PEDULI GENERASI PEMIMPIN UMAT


Oleh Ratna Sari Dewi

Sistem sekuler yang diemban oleh seluruh masyarakat yang ada di dunia, menjadikan tatanan kehidupan hancur dan rusak. Umat Islam juga mengalami kehancuran dan kemunduran di karenakan mengadopsi sistem yang rusak ini, yakni paham sekulerisme, pemisahan agama dari kehidupan. Melahirkan empat kebebasan yaitu kebebasan berakidah, kebebasan berpendapat, bertingkah laku dan kebebasan hak milik.
  
Pemuda yang sesungguhnya agen perubahan ikut hancur saat sistem sekulerisme diterapkan dalam kancah kehidupan. 

Rusaknya akidah umat dan pemuda

Sekulerisme yang membebaskan paham kebebasan berakidah, melahirkan paham yang salah, dengan proyek moderasi beragama, Umat dan pemuda di dorong jauh dari agamanya.

Barat selalu mencari cara untuk menyesatkan para pemuda muslim agar mereka jauh dari Islam dan tidak lagi memperjuangkan Islam. Moderasi beragama adalah cara Barat memasukkan nilai-nilai pluralisme dan HAM dalam beragama untuk mencabut nilai-nilai Islam agar generasi Islam lemah, mudah dijajah, serta tidak lagi berpikir untuk membangkitkan Islam.

Rusaknya pemuda dalam kebebasan mengeluarkan pendapat

Kebebasan berpendapat dalam sistem kapitalisme hanya di tujukan bagi kepentingan para kapitalis, untuk melancarkan proyeknya, dasar pemisahan agama dari kehidupan. Begitu pula dengan kebebasan berpendapat. Banyak kaum muslim, terutama yang hidup terzalimi dan dilarang menyatakan pendapatnya jika bertentangan dengan rezim, mengadopsi ide kebebasan berpendapat ini.

Padahal, kebebasan berpendapat yang dijajakan kapitalisme sekuler tidak terbatas pada mengoreksi penguasa, tetapi juga propaganda hal-hal yang diharamkan Allah seperti utang ribawi, LGBT, perzinaan, penyimpangan seksual, eksploitasi wanita dengan ide kesetaraan gender, penghinaan terhadap Nabi Muhammad saw., pelecehan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, dan lain sebagainya.

Islam membolehkan seorang muslim menyampaikan pendapatnya, tetapi pendapat tersebut tidak boleh bertentangan dengan akidah dan syariat Islam.

Kebebasan bertingkah laku yang menghancurkan pemuda 

Selanjutnya kebebasan berperilaku. Bagi kapitalisme sekuler tidak ada tempat bagi aturan halal/haram untuk mengatur perilaku manusia. Penerapan kebebasan berperilaku telah membudayakan kebejatan dan kebobrokan moral manusia. Pria wanita hidup bersama tanpa ikatan pernikahan, LGBT, aborsi karena hamil di luar nikah, pornografi, pornoaksi, prostitusi online, dan berbagai perilaku buruk lainnya adalah hal yang biasa dalam masyarakat kapitalis sekuler.

Kebebasan hak milik menjadikan pemikiran pemuda berkiblat asas materialisme 

Tentang kebebasan hak milik, orang-orang kapitalis membebaskan manusia untuk memiliki apa saja yang ia sukai selama ia mampu memilikinya dan tidak melanggar hak–hak yang diakui oleh sistem kapitalisme.

Dengan demikian, ladang minyak, tambang besar, sumber air, dan segala yang menjadi hajat hidup orang banyak menjadi bebas dimiliki individu. Termasuk, semua barang yang diharamkan dalam Islam seperti minuman keras dan usahanya, peternakan babi, tempat perjudian, rumah pelacuran, dan lain-lain diberikan kebebasan oleh sistem kapitalisme untuk dimiliki seseorang.

Kebebasan hak milik ini akan mewujudkan kesenjangan sosial yang tajam di dalam masyarakat karena yang memiliki banyak uang akan bisa menikmati banyak barang dan usaha. Mereka tidak peduli dengan orang-orang yang kekurangan, kelaparan, dan menderita hidupnya. 

Pemuda yang memiliki paham kapitalis ini, mereka mengukur kebahagiaan yang utama dengan materi, seberapa banyak pundi-pundi materi yang manusi punya untuk memenuhi hawa nafsu.

