Keadilan Dalam Naungan Islam


Oleh; Naimatul jannah, 
Aktivis Muslimah Asal Ledokombo-Jember



Idulfitri tidak hanya menjadi momen berlebaran, tetapi juga waktu untuk obral remisi. Seperti yang terjadi di Sulsel, sebanyak 5.931 warga binaan di sejumlah lapas dan rutan mendapatkan remisi khusus Idulfitri tahun ini. Bahkan, 14 orang di antaranya langsung bebas. (CNN Indonesia, 11-4-2024).


Hal yang sama terjadi di Jawa Barat, sebanyak 16.336 narapidana di sana mendapat remisi khusus Idulfitri 1445 H dari Kemenkumham. Sebanyak 128 orang di antaranya langsung bebas.


Ada dua jenis remisi khusus Idulfitri yang diberikan, yaitu RK I berupa pengurangan hukuman selama 15 hari—2 bulan dan RK II berupa pengurangan masa hukuman yang langsung bebas setelah menjalani masa tahanan. Secara nasional, penerima remisi khusus dan pengurangan masa pidana khusus pada Lebaran 2024 berjumlah total 159.557 orang. (Tirto, 10-4-2024).


Salah satu yang mendapatkan remisi adalah terpidana kasus korupsi e-KTP, Setya Novanto. Tahun lalu, ia mendapatkan remisi khusus Idulfitri selama sebulan. Tahun ini, ia kembali mendapatkan remisi selama sebulan. Tidak hanya remisi Idulfitri, ia juga mendapatkan remisi dalam rangka peringatan HUT ke-78 RI selama tiga bulan. (Tempo, 14-4-2024).



Sejarah Remisi



Tentu saja, tidak hanya Setya Novanto, semua narapidana dari berbagai kasus, termasuk korupsi, bisa mendapatkan remisi pada momen tertentu seperti hari besar keagamaan (Idulfitri bagi yang muslim) dan HUT RI. Dasar hukum remisi adalah UU 12/1995 tentang Pemasyarakatan Pasal 14 ayat (1) yang menyatakan bahwa remisi adalah hak narapidana.


Sejarah remisi berawal pada masa Hindia Belanda yang diberikan kepada narapidana tertentu secara subjektif dalam rangka merayakan hari ulang tahun Ratu Belanda 10 Agustus 1935. Berdasarkan Keppres No. 174/1999, ada tiga jenis remisi yaitu Remisi Umum, Remisi Khusus, dan Remisi Tambahan. Selain pada hari besar keagamaan dan HUT RI, remisi juga diberikan pada narapidana yang dianggap berjasa pada negara atau membantu kegiatan lapas.



Sistem Pidana Bermasalah



Sistem sanksi yang tidak menjerakan ini merupakan cabang dari sistem pidana yang bermasalah. Kita tahu bahwa sistem pidana kita merupakan warisan hukum Belanda sehingga merupakan buatan manusia. Kitab UU Hukum Pidana (KUHP) merupakan warisan Belanda, yaitu Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvS) yang kemudian dinaturalisasi menjadi UU 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.


Saat ini, KUHP sudah mengalami perubahan berdasarkan UU 1/2023 tentang KUHP. Namun, perubahan ini tidak mengubah hakikat bahwa KUHP merupakan buatan manusia. Tersebab merupakan buatan manusia, sistem pidana yang menjadi rujukan pemberian sanksi ini bersifat tidak baku, mudah berubah, dan mudah disalahgunakan. 


Dengan kekuatan uang, misalnya, narapidana bisa membeli kemewahan di dalam lapas, bahkan bisa membeli kebebasan. Masa hukuman bisa berkurang berkali-kali dalam setahun sehingga lebih pendek dari yang diputuskan oleh pengadilan. Yang pada akhirnya kejahatan makin merajalela.


Inilah kondisi ketika menggunakan sistem pidana buatan manusia. Pelaku kejahatan mendapatkan hukuman yang ringan, padahal Allah Swt. mengharuskan pelaku kejahatan dihukum hingga jera. Allah Swt. berfirman, “Barang siapa berbuat kebaikan mendapat balasan sepuluh kali lipat amalnya. Dan barang siapa berbuat kejahatan dibalas seimbang dengan kejahatannya. Mereka sedikit pun tidak dirugikan (dizalimi).” (QS Al-An’am: 160).





