Ulama di Persimpangan Jalan

Oleh : Eva Rahmawati (Penulis Bela Islam)

Majelis Ulama Indonesia (MUI) memperbolehkan bank syariah memakai dana nonhalal untuk kemaslahatan umat. Hal itu diputuskan dalam rapat pleno Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI di Ancol, Jakarta, pada Kamis (8/11) yang dipimpin Ketua MUI yang juga menjadi cawapres nomor urut 01 Ma'ruf Amin.

Dalam rapat pleno tersebut Ma'ruf Amin menjelaskan bahwa dana nonhalal merupakan segala bentuk pemasukan Bank Syariah yang bersumber dari kegiatan yang tidak halal. Ia lantas mencontohkan salah satu pendapatan nonhalal itu berupa denda saat nasabah terlambat mengembalikan pinjaman. (CNNIndonesia.com, 9/11/18)

Menanggapi hal tersebut umat sangat kecewa, ulama semestinya berperan membimbing umat taat syariat, bukan malah melegitimasi kebijakan yang bertentangan dengan syariat. Tujuan baik untuk kemaslahatan umat, akan tetapi jika caranya tidak sesuai syariat bukan keberkahan, justru murka Allah SWT didapat. Bukankah ridho Allah saja yang kita harap? 

Sebagai seorang muslim, wajib berpegang teguh dengan syariat Islam. Digambarkan dalam sebuah hadits seorang muslim yang berpegang teguh dalam agamanya laksana menggenggam bara api. Butuh genggaman yang kuat agar selamat, meski berat. Harus ekstra sabar, kuat menghadapi fitnah akhir zaman. Seorang muslim harus punya prinsip, sandarannya Al Qur'an dan As Sunah, tidak boleh bertaqlid buta kepada ulama yang menjauhkan dari syariat Islam. 

Ulama adalah pewaris nabi. Hanya takut kepada Allah SWT, seharusnya fatwa yang diambil tidak bertentangan dengan syariat Islam. Halal dan haram jelas. Halal katakan halal dan haram katakan haram. Walau secara duniawi yang haram ada maslahat, tak perlu diambil. 

Ulama harusnya terdepan dalam membela dan menegakkan syariat Islam bukan malah dijadikan sebagai alat penguasa melanggengkan kekuasaan, terlebih kekuasaan sekuler yang menafikan peran agama dalam mengatur kehidupan. Peran agama hanya mengatur soal ibadah saja, untuk urusan kehidupan manusia merasa lebih hebat dari Tuhan, mengambil peran tersebut. 

Pemisahan agama dari kehidupan penyebab lunturnya ulama berpegang teguh dalam syariat Allah SWT. Ulama terjebak dalam cara pandang sekulerisme, asal ada maslahat "disikat", walau melanggar syariat. Sebaliknya jika sesuai syariat tapi nihil manfaat ditolak. Itulah watak asli dari sistem sekuler. 

Sekulerisme yang mengakar kuat, berdampak pada kondisi negeri ini mengalami problematika kehidupan yang komplek. Sematan negeri darurat narkoba, darurat pornografi, darurat korupsi, darurat pergaulan bebas, dll disandang negeri ini. Kondisi kehidupan memprihatinkan tersebut tidak hanya dialami oleh negeri ini saja, akan tetapi setali tiga uang dengan negara-negara yang menerapkan sekulerisme. 

Lihatlah realitas kondisi negara-negara di Barat, tindak kriminalitas sangat tinggi, Jepang yang dikenal sebagai negara maju dengan Sumber Daya Manusia yang mumpuni tapi angka bunuh diri cukup tinggi, Korea dengan meningkatnya infertilitas karena pemuda/pemudinya takut menikah, India dengan pelegalan hubungan seks bahkan dengan sesama jenis asal secara privat, dll. Sistem sekuler terbukti merusak tatanan kehidupan karena asasnya mengesampingkan peran Tuhan. 

Sekulerisme sejatinya adalah racun berbalut madu, manis di awal namun jika terus menerus diterapkan akan merusak dan menghancurkan kehidupan. Untuk menyelamatkannya sudah saatnya mencampakkan sekulerisme beralih kepada sebuah tatanan kehidupan yang mampu menjadi Problem Solving bagi kehidupan. Yaitu sistem Islam. 

