TV Analog Dilarang, Siapa yang Diuntungkan?


Oleh Fanissa Narita, M.Pd.
 
Sejak tanggal 2 November 2022 pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) resmi mengalihkan siaran TV analog ke siaran TV digital di 222 titik dari total 514 titik (Tempo.co). Meskipun, Kominfo mendapati bahwa beberapa TV swasta masih “bandel” alias tetap menyalakan siaran TV analog mereka. Menanggapi hal tersebut, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (MenkoPolhukam) Mahfud MD menegaskan bahwa tindakan tersebut illegal karena bertentangan dengan hukum yang berlaku. Sebelumnya, ia mengatakan bahwa 98% masyarakat Indonesia sudah siap beralih ke siaran TV digital. Sebaliknya, kritik berdatangan dari warganet yang mengeluhkan bahwa masih banyak rakyat kecil yang belum memiliki alat Set Top Box (STB). Warga dari Gorontalo dan Indramayu adalah diantara mereka yang mengeluhkan hal tersebut dimana sebagian besar warganya tidak mampu membeli alat STB (Okenews). Mereka khawatir tidak dapat menonton TV lagi jika aturan ini sudah sempurna dilaksanakan. 

Menyulitkan Rakyat

Memang betul bahwa siaran TV digital menawarkan kualitas gambar yang lebih bersih, suara yang jernih, dan teknologinya canggih sayangnya semua itu tidak bisa didapat dengan cuma-cuma. Rakyat perlu merogol kocek dengan membeli alat STB untuk dapat menikmatinya. Hal ini tentu menambah beban pengeluaran rumah tangga masyarakat apalagi pascapandemi Covid 19 situasi ekonomi belum sepenuhnya pulih. Padahal saluran TV masih menjadi media informasi yang paling banyak dipakai oleh seluruh kalangan masyarakat khususnya mereka yang tinggal di daerah-daerah dengan akses internetnya belum baik. Jika saluran TV analog disuntik mati oleh pemerintah maka rakyat kecil yang belum mampu membeli alat pendukungnya otomatis akan kehilangan sumber informasi sekaligus hiburan sehari-hari. Hal ini tentu sangat menyulitkan rakyat karena informasi merupakan kebutuhan dasar bagi masyarakat saat ini. 

Menguntungkan Korporasi

Disisi lain program migrasi siaran TV analog ke siaran TV digital ternyata mendatangkan keuntungan besar bagi beberapa pihak. Pemerintah sebagai pengusung program ini setidaknya menurut Boston Consulting Group, mendapatkan penambahan PNBP pada kisaran Rp 7 triliun per tahun atau lebih dari 70 triliun, sekitar 77 triliun per 10 tahun masa lisensi. Selain itu, program ini juga menjadi ladang bisnis baru bagi para korporasi. Bisnis STB adalah ladang yang paling basah. Di tingkat produsen PT Inti sebagai salah satu produsen STB mendapatkan kebanjiran pesanan sehingga perlu menggenjot produksi mereka hingga 1000 unit per hari. Sedangkan pada tingkat agen, distributor, dan retail tentu juga mendapat angin segar bisnis STB. Semenjak diberlakukannya peraturan tersebut, penjualan STB mengalami kenaikan yang drastis baik di toko elektronik maupun market place hingga 60%. Produk STB dijual ke pasaran dengan harga 200 ribu dan sempat mengalami lonjakan harga sejak tingginya permintaan. Selain itu, lembaga penyiaran swasta (LPS) juga tidak kalah kecipratan manisnya pelaksanaan kebijakan ini dengan dibukanya peluang bisnis oleh Kominfo untuk penyelenggaraan penyiaran multipeksing. 
 
Mandat UU Cipta Kerja 

Menteri Kemenko Polhukam mengatakan bahwa analog switch off (ASO) merupakan perintah undang-undang Cipta Kerja No 11 tahun 2020 dan telah lama dilakukan serta dikoordinasikan dengan beberapa pemilik stasiun TV. Tujuannya adalah untuk mendorong digitalisasi di Indonesia. Demi terwujudnya UU ini suntik mati TV analog adalah keputusan yang dipilih pemerintah. Namun, pelaksanaannya tidak dibarengi dengan pemberian fasilitas alat STB atau TV yang mendukung digital secara gratis kepada masyarakat. Jika dibandingkan pengguna TV di Indonesia hanya sebagian kecil saja masyarakat yang diberikan bantuan STB. Secara tidak langsung seluruh masyarakat dipaksa untuk manut pada UU ini tanpa terkecuali dan apapun kondisinya. Padahal menurut Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indpnesia (HIPMI) Digital Academy, Anthony, masih banyak “pekerjaan rumah” (PR) kebijakan digitalisasi yang harus dibenahi dahulu sebelum ke ASO. Menurutnya, membangun fundamental digital yang baik lebih utama untuk menjamin penyampaian berbagai informasi ke masyarakat diterima secara baik karena hak informasi adalah hak setiap warga negara yang dilundungi oleh konstitusi. 
Undang-undang ini baru satu dari sekian banyak Undang-Undang Cipta Kerja yang akan direalisasikan oleh pemerintah. Mirisnya, bukan mendahulukan terpenuhinya kebutuhan informasi bagi seluruh masyarakat tetapi pemerintah fokus pada capaian yang ditetapkan dalam undang-undang ini yang entah ditunjjukan bagi kepentingan siapa. 

Waspada Pemerintahan Oligarki 

Pengabaian terhadap fakta belum siapnya seluruh masyarakat untuk beralih ke siaran TV digital yang disampaikan oleh beberapa pakar maupun cuitan warganet menunjukkan bahwa kebijakan yang dibuat tidak seutuhnya diperuntukkan untuk kemaslahatan masyarakat umum sebaliknya kemungkinan besar untuk segelintir pihak saja. Maka dari itu, sudah sepatutnya kita mewaspadai dalam kebijakan pemerintah ini ada pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan bagi kepentingan kelompok mereka. Sistem demokrasi memang rawan disusupi para oligarki yang bersembunyi dibalik penentuan kebijakan pemerintah. Sementara itu, dalam pemerintahan yang ditunggangi oligarki, posisi rakyat adalah sebagai pihak yang dibebankan pelaksanaan kebijakan saja terlepas itu menguntungkan atau merugikan rakyat sekalipun. 

Post a Comment

Previous Post Next Post