HUBUNGAN SERTA TANTANGAN DALAM PROFESI DAN KOMPETENSI KOMUNIKASI DI ERA PASCA PANDEMI


Oleh : Anindya Cecya Cinta C
 
Komunikasi merupakan kegiatan yang sangat penting dan diperlukan oleh manusia. Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak lepas dari kegiatan berinteraksi dengan individu lain agar terwujudnya kehidupan bersosialisasi yang harmonis. Berkembangnya minat masyarakat untuk meningkatkan keterampilan dalam berkomunikasi karena sadar bahwa komunikasi bisa membantu seseorang dalam meningkatkan perannya sebagai anggota dalam lingkungan masyarakat, baik hubungan antarmanusia maupun dalam peningkatan communication skills yang bisa membantu individu mendapatkan peluang dalam pekerjaan. Dengan mempelajari konsep, teori, dan dasar-dasar praktik komunikasi yang baik, seseorang bisa menjadi komunikator yang piawai dan profesional dalam melaksanakan tugas-tugas yang dihadapi.
 
Berbicara mengenai hubungan komunikasi dengan profesi, berikut adalah hasil wawancara penulis kepada dua orang praktisi yang bekerja pada dua bidang berbeda dalam komunikasi, yakni bidang komunikasi korporat dan komunikasi massa:
 
Komunikasi Korporat
Menurut buku Essentials Corporate Communication oleh Cees van Riel dan Charles Fombrun, Komunikasi Korporat dapat didefinisikan sebagai serangkaian kegiatan yang termasuk dalam pengelolaan dan pengaturan segala komunikasi internal dan eksternal yang ditujukan untuk menciptakan titik awal yang menguntungkan dengan para pemilik kepentingan.
 
Konsep yang dibangun di dalam Corporate Communication dapat dilihat sebagai struktur komunikasi integratif yang menghubungkan (two way communication) antara para pemilik kepentingan dengan perusahaan. Corporate Communication adalah sebuah sistem yang memungkinkan perusahaan untuk mengatur segala bentuk dan jenis komunikasi secara strategis.
 
Salah satu praktisi dalam bidang komunikasi korporat yang berhasil diwawancara oleh penulis, yakni Ibu Kartika Dewi atau kerap disapa Bu Tika. Beliau bekerja di bidang Public Relation selama 10 tahun sebagai admin dari program studi Ilmu Komunikasi di Universitas Mulawarman sejak tahun 2012. Beliau bekerja melayani mahasiswa-mahasiswa yang ingin menyusun Kartu Rencana Studi (KRS), surat-menyurat, dan pelayanan-pelayanan lainnya.
 
Setelah terjadinya pandemi, pelayanan tersebut beralih menjadi online atau melalui media sosial seperti WhatsApp, Email, Facebook, dan Instagram. Semua serba digital padahal menurut beliau, lebih efektif melayani mahasiswa saat pelayanan masih bersifat offline, “Sebelum pandemi, semua pelayanan dilakukan secara langsung dan itu lebih efektif.  Karena menurut saya masih bisa berkomunikasi secara face to face dan hanya melayani saat mahasiswa datang. Jika tidak ada mahasiswa yang datang, staf bisa mengerjakan pekerjaannya masing-masing,” ucap Bu Tika.
 
Mengenai bagaimana cara beliau berinteraksi dengan mahasiswa-mahasiswa beliau mengatakan, “Kalau secara offline atau langsung, bisa berkomunikasi secara tatap muka. Tetapi kalau lewat media sosial, staf menggunakan bahasa yang formal, baku, dan menggandeng mahasiswa yang bertanya melalui media sosial menggunakan kata ‘Hai Ilkomers,’ dan lain-lain.”  Dengan kondisi pelayanan online yang sekarang, banyak terjadi tantangan seperti jam kerja para staf admin yang menjadi tidak teratur dan berantakan dikarenakan mahasiswa bisa bebas kapan saja menghubungi bagian admin program studi.
 
Cara agar komunikasi dalam pelayanan online yang dilakukan dapat berjalan dengan lancar beliau pun memberikan jawaban demikian, “Ketika pelayanan langsung, kita bisa melihat ekspresi, nada atau intonasi dalam berbicara, body language-nya secara langsung dan menyesuaikan dengan lawan bicara. Tapi kalau lewat media sosial, kita harus menyampaikan informasi secara lebih detail agar para audiens yang membaca tidak kebingungan.”
 
Mengenai kompetensi atau skill komunikasi apa saja yang diperlukan dalam profesi ini, beliau menjawab bahwa staf harus memiliki kompetensi khusus untuk berkomunikasi tergantung pada komunikannya, “Saya berkomunikasi dengan berbagai macam tipe mahasiswa. Ada mahasiswa baru, mahasiswa akhir, mahasiswa kelas khusus, dan ada bapak-bapak yang mengambil studi lanjutan. Jelas mereka memiliki cara berkomunikasi yang berbeda. Maka dari itu, staff harus memiliki kompetensi khusus untuk berkomunikasi tergantung dengan komunikannya.”
 
 
Komunikasi Massa
John R Bittner mengungkapkan bahwa komunikasi massa merupakan pesan yang dapat dikomunikasikan atau disampaikan melalui media massa kepada sejumlah besar orang secara sekaligus.
 
Sumber juga bisa merupakan suatu lembaga atau institusi yang terdiri dari banyak orang, misalnya reporter, jurnalis, penyiar, editor, teknisi, dan sebagainya. Oleh karena itu, proses penyampaian pesannya lebih formal, terencana (dipersiapkan lebih awal), terkendali dan lebih rumit.
 
