RUU PKS Racun Berbalut Madu

Penulis : Sofia Ariyani, S.S 
(Member Akademi Menulis Kreatif)


Saat ini Indonesia tengah berada pada status Darurat Kekerasan Seksual. Fenomena ini muncul dari berbagai faktor sosial hingga ekonomi. Ditambah pula kondisi wanita yang rentan terhadap kekerasan, wanita menjadi objek kekerasan, pelampiasan kekerasan, dan berakhir menjadi korban. Ini yang mendorong wanita bergerak inginkan hak-haknya dipenuhi dan dilindungi. Hingga muncul Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). 

RUU PKS ini sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU) yang digagas oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan Forum Pengada Layanan (FPL), yang merupakan himpunan dari 125 pengada layanan bagi korban kekerasan di 32 Propinsi. 

Cnnindonesia.com melansir, Komnas Perempuan juga mencatat pada 2014 terdapat 4.475 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak perempuan, 2015 sebanyak 6.499 kasus, 2016 sebanyak 5.785 kasus dan pada 2017 tercatat ada 2.979 kasus kekerasan seksual di ranah KDRT atau relasi personal serta sebanyak 2.670 kasus di ranah publik atau komunitas.
Dan Komisi Nasional (Komnas) Perempuan mencatat sebanyak 348.446 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi di Indonesia baik yang dilaporkan maupun di tangani sepanjang tahun 2017.

Tingginya angka temuan kasus kekerasan ini menjadi semangat kaum feminis untuk menuntut segera disahkannya RUU PKS tersebut.

Namun aroma anyir mulai terendus sejak RUU PKS diwacanakan. Pasalnya ada beberapa poin yang mampu menjadi pintu gerbang masuknya perilaku seksual yang menyimpang, dan masyarakat akan bebas berbuat maksiat.

Dari cnnindonesia.com, Pendiri Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Fahmi Salim menyatakan pihaknya menolak RUU PKS karena ada poin yang menggiring masyarakat melakukan tindakan bebas. Beberapa poinnya adalah isu soal legalisasi Lesbian, Gay, Biseksual dan Trasgender (LGBT).

"Kekerasan seksual yang dilakukan suka sama suka boleh saja, anda kumpul kebo boleh kawin sejenis walau bertentangan masih boleh. Istri yang menolak hubungan suami istri juga dikriminalisasi. Ini yang tidak boleh," tutup Fahmi. (01/19)

Hal senada juga dilontarkan oleh Guru Besar Departemen Ilmu Keluarga Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof. Euis Sunarti menilai materi Rancangan Undang undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) lebih menekankan penuntutan hak, namun tidak melihat ada kewajiban setiap individu.

Euis menyoroti definisi kekerasan dalam RUU PKS, yang menurutnya diawali dari pelecehan sampai pemaksaan. Dari situ terlihat nilai penyimpangan seksualitas.

“Satu prilaku itu dikatakan sebagai kekerasan, kalau tidak adanya persetujuan. Artinya, mau pelacuran atau apa, jika ada persetujuan tidak dikategorikan sebagai pemaksaan,” ujarnya saat dihubungi Kiblat.net, Ahad (27/01/2019).

Beberapa poin RUU PKS yang harus dikritisi adalah menganggap bahwa yang memiliki otoritas atas tubuh manusia adalah manusia itu sendiri tidak boleh diatur oleh orang lain apalagi Tuhan. Dan ini menghasilkan poin-poin absurd, seperti seorang ibu dapat dipidanakan jika memerintahkan putrinya untuk berbusana muslimah sementara putrinya tidak mau, tidak melarang perzinaan, LGBT, pelacuran dan aborsi, serta tidak mengkriminalkan pelaku kejahatan seksual,  hingga berpotensi merusak hubungan suami-istri.

Jelas poin-poin di atas sangat bertentangan dengan Islam yang notabene menjadi agama mayoritas di Indonesia. 

Inilah pengarus utamaan feminisme dalam rangka merusak tatanan hidup masyarakat. Racun berbalut madu, atas nama kesetaraan gender ingin mendorong para wanita untuk bebas menentukan jalan hidupnya. Menjadi pelacurkah, mengaborsikah, suka dengan sesama jeniskah, baginya itu adalah haknya. Kaum feminisme hanya menuntut hak-haknya tanpa mau melaksanakan kewajiban-kewajiban dia sebagai wanita, apakah dia seorang ibu atau seorang putri. Alih-alih ingin melindungi wanita justru menjerumuskan kaum wanita ke dalam jurang kehancuran. Negara seharusnya melayani dan melindungi rakyatnya dari kehancuran bukan malah memfasilitasi rakyat dengan mengangkutnya ke dalam kendaraan bernama feminisme.

Inilah buah dari sistem bathil yang rusak lagi merusak, sekularisme. Yang memisahkan kehidupan dari agama. Sekularisme yang merusak ini telah merasuk ke dalam kehidupan manusia saat ini tak terkecuali umat Islam. Sehingga membuat manusia jauh dari ketaqwaan.

Penerapan sistem bathil dan kufur ini hanya akan menjerumuskan manusia ke dalam lubang kenistaan. Maka solusi dari segala problematika umat hanya mampu diatasi oleh sistem yang berasal dari Sang Pencipta yaitu Syariat Islam. Sistem ini mampu mengatur manusia dan alam semesta ini menuju kepada kebaikan. Penerapan Islam secara kaffaah akan melahirkan individu yang bertaqwa, masyarakat bertaqwa, dan negara yang bertaqwa. Dan ini akan menghasilkan kebaikan untuk seluruh umat dan alam.

Dan sudah saatnya membuang sistem rusak dan merusak ini dengan sistem Islam. Hanya dengan Islamlah segala bentuk kemaksiatan akan lenyap termasuk kejahatan  dan kekerasan seksual. Dengan penerapan Islam kaffaah melalui Khilafah Islamiyah maka akan terwujud Islam rahmatan lil alamin secara nyata.

Wallahu’alam bishawab.
Previous Post Next Post