Sistem Peradilan dalam Islam

Sistem peradilan dalam Islam berbeda dengan sistem peradilan dalam sistem sekuler saat ini. Menurut sistem peradilan Islam, hanya ada satu kadi (hakim) yang bertanggung jawab dalam setiap perkara. Ia berwenang mengadili perkara yang diadukan dan memutuskan berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis. Kadi-kadi lainnya hanya berhak membantu dan memberikan masukan jika ia diminta oleh kadi yang memimpin persidangan.


Sanksi Islam hanya dapat dikenakan jika bukti-bukti yang ada secara pasti menunjukkan perbuatan kriminal seseorang dan seluruh syarat terpenuhi, seperti syarat empat orang saksi dalam perkara perzinaan. Jika sedikit saja ada keraguan atas bukti yang diajukan, kasus yang tengah diadili akan dihentikan.


Di bawah sistem peradilan Islam, setiap orang, laki-laki maupun perempuan, muslim maupun nonmuslim, terdakwa maupun tertuduh, berhak untuk mengangkat seseorang untuk mewakilinya.


Selain itu, tidak ada perbedaan antara peradilan sipil dan peradilan militer seperti saat ini kita dapati di negeri-negeri muslim. Di Pakistan, misalnya, sebagian hukum Islam dan sebagian hukum kufur diterapkan bersama-sama. Negara Islam hanya akan menggunakan sumber hukum Islam, yaitu Al-Qur’an dan Hadis sebagai rujukan.


Sanksi Islam diterapkan tanpa ditunda-tunda dan dilakukan tanpa keraguan. Tidak ada seorang pun yang mendapat sanksi, kecuali setelah mendapatkan vonis pengadilan. Selain itu, berbagai bentuk penganiayaan tidak akan pernah diizinkan.


Di bawah sistem Islam, seorang korban kejahatan berhak memaafkan pelaku kejahatan atau menuntut tanggung jawab (kisas) atas sebuah kejahatan, kecuali sanksi-sanksi hudud yang merupakan hak Allah Taala.


Setiap warga negara dalam sistem Islam kafah berhak mengajukan pemimpin negara ke pengadilan, menyampaikan pendapat kepadanya, memberi kritikan kepadanya jika ada kezaliman yang dilakukan oleh pemimpin tersebut kepadanya. Hal ini pernah terjadi pada masa pemerintahan Umar bin Khaththab ra. ketika seorang perempuan mengoreksi Umar atas keputusan keliru yang beliau keluarkan tentang besarnya nilai mahar.


Keadilan dalam Naungan Islam


Ada tiga pilar yang selalu menyertai ketika sistem Islam kafah diterapkan dalam segala aspek dalam naungan Khilafah, yaitu keimanan dan ketakwaan individu, opini publik yang memandang buruk maksiat atau kejahatan, serta sanksi tegas oleh negara terhadap tindakan kriminal.


Bagi seorang muslim, keimanan akan mendorong untuk selalu tunduk kepada aturan-Nya. Ketakwaan akan mencegah dari perbuatan-perbuatan kriminal, seperti mencuri, merampok, penyalahgunaan narkoba, dan sebagainya. Keyakinan seorang muslim kepada akhirat akan membuatnya takut untuk melakukan kejahatan.


Lingkungan masyarakat yang ada dalam negara Islam adalah lingkungan yang mengemban dan menyebarkan nilai-nilai dan perasaan Islam. Perbuatan yang bertentangan dengan Islam dipandang hina. Hal ini akan membentuk opini publik yang menentang segala perbuatan maksiat dan mampu mencegah perbuatan maksiat tersebut.


Ditambah lagi, sanksi tegas yang dimiliki Islam terhadap pelaku kejahatan berfungsi menimbulkan efek jera bagi manusia lain untuk melakukan kejahatan serupa (zawajir) dan menjadi penebus dosa manusia di akhirat (jawabir).


Islam tidak menyerahkan pembuatan hukum kepada hawa nafsu dan keinginan manusia sebagaimana di Barat. Pembuatan hukum adalah hak Allah Swt. Sang Pencipta manusia dan Zat yang Maha Mengetahui keadaan manusia. 


Allah Swt. berfirman, “Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik.” (QS Al-An’am: 57).



Waallahu A'lam Bis Showab

Post a Comment

Previous Post Next Post