Inilah empat paham kebebasan yang terus menerus digencarkan ke tengah umat Islam, termasuk kepada remaja muslim. Kapitalisme sekuler selalu berusaha agar generasi umat ini mengadopsi empat paham kebebasan ini, melalui berbagai proyek dengan mengatasnamakan lembaga internasional serta legislasi di negara-negara muslim sehingga legal menjadi undang-undang yang mengikat masyarakat

Tiga Desain  Serangan Kapitalis

Pemuda mengalami serangan kaum kapitalis melalui tiga desain, yaitu  Pertama pemuda berperan secara global dalam kaitan politik mencegah ekstremisme melalu moderasi beragama, pemuda dijadikan agen-agen paham moderasi untuk melancarkan dibidang politik.

Negara adidaya yang merupakan negara imperialis, setidaknya menggunakan dua strategi untuk melibatkan pemuda dalam isu-isu global. Tujuannya agar pemuda merasa telah memperoleh kepercayaan berkontribusi aktif merumuskan berbagai solusi. Pertama, membelokkan perjuangan pemuda—yang telah melek politik dan menuntut perubahan dunia yang karut-marut akibat penerapan sistem kapitalisme—agar mendukung penuh kebijakan rezim neoliberal. Kedua, mencengkeram seluruh potensi pemuda dalam pemberdayaan mereka di seluruh bidang agar tidak keluar dari desain kapitalisme global. Dengan memberikan fasilitas seperti "Asrama Mahasiswa Nusantara" dan Proyek Kampus Merdeka Belajar.

Penyesatan ideologi, dengan cara:

-Moderasi beragama, berupa pendangkalan akidah atas nama toleransi, interfaith, dan Islam ramah.

-Deradikalisasi sebagai bentuk islamofobia.

-Feminisme milenial dengan fenomena childfree, waithood, my body is mine.

-Invasi pemikiran sekularisasi dan liberalisasi menghasilkan permisivisme (free sex, L687QI), hedonisme, konsumtivisme (fenomena CFW), dan premanisme (narkoba, tawuran, aborsi, bulliying, dll.)

Akibatnya generasi muda kehilangan jati diri dan tidak punya ketahanan ideologi. Muslim, tetapi sekuler.

Kedua menjadikan  pemuda memiliki profil sekuler kapitalis untuk dibajak demi kepentingan industri kapitalis.

Bonus demografi, tingginya angka pengangguran, capaian pertumbuhan ekonomi, bahkan disrupsi teknologi yang kerap melatarbelakangi berbagai kebijakan pemerintah bidang pendidikan, apakah dapat terselesaikan dengan proyek revitalisasi pendidikan vokasi yang menyedot energi pemuda?

 Dalam sistem kapitalisme yang serba sulit ini (merebaknya kemiskinan, pengangguran, dll.), para pemuda dihadapkan pada pilihan sulit dalam menempuh jalur pendidikan. Sebagian akhirnya memilih pendidikan vokasi karena iming-iming mendapatkan pekerjaan lebih mudah.

Di sisi lain, kebijakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM), khususnya di bidang vokasi, makin digencarkan. Tidak tanggung-tanggung, pemerintah menggelontorkan sejumlah dana besar bagi program revitalisasi pendidikan vokasi. Proyek utamanya adalah link and match yang mengawinkan dunia usaha dan industri (DUDI) dengan pendidikan vokasi, baik di tingkat SMK maupun kampus vokasi.

Skema matching fund (dana pemadanan) membuat dunia industri makin antusias melebarkan sayapnya di dunia pendidikan. Mereka seakan mendapatkan amunisi, tidak perlu repot karena telah memiliki pabrik SDM (sumber tenaga kerja) bagi pengembangan industrinya sesuai kebutuhan.

Secara tidak sadar, inilah kondisi yang sebenarnya menjerat pemuda sekarang. Potensi intelektual mereka tengah disedot habis-habisan bagi keberlangsungan kapitalisme melalui hilirisasi yang dilakukan industri korporasi yang kini merajai perekonomian. Mirisnya, kondisi ini justru didukung penuh oleh negara melalui kebijakan-kebijakannya yang dianggap populis, yakni MBKM.