“Tugas sebagai reporter memenuhi target berita harian. Sebagai koordinator liputan, memberi penugasan ke reporter, me-review hasil liputan reporter sebelum dikirim ke editor. Sebagai content planner, ikut mikir konten medsos selanjutnya, ini bisa berupa video atau infografis. Membantu editor video menyusun naskah video berita, menyusun naskah infografis. Sebagai media sosial specialist, mengunggah berita dan konten ke hampir semua kanal medsos, kecuali Youtube, plus membaca tren yang lagi hangat di masyarakat.” Jelas Kak Fitri Wahyuningsih yang sudah bekerja menjadi seorang jurnalis dari tahun 2019.
 
Menurut Kak Fitri, bekerja sebagai jurnalis di media siber itu melakukan berbagai macam pekerjaan, “Ada beberapa jabatan yang saya rangkap; reporter, koordinator lapangan, media sosial specialist, dan content planner. Bisa dibilang pekerja palu gada. Sebenarnya bekerja rangkap seperti ini tidak manusiawi, namun sayangnya kerap dilakukan pekerja media. Terutama jurnalis di media siber.” Tutur Kak Fitri menjelaskan.
 
Kak Fitri juga menyebutkan kompetensi apa saja yang harus dimiliki dalam profesi ini, seperti:
1. Kemampuan adaptasi, “Jurnalis menghadapi areal liputan yang bermacam-macam, bertemu orang dari berbagai latar belakang. Mereka harus mampu adaptasi dan menempatkan diri dengan baik agar kerja-kerja jurnalistiknya berjalan mulus. Tidak serampangan.”
2. Mobilitas, “Kalau tidak bisa bergerak bebas, susah jadi jurnalis. Momentum mesti dikejar. Beban makin berat untuk jurnalis media siber. Sebab mereka biasanya berpacu dengan kecepatan.”
3. Menulis, “Jurnalis tentu harus bisa menulis. Tapi bukan sekadar menulis atau menulis hasil transkrip wawancara. Jurnalis bukan tukang transkrip rekaman. Jurnalis harus bisa menulis dengan terstruktur, membangun logika berpikir dalam tulisannya, dan tentu saja enak dibaca.”
4. Wawancara, “Ini esensial sekali, selain kecakapan menulis. Menurut saya wawancara itu bukan sekadar mengajukan pertanyaan, ada tekniknya, tidak bisa serampangan. Paling mendasar, jurnalis mesti bisa membangun percakapan dan buat lawan bicaranya nyaman. Bila ini tidak bisa dilakukan, biasanya pertanyaan bakal mutar-mutar saja, dangkal, dan detail-detail kecil dari sebuah informasi terlewatkan. Teknik wawancara juga mesti disesuaikan dengan calon narasumber dan isu apa mau dibahas. Misalnya, bila yang mau dibahas dalam wawancara soal pelecehan seksual, jurnalis harus hati-hati. Jangan sampai wawancara itu justru membangkitkan trauma korban.”
5. Membaca, “Saya meyakini penulis yang baik adalah pembaca yang rakus. Jadi untuk hasilkan tulisan bermutu, jurnalis harus rajin baca. Selain rajin baca teks, jurnalis juga mesti pintar membaca kondisi dan tren. Ini diperlukan supaya mereka lebih mudah mencari dan mengolah isu.”
6. Berpikir kritis, “Penting banget ini sebab bila tidak bisa berpikir kritis, jurnalis bakal susah nyari ide liputan harian, kesulitan olah isu, cuma bisa jadi jurnalis "mencecap" alias tulis hasil transkrip wawancara. Jurnalis tuh mesti jadi orang pertama yang mengkritisi dan menganalisa apa yang dikatakan narsumnya, sebelum hasil wawancara berupa berita itu ditayangkan.”
 
Untuk tantangan dan hambatan di era pasca pandemi ini, menurutnya tidak ada perubahan yang signifikan karena sedari awal media yang digunakan juga merupakan media digital seperti wawancara via telepon, media sosial, dan email. Jika turun lapangan atau ingin mewawancarai narasumber secara langsung, hambatan komunikasi untuk menjangkau narasumber yang sangat sering dihadapi Kak Fitri menambahkan, “Biasanya pejabat daerah agak susah diajak berkomunikasi bila ditanyakan isu-isu yang menurutnya sensitif, dan paling kalau ketemu narasumber foreigner, saya tidak bisa wawancara panjang karena kemampuan bahasa Inggris saya terbatas.”
 
Dengan demikian, terbukti bahwa antara komunikasi dan profesi sangat erat hubungannya. Keterampilan dalam komunikasi ternyata sangat diperlukan dalam pekerjaan apapun agar terjalinnya hubungan yang baik dan pekerjaan dapat berjalan dengan lancar. Banyak juga tantangan dan hambatan yang dihadapi di era pasca pandemi ini karena perubahan-perubahan dan adaptasi dari era sebelumnya. Namun, ada beberapa profesi yang juga tidak terlalu terpengaruhi oleh pandemi yang terjadi.
 
Kita sendiri bisa mengambil dan mencontoh kompetensi apa saja yang diperlukan agar menjadi seorang pekerja yang menggunakan ilmu komunikasi dengan pandai, baik dari komunikasi di bidang korporat maupun massa. Semua profesi memang tidak pernah luput dari hambatan dan tantangan. Oleh karena itu, sebagai masyarakat yang paham akan pentingnya cara berkomunikasi dengan baik (secara langsung maupun tidak langsung), hendaknya kita harus terus sadar akan pentingnya belajar mengenai kualitas cara berkomunikasi.
 
“Kualitas hidup Anda adalah kualitas komunikasi Anda” -Tony Robbins

Post a Comment

Previous Post Next Post