Balada Perempuan dan Anak dalam Payung Sekularisme


Oleh Nur Syamsiah Tahir
Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi AMK

Kita sering mendengar kisah yang berupa balada, di antaranya Balada si Malin Kundang, Balada Tangkuban Perahu, dan yang lainnya. Menurut KBBI, balada memiliki arti sajak sederhana yang mengisahkan cerita rakyat yang mengharukan, kadang dinyanyikan, kadang-kadang pula berupa dialog. Secara umum, balada adalah kisah anak manusia yang menyedihkan, mengharukan, dan mengenaskan.

Beberapa hari yang lalu pun terkuak sebuah balada anak manusia. Pada hari Sabtu, tepatnya tanggal 7/1/2023, Beritasatu.com mengutip, Polda Metro Jaya telah menyatakan bahwa wanita korban mutilasi di Bekasi itu bernama Angela Hindriati Wahyuningsih. Angela merupakan mantan aktivis Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) yang dinyatakan hilang sejak Juni 2019.

Terkuaknya fakta ini bermula dari cuitan aktivis lingkungan hidup dan mantan Direktur Eksekutif Walhi Indonesia, Chalid Muhammad. Pada tanggal 16 November 2019 lalu, Chalid menyatakan bahwa salah satu kawannya yaitu mantan aktivis walhi dinyatakan hilang oleh keluarga sejak Juni 2019. Chalid minta cuitannya #saveanggelo #oranghilang tersebut untuk disebarkan. (Beritasatu.com, 7/1/2023).

Sebenarnya kejadian yang serupa ini tak hanya satu dua saja. Kalau ditelusuri, di berbagai wilayah negeri ini banyak peristiwa yang senada. Peristiwa yang menunjukkan adanya ancaman bahaya pada perempuan dan anak, termasuk anak perempuan.

Sebagaimana peristiwa yang dialami oleh Bunga (bukan nama sebenarnya). Seorang anak perempuan berusia 12 tahun yang tengah hamil 8 bulan. Kehamilannya diduga akibat kekerasan seksual yang dialaminya, di Kota Binjai, Jumat (6/1). Bunga diusir oleh warga desa tempat, ia tinggal di Kabupaten Langkat. Korban juga dikeluarkan dari sekolahnya. Saat ini Bunga tinggal bersama pasangan suami istri yang merupakan pemilik kebun karet tempat orang tua korban bekerja. (kemenpppa.go.id)

Kekerasan juga dialami oleh Malika Anastasya (MA) yang berusia enam tahun. Onih, ibunda Malika, menceritakan kesaksian anaknya selama hampir satu bulan diculik oleh pemulung di Gunung Sahari, Jakarta Pusat (Jakpus). Onih menyebutkan bahwa selain diajak memulung oleh pelaku, anaknya kerap dimarahi hingga dipukul oleh pelaku yang bernama Iwan Sumarno (42). (news.detik.com)

Di samping itu, Kemmen PPA menyebutkan ada 28 kasus penculikan anak sepanjang tahun 2022. Ini kasus yang tercatat, belum lagi kasus-kasus lain yang tak terdengar oleh aparat maupun media. Maka kasus-kasus tersebut akan lenyap digilas perjalanan hidup manusia yang penuh keruwetan ini.

Semua fakta ini bisa terjadi karena tata cara pergaulan dan kemasyarakatan lepas dari kontrol. Tidak ada aturan yang secara pasti mengikat manusia. Kalaupun ada aturan, maka aturan yang ada lemah, lembek, dan mudah diotak-atik oleh penguasa. Oleh karena itu, kasus-kasus seperti ini bisa terulang kembali, bahkan lebih parah lagi.

Kondisi seperti ini wajar terjadi di bumi Nusantara kita. Karena negeri ini mengusung sistem kapitalis sekuler. Keadaannya tak akan jauh beda dengan keadaan induk semangnya, Amerika Serikat. Di sana, kriminalitas, kekerasan seksual, dan berbagai bentuk kejahatan lainnya juga menggunung.

Tentu saja kondisinya lebih runyam, karena sistem yang diberlakukan adalah sistem kapitalis sekuler. Paham kebebasan menjadi dasar bagi terselenggaranya interaksi dalam kehidupan sehari-hari. Asas manfaat menjadi tolok ukur terjalinnya sebuah hubungan. Selama kemanfaatan itu mengalir dari sebuah kerja sama, maka akan langgenglah hubungan tersebut. Sebaliknya, akan terputus bahkan tercerai-berai apabila interaksi itu tidak menghasilkan apa-apa. 

Selain itu, makin maraknya kejahatan menunjukkan mandulnya sistem hukum yang ada. Hukuman yang ada ternyata tidak mampu memunculkan efek jera atau mencegah tindak kejahatan. Apalagi sebagai penebus dosa, tidak mungkin terwujud.

Dengan demikian, perempuan dan anak hanya akan aman dalam payung syariat Islam. Karena Islam adalah seperangkat aturan yang menyeluruh. Tidak hanya mengatur masalah salat, zakat, puasa maupun haji, tetapi Islam juga mengatur masalah pendidikan, ekonomi, teknologi, sosial, budaya, kemasyarakatan, kesehatan, dan keamanan.

Selain itu, hukuman dan sanksi dalam Islam bersifat tegas, sebagai penebus dosa (jawabir), sehingga menimbulkan efek jera bagi pelaku, dan mencegah orang lain untuk melakukan tindakan yang sama (jawazir).

Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dari ‘Ubadah bin Shamit, bahwa Rasulullah saw. bersabda, kalian berbai’at kepadaku untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anakmu, tidak membuat-buat dusta yang kalian ada-adakan sendiri dan tidak menolak melakukan perbuatan yang makruf. Siapa saja menepatinya maka Allah akan menyediakan pahala; dan siapa saja yang melanggarnya kemudian dihukum di dunia maka hukuman itu akan menjadi penebus (siksa akhirat) baginya. Dan siapa saja yang melanggarnya kemudian Allah menutupinya (lolos dari hukuman dunia), maka urusan itu diserahkan kepada Allah. Jika Allah berkehendak maka Dia akan menyiksanya, dan jika Dia berkehendak maka akan memaafkannya.

Dengan demikian, tidak akan lagi muncul balada-balada berikutnya, baik di kalangan perempuan maupun anak-anak. Alhasil, inilah  mekanisme terbaik karena berasal dari Dzat Yang Menciptakan manusia yaitu Allah Swt.
Wallahualam bissawab

Post a Comment

Previous Post Next Post