Mari lihat faktanya! Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan jumlah pengangguran terbuka per Februari 2022 sebanyak 8,40 juta orang atau tingkat pengangguran terbuka (TPT) sebesar 5,83% dengan lulusan SMK jadi yang terbanyak daripada jenjang pendidikan lainnya. Sementara itu, persentase lulusan pendidikan tinggi vokasi yang dalam setahun mendapatkan pekerjaan hanya mencapai 50,16% (capaian 2021).[1]

Ini menunjukkan bahwa berbagai persoalan di atas memang tidak relevan dengan proyek revitalisasi pendidikan vokasi. Bahkan, yang terjadi adalah kapitalisme yang makin menunjukkan keborokannya dengan datangnya gelombang PHK yang terus membesar; sebuah kondisi sosial ekonomi yang makin rusak. Adapun pemuda hanya diposisikan untuk menambal kebobrokan itu agar kapitalisme makin eksis.

Kebebasan memiliki (berekonomi) yang diusung sistem rusak ini juga makin menyuburkan oligarki hingga merusak tatanan bernegara. Negara jadi tidak berdaya. Pendidikan pun menjadi tumbal. Para pemuda yang sebenarnya berpotensi ini mandul ditelan jahatnya kapitalisme melalui tangan-tangan korporasi.

Wajar jika program revitalisasi pendidikan vokasi dalam sistem kapitalisme tidak akan menjawab semua problem di atas. Semua problem tersebut merupakan problem sistemis yang tidak bisa dan tidak boleh diselesaikan melalui pendekatan pendidikan. Hal ini hanya akan memalingkan fungsi penting pendidikan sebagai sarana membentuk kepemimpinan bagi manusia (mewujudkan abdullah dan khalifatullah fil ardh).

Orientasi Profit

Penyelenggaraan pendidikan dalam sistem kapitalisme juga keliru dalam mendudukkan ilmu, khususnya ilmu-ilmu terapan (vokasi). Ilmu (pengetahuan) dipandang sebagai faktor produksi. Konsep Barat ini, yakni knowledge-based economy (KBE) mengharuskan pendidikan berorientasi profit (materi). 

Pendidikan vokasi yang pada asalnya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia akan ilmu-ilmu terapan, menjadi lebih berorientasi pasar kerja (menghasilkan uang). Sedangkan sektor industri dan usaha merupakan bagian yang saat ini dianggap paling strategis menyerap pasar kerja. Inilah sebab link and match pendidikan vokasi ditujukan bagi dunia usaha dan industri.

Akhirnya, bidang vokasional dikembangkan mengikuti permintaan pasar kapitalistik. Para pemuda pun lebih menaruh minatnya pada bidang-bidang semacam teknologi informasi dan komunikasi, multimedia, pariwisata, periklanan, seni dan industri kreatif, bisnis dan manajemen, teknik dan teknologi, dan sebagainya. Ini karena bidang-bidang inilah yang saat ini paling mendatangkan profit (paling banyak diserap sektor industri). Dampaknya tentu sudah dirasakan saat ini, yakni pertumbuhan ekonomi yang kapitalistik dan kehidupan sosial yang jauh dari keluhuran sebuah masyarakat.

-
Kurikulum Sekuler
-

Dalam bingkai tata kelola pendidikan dan negara sekuler, pendidikan vokasi juga diselenggarakan dengan kurikulum sekuler. Ini mengakibatkan siswa maupun mahasiswa kering (minim) dalam pembentukan kepribadian Islamnya. Tidak jarang, ilmu-ilmu yang mereka dapat tidak dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat atau mendorong berkembangnya peradaban luhur (Islam). Mereka bahkan menjual ilmunya demi keuntungan duniawi. 

Mari kita tengok sebagian produk yang mereka hasilkan dan rupanya mendapat sambutan “positif”, seperti fesyen, permainan, aplikasi hiburan, fotografi, drama dan perfilman, tata rias artistik, makanan olahan kekinian, dan sebagainya. Semua ini digeluti karena bertumpu pada selera pasar yang kapitalistik, bukan pada apa yang seharusnya ada (kebutuhan) di masyarakat berdasarkan syariat. 

