinjauan Kritis terhadap Perbankan di Indonesia
Sebagai sebuah lembaga bisnis, bank di Indonesia menyuguhkan beragam penawaran menarik. Banyak bank yang kemudian berlomba memberikan penawaran suku bunga rendah. Bahkan, seiring dengan pemahaman masyarakat tentang agama yang meningkat, tak sedikit bank-bank melakukan gebrakan dengan menawarkan konsep syariat.

Perbankan syariat yang ada mengklaim bahwa mudharabah merupakan asas bagi berbagai transaksi yang mereka jalankan. Baik transaksi antara nasabah pemilik modal dengan perbankan atau transaksi antara nasabah pelaku usaha dengan perbankan. Sekilas, seperti tak ada masalah. Padahal, jika ditinjau lebih dalam mengandung kecacatan yang bertentangan dengan syariat Islam itu sendiri. 

Tinjauan pertama, dari sisi status perbankan yang tidak jelas. Ada status ganda yang kemudian diperankan oleh bank. Pertama, ia sebagai pelaku usaha. Kedua, ia sebagai pemodal. Peran bank sebagai pelaku usaha terjadi ketika ia berhubungan dengan nasabah sebagai pemilik modal. Serta peran ia sebagai pemodal terjadi ketika ia berhadapan dengan pelaku usaha yang membutuhkan dana untuk mengembangkan usahanya.

Akad yang selama ini dijalankan perbankan sebenarnya adalah akad utang piutang dan bukan akad mudharabah. Pasalnya, ketika ia berperan sebagai pelaku usaha, maka status dana yang ada padanya adalah amanah yang harus dijaga. Ketika bank mendapatkan amanah tersebut, seyogianya mengelola dana tersebut dalam usaha nyata yang akan mendatangkan keuntungan. Bukan disalurkan ke pengusaha lain dengan akad mudharabah. Namun, apabila ia berperan sebagai pemodal, maka ini menyalahi kenyataan sebenarnya, yakni menggunakan sebagian besar dana milik nasabah yang dititipkan kepadanya.

Imam an-Nawawi berkata, “Hukum kedua: tidak dibenarkan bagi pelaku usaha (mudharib) untuk menyalurkan modal yang ia terima kepada pihak ketiga dengan perjanjian mudharabah. Bila ia melakukan hal itu atas seizin pemodal, sehingga ia keluar dari akad mudharabah (pertama) dan berubah status menjadi perwakilan bagi pemodal pada akad mudharabah kedua ini, maka itu dibenarkan. Akan tetapi, ia tidak dibenarkan untuk mensyaratkan untuk dirinya sedikit pun dari keuntungan yang diperoleh. Bila ia tetap mensyaratkan hal itu, maka akad mudharabah kedua batil.” (Raudhah ath-Thalibin oleh Imam an-Nawawi 5/132).

Merujuk pernyataan Imam An-Nawawi bahwasanya dalam akad mudharabah, bila perbankan memerankan peran ganda semacam ini atas seizing pemodal, sedangkan ia tidak ikut serta dalam menjalankan usaha yang dilakukan oleh pelaku usaha kedua, maka bank tidak berhak mendapatkan keuntungan sama sekali. Karena ia statusnya sebagai perantara semata. Jumhur ulama bersepakat, bahwasanya keuntungan dalam akad mudharabah hanyalah hak pemilik modal dan pelaku usaha. Sementara itu, pihak yang tidak memiliki modal dan tidak ikut serta dalam menjalankan usaha tidak berhak untuk mendapatkan keuntungan. 

Tinjauan kedua, dari sisi status usaha perbankan. Dalam hal ini bank nyatanya tidak memiliki usaha riil. Pasalnya, perbankan menyalahi kodrat alami yang niscaya terjadi dalam dunia usaha, yakni untung dan rugi. Semua produk perbankan hanya menawarkan sebatas pembiayaan dan pendanaan. Dimana dana yang digunakan pun adalah dana yang bersumber dari nasabah. Sehingga keuntungan yang didapatkan bank dalam akad mudharabah adalah batil. 

Tinjauan ketiga, dari sisi menanggung kerugian. Ketidaksiapan bank untuk turut serta menanggung kerugian jelas terlihat dalam akad yang dilakukan antara pihak bank dengan pelaku usaha (peminjam dana). Bila pelaku usaha mengalami kerugian, bank akan segera meminta kembali modal secara utuh. Hal ini menjadi indikasi bahwa akad antara perbankan dengan nasabah pelaku usaha bukanlah mudharabah, melainkan utang piutang yang berbunga alias riba.

Tinjauan keempat, nasabah tidak siap menanggung kerugian. Nasabah pemilik modal tentu saat menyimpan dananya di bank tidak mau untuk menanggung kerugian. Ini menjadi bukti bahwasanya, nasabah bukanlah pemodal melainkan pemberi utang. Dengan demikian, setiap keuntungan yang nasabah peroleh (apapun wujud keuntungannya) bukan bagi hasil, melainkan riba. Sebagaimana kaidah, “Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan/keuntungan, maka itu adalah riba.”

Tinjauan kelima, semua nasabah mendapatkan bagi hasil. Modal yang disalurkan bank kepada nasabah pelaku usaha, sumbernya tidak jelas. Karena saat nasabah pemodal menanamkan dananya ke bank, dana yang ada tercampur. Sehingga tidak dapat diketahui, dana nasabah yang mana yang telah dikucurkan dan dana nasabah mana yang masih membeku di bank. Padahal jelas dalam syariat Islam, yang menjadi pertimbangan dalam membagikan keuntungan kepada nasabah adalah keuntungan yang diperoleh dari masing-masing dana nasabah. Sehingga, nasabah yang dananya belum tersalurkan tidak berhak mendapatkan keuntungan. Sehingga jelas, dalam hal ini bank bukanlah pemodal, melainkan pemberi utang. Nasabah juga bukan pelaku usaha, melainkan pemberi utang. Dengan demikian, seluruh keuntungan yang diperoleh bank dan nasabahnya adalah riba bukan bagi hasil.

Dalam pandangan Islam, konsep bank syariah dan bank konvensional di sistem saat ini nyatanya tak ada bedanya. Karenanya, tidak mengherankan bila majalah MODAL menyitir pernyataan Muhaimin Iskandar, tidak ada istilah ekonomi syariah dan ekonomi nonsyariah, karena itu hanya soal penamaan saja. (Majalah MODAL no. 18/II April 2004, hal 19). Wallahu a’lam bi ash-shawab

Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan anggota Komunitas Revowriter
Previous Post Next Post