Menggugat Syariat Sunat Saat Dianggap Tak Bermanfaat



Oleh Hj. Esa Mardiah, A.Md.Keb.
(Praktisi Kesehatan)

Sunat/khitan perempuan kembali ramai diperbincangkan. Setelah sekian lama pihak-pihak tertentu melarang karena dianggap sebagai bagian kekerasan terhadap perempuan, kini digulirkan alasan lain yaitu tidak memberikan manfaat sehingga pantas digugat. Bagaimana hal ini dalam pandangan syariat?


Hukum Syara Pasti Mengandung Maslahat 

Allah berfirman yang artinya: "Sesungguhnya telah datang kepada kamu keterangan yang nyata dari Tuhan-mu sebagai petunjuk dan Rahmat." (TQS. Al -An'am: 157)

Maksud dari petunjuk dan rahmat dalam ayat di atas adalah dengan membawa manfaat bagi manusia atau menjauhkan kemudaratan dari dirinya. Inilah yang disebut maslahat.

Patokan yang digunakan untuk menentukan apakah sesuatu itu maslahat atau tidak, mutlak wewenang syara semata. Sebab syara datang memang membawa maslahat  untuk manusia. Karena yang di maksud kemaslahatan adalah kepentingan manusia itu sendiri sebagai makhluk. Bahkan yang dimaksud dengan maslahat bagi individu, adalah kemaslahatannya berkenaan dengan sifatnya sebagai manusia, bukan keberadaannya sebagai individu (pribadi). 

Jika akal manusia yang terbatas dibiarkan menentukan sendiri, maka akan sulit bagi manusia untuk menentukan hakikat kemaslahatan tersebut. Kadang-kadang hari ini akal manusia memandang atau memutuskan sesuatu itu maslahat kemudian besok harinya menyatakan sebagai mafsadat. Padahal hukum tidak berubah disebabkan perubahan waktu dan tempat.

Khitan, Ranah Syariat 

Khitan secara bahasa berasal dari kata khatana yang berarti memotong. Secara istilah, khitan adalah memotong/menoreh kulit bagian yang menutupi organ kemaluan yang berbentuk seperti jengger ayam atau dikenal dengan tudung klitoris. 

Khitan berbeda dengan tindakan Female Genital Mutilation (FGM) yang menghilangkan secara total atau sebagian dari organ genitalia eksterna wanita. 

Secara teknis, penorehan tudung klitoris dilakukan menggunakan needle khusus. Karena umumnya dilakukan pada usia kurang dari lima tahun, dengan anatomi tudung klitoris yang masih sangat tipis dan belum banyak dilalui pembuluh darah serta saraf. Tindakan ini sangat minim pendarahan dan rasa sakit.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Nabi shalallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Ada lima macam fitrah, yaitu khitan, mencukur bulu kemaluan, memotong kumis, memotong kuku, dan mencabut bulu ketiak." (HR. Bukhari 5891 dan Muslim 258)

"Apabila dua khitan bertemu maka mandi telah menjadi wajib." (HR. Imam Nawawi Abu Daud, Tirmidzi, dan Nasa'i)

Al-Mawardi berkata "Mengkhitan perempuan yaitu menoreh/memotong kulit yang ada di bagian atas vagina, yaitu tempat masuknya alat kelamin pria yang berbentuk seperti biji atau seperti jengger ayam jantan. Bagian yang wajib dipotong adalah kulit yang timbul ke atas bukan memotongnya habis"

Pendapat kuat dari hukum khitan adalah wajib, di antaranya pendapat yang dikukuhkan oleh para ulama mazhab Imam Syafi'i, sebagian mensunahkan (artinya jika dilakukan akan mendapatkan pahala dan jika tidak dilakukan maka tidaklah berdosa), dan dari kalangan mazhab Imam Maliki disebutkan sebagai makromah (kemuliaan). Lantas siapakah gerangan muslimah yang tidak ingin diberikan kemuliaan?

Khitan adalah bagian dari hukum istinja. Pelaksana seharusnya adalah orang yang paham hukum syariat dan paham anatomi fisiologi.

"Apabila  engkau mengkhitan wanita, potonglah sedikit dan jangan berlebihan, karena itu bisa membuat wajah ceria dan lebih disenangi oleh suami." (HR. Abu Daud dan Baihaqi)

Walaupun disampaikan khitan perempuan dapat menempatkan kondisi syahwat wanita secara proporsional, membuat klitoris mudah dibersihkan, namun itu juga bukanlah sebuah alasan saat kita menggenggam hukum syariat yang Allah turunkan. Ketundukan kepada Allah Swt. dan Rasulullah saw. haruslah berlandaskan keimanan. Bukan asas manfaat seperti sistem sekularisme yang kini digadang-gadang. Sangat mustahil ketika Allah menurunkan sesuatu itu tanpa maksud, tujuan, ataupun kemaslahatan.

Kita tidak diperbolehkan beribadah mengikuti wijdan dan bermain logika manusia, karena ketetapan Allah melampaui segalanya. Sebagai contoh saat kita mengamalkan syariat berwudu, rangkaiannya ada yang bisa diterima oleh akal ada yang tidak. Misalkan saat membasuh muka, mungkin akal kita menerima itu manfaatnya bisa membersihkan. Tapi pada bagian mengusap atau membasahi kepala? Tentu akal tidak bisa mencerna, dan memang tidak perlu pula kita bertanya-tanya atau mencari-cari maksudnya apa. Yang perlu kita lakukan adalah sami'na wa atha'na sebagai bentuk penghambaan kepada aturan Sang Pencipta dan Pengatur hidup kita. 

Allah berfirman: "Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia." Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku."
Allah berfirman "Janji-Ku ini tidak mengenai orang-orang yang zalim."" (TQS. Al-Baqarah: 124)

Kebenaran itu adalah dari Rabb-mu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.

Pastinya, walau masih ada banyak hukum syar yang belum terlaksana karena keterbatasan kita sebagai individu, mari teruslah memohon ampun dan berjuang sesuai yang kita mampu. Bukan membenci, menyerang, apalagi mengubah hukum syara sesuai dengan kemauan manusia.
 
Wallahu a'lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post