Guru dan Ibu “Di Sekolah”


Oleh : Martinah S.P

November telah tiba dengan beberapa pernik yang melengkapinya, salah satu dari pernik itu adalah hari guru. Warna guru memang tak ada habis nya untuk di bicarakan, lihat saja , semua orang hampir pernah sekolah, sedikit sekali bukan orang yang tidak sekolah ? dan disekolah ada berbagai komponen, salah satunya guru. 

Dari https://databoks.katadata.co.id/ tahun ajaran 2022/2023 menyebutkan bahwa jumlah guru di Indonesia sebesar 3,3 juta orang dan dari jumlah tersebut, berdasarkan jenis kelamin, hampir seluruh jenjang didominasi oleh perempuan. Bila dipersentasikan, sebanyak 70,84% merupakan guru berjenis kelamin perempuan. Karena jumlah guru perempuan saat ini mencapai 2,36 juta orang. Angka yang besar dengan dua warna, sebagai tauladan bagi murid-muridnya dan sebagai pendidik utama dan pertama bagi buah hatinya.

Sebagai “ibu guru”, keberadaan dan perannya amat menentukan keberhasilan pendidikan. Guru sebagaimana diketahui adalah tenaga pendidik yang bertugas membimbing, mengajar dan melatih hinga guru memegang peranan sebagai mediator dalam proses belajar. Artinya guru sebagai perantara dalam usaha untuk memperoleh perubahan tingkah laku siswa.

Sebagai seorang ibu untuk buah hatinya, perempuan juga memiliki peranan penting. Seorang penyair Hafidz Ibrahim mengatakan dalam syairnya, “Seorang ibu adalah madrasah”,  yaitu madrasah pertama bagi anaknya. Betapa pentingnya madrasah pertama itu. Karena yang pertama adalah yang paling dasar. Seseorang tidak akan mungkin mencapai puncak jika ia belum bisa mencapai dasar. Itulah pentingnya seorang ibu.

 Di era saat ini, banyak sekali seseorang yang terpaksa harus melakukan peran ganda karena desakan ekonomi. Melejitnya dan melambungnya harga kebutuhan pokok membuat seorang perempuan pun ikut membantu dalam menyumbang pemasokan ekonomi rumah tangga. Hingga menjadikan profesi guru sebagai pemasukan. Tentu saja ini adalah niatan yang keliru walau sulit sekali lepas dari realita yang ada. Aturan dan kebijakan  yang tak pro dengan rakyat membuat  niatan tulus mendidik di “senggeolkan” dengan kebutuhan pribadi. 

Jika kita berkaca pada peradaban islam, kabar dan suasana pendidikan  tak pernah lepas dari peran perempuan yang berhasil melahirkan ilmuwan-ilmuwan dari “rahim perut” dan  “rahim persekolahan”. Dan hal ini bukan didasarkan karena desakan ekonomi karena sistem ekonomi islam dengan peraturannya akan memudahkan tiap masyarakatnya  memenuhi kebutuhan sehingga para guru perempuan mampu memaksimalkan kemampuan sebagai ibu dua warna yang mencerdaskan.

Pada generasi Islam ke-2, sejarah pun menampilkan aksi-aksi kaum perempuan di ranah publik. sebut saja, Rabi’ah al-‘Adawiyah (Guru Sufi), Sayyidah Nafisah (sahabat sekaligus guru Imam al-Syafi’i) kemudian ada lagi  tokoh perempuan dalam ranah nasional yang bergerak dibidang perempuan seperti Dewi Sartika, R.A. Kartini, Sri Ratu Safiatuddin Tajul Alam, Maria Ulfah Santoso,Pratiwi Sudarmono, Mien Uno dan sebagainya. 

Peran perempuan dalam pendidikan pun menentukan peradaban suatu bangsa dan agama. Lewat pengajaran ilmu-ilmu agama umat bisa memahami, meyakini, dan mengamalkannya. Di antara banyaknya cendekiawan tentu ada segilintir kaum perempuan yang ikut dalam mengembangkan dan mencerdaskan umat dan bangsa. Adanya pengakuan posisi dan peran perempuan baik oleh nash-nash Islam, ataupun dalam sejarah, mendorong para founding father bangsa untuk menerjemahkan peran “mencerdaskan kehidupan bangsa”.  Marilah kita bersama mewujudkan kecerdasan spiritual, emosional, dan intelektual demi menyosong tantangan baru di abad ini dengan aturan islam.

Post a Comment

Previous Post Next Post