Ini terjadi karena mereka tidak memiliki standar berbuat secara benar. Kepribadian mereka kacau, tidak sesuai dengan Islam. Inilah buah dari kurikulum sekuler pada pendidikan vokasi Dengan kondisi ini, tentu tidak bisa diharapkan kepemimpinan bangsa diserahkan kepada para pemuda seperti ini. Kepemimpinan butuh visi misi sahih tentang kehidupan (sesuai akidah Islam).

Ketiga adanya serangan media kapitalis sekuler agar pemuda muslim hidup hedonistik dan arahan kreativitas demi cuan, meskipun melanggar nilai-nilai agama.  perusakan potensi generasi muda dilakukan melalui:

Pembajakan potensi intelektual dan ekonomi, dengan cara:

-Penerapan kurikulum merdeka, seperti Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM).

–Knowledge Based Economy

–Triple Helix/Penta Helix

-Digitalisasi

Akibatnya generasi muda hanya menjadi mesin penggerak ekonomi kapitalisme sekaligus end user produk industri kapitalisme, pengetahuan mengabdi kepada kepentingan para pemilik modal, dan mencetak SDM pintar, tetapi minus moral.

Perusakan ini menjadikan umat Islam kehilangan modal kebangkitan dan tetap di bawah cengkeraman penjajahan.

Kebangkitan Islam
Berbicara soal kebangkitan Islam, sesungguhnya tidak melulu mengacu pada jumlah pemeluk agama Islam. Data World Population Review menunjukkan, penganut agama terbanyak saat ini adalah Kristen, yakni diikuti oleh sekitar 2,38 miliar orang di seluruh dunia. Nomor dua adalah Islam, agama yang dipraktikkan oleh lebih dari 1,91 miliar orang. Namun, peneliti populasi memperkirakan bahwa Islam akan hampir menyusul Kristen pada 2050 nanti.[i]

Kalaulah kebangkitan itu diukur dari kuantitas saja, tentulah Islam dan kaum muslim sudah berjaya hari ini. Dengan posisinya menempati nomor dua dunia, tentunya wilayah Palestina tidak akan masih diinvasi oleh Israel. Begitu pula Muslim Rohingya, tidak bakal terusir dari negerinya. Muslim Uighur pun tidak akan yang terlunta-lunta dan terhina di tanahnya. Tidak bakal pula kaum muslim di Indonesia dan di dunia menjadi sasaran proyek deradikalisasi Barat.

Oleh karenanya, kebangkitan Islam tidak bisa dilepaskan dengan menjadikan Islam sebagai kekuatan politik. Jika menjadikan Islam berkutat pada aspek ruhiyah semata, justru hal itu menyalahi keberadaan Islam yang sejatinya sebagai akidah ruhiyah sekaligus akidah siyasiyah (politik). 

Berangkat dari dorongan akidah inilah, kaum muslim terdahulu berupaya keras membangun sebuah institusi politik, yakni Khilafah Islamiah. Khilafah ibarat mercusuar yang menjadi penerang dan pemberi arah di tengah gelombang lautan kehidupan. Dengan tegaknya institusi Khilafah, syariat Islam mampu diterapkan secara kaffah untuk memenuhi seruan Allah Taala, “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS Al-Baqarah: 208).

Dengan tegaknya aturan Islam secara kaffah, Islam akan terealisasi sebagai rahmat bagi seluruh alam. Khilafah layaknya magnet yang menarik manusia dari berbagai penjuru dunia untuk bergabung di dalamnya. Demikianlah yang terjadi sebagaimana ketika Daulah Islam di Madinah Al-Munawwarah tegak dan institusi politik tersebut dilanjutkan oleh khulafa. Ini bukanlah klaim belaka, melainkan telah terukir dengan tinta emas sejarah betapa kehidupan dalam naungan Khilafah dipenuhi kerukunan, kesejahteraan, dan keadilan. 

Pujian pun tidak sanggup ditahan, bahkan oleh orientalis Barat sekalipun. Salah satunya adalah T.W. Arnold, seorang orientalis dan sejarawan Kristen yang menggambarkan kerukunan beragama dalam naungan Khilafah. “The treatment of their Christian subject by of Ottoman emperors—at least for two centuries after their conquest of Greece—exhibits a toleration such as was at that time quite unknown in the rest of Europe. (Perlakuan terhadap warga Kristen oleh Pemerintahan Khilafah Turki Utsmani—selama kurang lebih dua abad setelah penaklukan Yunani—telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa).” (The Preaching of Islam: A History of Propagation of the Muslim Faith. 1896. hlm. 134).