Sistem kehidupan yang bersumber dari wahyu Allah SWT. Islam adalah agama politik dan spiritual. Islam mengatur seluruh aspek kehidupan. Islam menjelaskan masalah ekonomi, sosial, politik, pendidikan, sanksi hukum dan sebagainya, sebagaimana Islam juga menjelaskan tata cara sholat, puasa, zakat, haji, siksa neraka dan kenikmatan surga.

Islam adalah agama sempurna dan paripurna. Problematika kehidupan apapun solusinya adalah Islam. Dalam sistem Islam solusi yang diberikan bersifat menyeluruh, bukan tambal sulam seperti dalam sekulerisme-demokrasi. Dengan syarat, Islam diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan. Untuk itu wajib bagi seorang muslim menjadi muslim hakiki, yang kaffah. Bukan menjadi muslim sekuleris, liberalis, kapitalis dan sosialis. Yaitu muslim yang pengamalan Islam hanya ranah ibadah mahdhah saja seperti sholat, puasa, zakat, haji, dsb, sedangkan untuk mengatur kehidupannya mengambil dari Kapitalisme atau Sosialisme. 

Al Qur'an dengan tegas menyeru kepada hamba Allah yang beriman untuk melaksanakan Islam secara menyeluruh. Karena Islam bukan agama prasmanan, dipilih yang disuka.
Allah ta'ala berfirman :

“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian kepada Islam secara kaffah (menyeluruh), dan janganlah kalian mengikuti jejak-jejak syaithan karena sesungguhnya syaithan adalah musuh besar bagi kalian.” [Al-Baqarah : 208]

Sebagai konsekuensi keimanan kepada Allah SWT, wajib bagi seorang muslim menerima Islam dengan utuh dan menyeluruh. Semua ajaran Islam wajib diimplementasikan dalam seluruh aspek kehidupan, karena Islam adalah agama yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT, terkait akidah dan ibadah, hubungan dengan dirinya sendiri mencakup aturan mengenai makanan, pakaian dan akhlak, hubungan sesama manusia mencakup aspek pemerintahan, ekonomi, pendidikan, pergaulan, politik dalam dan luar negeri serta sanksi hukum.

Mukmin sejati adalah mereka yang mengimani seluruh risalah yang dibawa oleh Rasulullah SAW, tidak setengah-setengah, tidak memilah dan memilih mana yang cocok sesuai dengan hawa nafsu mereka. Yang disuka diambil, yang tidak disuka ditolak. 

Jangan sampai kita termasuk muslim yang mengimani sebagian dan mengingkari sebagian hukum-hukum Allah SWT. Baik ada untung maupun rugi secara duniawi, jika itu perintah kerjakan sebaliknya jika itu larangan wajib ditinggalkan. Hal ini bertolak belakang ketika agama dipisahkan mengatur kehidupan, justru mengambil yang menguntungkan sekalipun haram seperti legalitas halal/haram MUI soal dibolehkannya dana nonhalal untuk kemaslahatan umat. 

Dengan kondisi demikian, tidak sepatutnya kaum muslimin sepakat dengan apa yang diputuskan oleh MUI. Walaupun dana nonhalal tersebut untuk sosial, tetap itu sama saja melanggar syariat Islam. Yang pasti tidak ada ketaatan kepada makhluk untuk bermaksiat kepada Allah SWT. Sudah saatnya kaum muslimin mencampakkan sistem sekuler yang jelas-jelas merubah apa yang sudah jelas haram hukumnya yaitu riba, berganti boleh karena untuk kemaslahatan.

Perlunya kaum muslimin memperdalam agama Islam terkait Islam kaffah, sehingga kedepannya semakin banyak muslim yang tercerahkan bahwa berIslam tidak boleh setengah-setengah wajib kaffah. Baik dalam ranah individu, hubungan sosial kemasyarakatan, maupun yang diterapkan lewat institusi negara. Untuk itu, peran ulama yang tsiqoh dalam berpegang teguh syariat Islam benar-benar dibutuhkan oleh umat.
Wallohua'lam bi ashshowab.
Previous Post Next Post