Begitu pula sejarawan Barat Will Durant, menggambarkan betapa sejahtera, aman, dan adilnya kehidupan dalam Khilafah. “Para Khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan kerja keras mereka. Para Khalifah juga telah menyediakan berbagai peluang untuk siapa pun yang memerlukan dan memberikan kesejahteraan selama beradab-abad dalam wilayah yang sangat luas. Fenomena seperti itu belum pernah tercatat (dalam sejarah) setelah zaman mereka,” tulisnya.

Sebagai institusi politik Islam, Khilafah mampu menjadi mercusuar dunia selama 1.300 tahun lamanya. Membawa manusia dalam kehidupan yang penuh rahmat. Sungguh jauh dari kesan intoleran, berbahaya, radikal, antikeberagaman, dan sebagainya, sebagaimana dinarasikan Barat dan diikuti oleh negeri-negeri pembebeknya saat ini.

Menunda Kebangkitan Islam
Narasi sesat Barat yang kini masif digaungkan, sejatinya lahir dari ketakutan Barat akan bangkitnya kembali kekuatan politik Islam di tengah kehidupan. Ini sebagaimana prediksi intelijen Barat (NIC) bahwa “New Caliphate” akan muncul menjadi kekuatan dunia yang mengancam hegemoni kapitalisme saat ini. 

Barat percaya betul akan kemunculan kekuatan tersebut. Mereka sangat yakin tidak mampu mencegah munculnya kekuatan politik Islam ini, tetapi mereka masih berharap mampu menunda kemunculannya. Ibaratnya, mereka sadar bisa merusak bunga yang bermekaran, tetapi mereka tidak bisa mencegah datangnya musim semi.

Oleh karenanya, Barat mengupayakan berbagai hal untuk menunda bangkitnya kembali kekuatan politik Islam. Sejumlah istilah dan framing buruk tentang Islam dimuntahkan di banyak media demi menguatkan narasi Barat dalam membentuk citra negatif Islam di tengah dunia. Muncullah banyak istilah, seperti Islam radikal, Islam fundamentalis, Islam garis keras, ekstremis Islam, dsb. yang merupakan istilah peyoratif ‘memberikan makna menghina dan merendahkan’.

Melalui hegemoni wacana yang dibangun Barat, kaum muslim dan masyarakat dunia dipaksa percaya bahwa Islam itu berbahaya. Jika menginginkan Khilafah—kata mereka—, negeri bakal “di-Suriah-kan” (diluluhlantakkan). Jadilah umat takut dengan Islam, agamanya sendiri. Mereka takut menyerukan Islam, bahkan takut pula menunjukkan jati diri keislamannya.

Bersamaan dengan itu, Barat menawarkan gaya berislam ala Barat, yakni muslim moderat. Hal ini terurai jelas dalam Building Moderate Muslim Network, pada bab 5 tentang “Road Map for Moderate Network Building in the Muslim World (Peta Jalan untuk Membangun Jaringan Moderat di Dunia Muslim)”. 

Dalam buku tersebut juga dijelaskan tentang karakteristik muslim moderat, yakni sosok yang menyebarluaskan dimensi-dimensi kunci peradaban demokrasi, termasuk di dalamnya gagasan tentang HAM, kesetaraan gender, pluralisme, dan menerima sumber-sumber hukum nonsektarian; serta melawan terorisme dan bentuk-bentuk legitimasi terhadap kekerasan. (Angel Rabasa, Cheryl Benard et all, Building Moderate Muslim Network, RAND Corporation, hlm. 66).

Fatalnya, narasi sesat dan bentukan sosok moderat tersebut masif diarahkan pada para pemuda muslim. Barat sadar betul bahwa pemuda adalah generasi yang “full charging”. Mereka memiliki energi luar biasa yang mampu mengubah wajah dunia. Sejarah membuktikan betapa pemuda berhasil menjadi simpul pokok perubahan di semua lini kehidupan.

Dengan kemasan “pemberdayaan pemuda”, Barat membentuk pemuda muslim menjadi sosok muslim moderat, kehilangan jati diri Islam, ataupun hidup demi meraih materi semata. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh founder komunitas Back to Moslem Identity (BMI) drg. Luluk Farida. Ia menyatakan bahwa terdapat tiga desain “pemberdayaan pemuda” yang merupakan serangan kapitalis Barat kepada kaum pemuda. 

Pertama, berperan secara global dalam kaitan politik mencegah ekstremisme melalu moderasi beragama. Kedua, menjadikan pemuda memiliki profil sekuler kapitalistik yang dibajak untuk kepentingan industri kapitalisme. Ketiga, serangan dari media kapitalis sekuler agar pemuda muslim hidup hedonistik dan arah kreativitas demi cuan meskipun melanggar nilai-nilai agama.

Membangun Arus Baru di Tengah Pemuda

Tampak jelas bahwa potensi pemuda tengah dibajak oleh Barat kapitalis sekuler. Potensi mereka sengaja dijauhkan dari berpikir tentang Islam dan bekerja untuk Islam. Mereka justru dijadikan ujung tombak proyek moderasi beragama yang sejatinya menikam Islam. 

Hari ini mereka didaulat menjadi pemuda pelopor moderasi yang menjajakan cara pandang beragama masyarakat tidak ekstrem; cara beragama yang tidak mempertentangkan antara kehidupan keagamaan dan kebangsaan. Semua itu justru menjebak para pemuda terlibat dalam narasi Barat.

Saatnya pemuda lepas dari jebakan sesat ini. Sangat mendesak untuk membangun arus baru di kalangan para pemuda muslim, arus yang mengungkap jati diri dan kiprah mereka menuju kebangkitan Islam. 

Langkah awal yang perlu dilakukan di tengah kaum muda adalah mengajak mereka berpikir. Bagi orang yang berakal, dengan mencermati fakta-fakta yang berkembang di masyarakat secara menyeluruh, tentu akan sampai pada kesimpulan bahwa kerusakan hari ini bukan karena penerapan syariat Islam, melainkan justru buah penerapan sistem kapitalisme Barat sekuler.

Langkah selanjutnya adalah membangun kesadaran di tengah pemuda bahwa sistem yang mampu memuliakan manusia dan mengantarkan pada kebangkitan umat hanyalah sistem Islam. Ini karena sejatinya kebangkitan Islam merupakan kepastian, bukan delusi. Membangun keyakinan tersebut di tengah kaum muda harus berangkat dari hal mendasar, yakni dengan membangun keimanan.

Kedua, menunjukkan konsep Islam adalah unggul dan tangguh. Ini bisa dikomparasikan dengan sistem kapitalisme yang tengah menghegemoni dunia hari ini.

Ketiga, menunjukkan bahwa sejarah membuktikan umat Islam pernah berjaya. Tidak tanggung-tanggung, 13 abad lamanya, dan sesungguhnya mengulangi kejayaan yang sudah pernah diraih adalah “lebih mudah” daripada memulainya tanpa ada sejarahnya.

Keempat, buka mata mereka untuk melihat sambutan umat dunia terhadap Islam makin besar. Hasil penelitian Pew Research menyatakan bahwa pada 2050, jumlah umat Islam di dunia bakal menyamai jumlah penganut Kristen. Bahkan, masyarakat Barat dan Eropa makin hari makin hangat terhadap Islam, meski para pemimpin mereka menunjukkan sikap yang berbeda.

Kelima, tunjukkan pada mereka adanya kelompok dakwah ideologis di tengah umat yang akan senantiasa siap membersamai para pemuda menapaki jalan kebangkitan. Musuh-musuh Islam tengah bersatu merancang berbagai cara guna mencegah kebangkitan Islam, maka sudah seharusnya para pejuang kebangkitan Islam berada dalam satu jemaah solid, layaknya bangunan yang kokoh.

Khatimah
Kebangkitan Islam adalah kepastian. Merupakan janji Allah dan kabar gembira dari baginda Rasulullah saw.. Dakwah mewujudkan kebangkitan Islam tidak pernah kehabisan pejuang. Apakah Anda termasuk dalam gerbong perjuangan atau tidak, itu adalah pilihan Anda. Ingat, setiap pilihan pasti ada hisabnya. Wallahualam.

Post a Comment

Previous Post Next Post