TEPATKAH BLT SEBAGAI SOLUSI KENAIKAN BBM?




Penulis : Luwy Sartika 


Memasuki awal bulan September 2022 disambut dengan kabar naiknya harga BBM subsidi pertalite dan solar yang digadang-gadang sudah mulai menipis sejak beberapa bulan sebelumnya. Bahkan Pengamat energi watch Mamit Setiawan memperkirakan stok pertalite akan habis di bulan Oktober 2022 apabila tidak ada penambahan kuota. Menanggapi berita ini, puluhan ribu buruh dari 34 provinsi di Indonesia melakukan aksi demo menolak kenaikan harga BBM yang sudah mulai diberlakukan pada tanggal 6 September 2022. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan “aksi ini akan dilakukan puluhan ribu buruh, untuk di DPR RI massa aksi berjumlah hampir 5.000 buruh. Massa aksi pada 6 September berunjuk rasa di DPR RI, dan ribuan buruh lain di kantor gubernur masing-masing” ungkapnya dalam konferensi pers (30/8). Mau tidak mau yang akan merasakan dampak paling parah adalah kaum buruh sehingga dalam aksi demo tersebut setidaknya ada empat tuntutan kaum buruh terkait kenaikan harga BBM subsidi yaitu pertama, kenaikan harga BBM akan membuat daya beli masyarakat turun. Kedua, pemerintah diminta tidak membandingkan harga BBM dengan negara lain yang memiliki pendapatan per kapita lebih tinggi dari Indonesia. Ketiga, pemerintah diminta mengecek kembali seberapa banyak penggunaan pertalite dan solar subsidi mengingat berdasarkan survei KSPI, pengguna pertalite adalah masyarakat kelas menengah ke bawah. Keempat, ongkos transportasi umum akan naik hingga 40% jika harga pertalite dan solar naik.   



Kenaikan harga BBM subsidi dianggap sebagai dampak dari program subsidi salah sasaran. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa negara telah mengalokasikan dana subsidi dan kompensasi BBM sebesar Rp502,4 triliun dan berpotensi ditambah Rp195 triliun. Menurutnya, dana tersebut masih belum tepat sasaran dan sebagian besarnya dinikmati oleh orang-orang kaya. Untuk rincian bantuan subsidi sendiri terbagi menjadi konsumsi untuk rumah tangga dan dunia usaha. Konsumsi rumah tangga terdiri dari konsumsi oleh rumah tangga mampu dan rumah tangga tidak mampu. Subsidi solar yang telah mencapai Rp149 triliun dan total 11% dinikmati rumah tangga ternyata hanya 5% yang dinikmati oleh rumah tangga tidak mampu sedangkan subsidi pertalite dari total 86% yang dinikmati rumah tangga hanya 20% yang dinikmati rumah tangga tidak mampu.



Oleh karenanya, pemerintah mengambil langkah untuk tetap menjaga APBN sebagai shock absorber. Pemerintah telah menyiapkan beberapa langkah untuk mengantisipasi dampak kenaikan harga BBM subsidi yakni salah satunya dengan memberi Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada masyarakat. Jika ditelisik lebih jauh maka sebenarnya BLT bukanlah solusi yang solutif karena selain berakibat pada pembengkakan dana APBN juga rawan terjadi korupsi BLT hingga data masyarakat miskin yang tidak valid. Belajar dari BLT yang diluncurkan untuk kebijakan Covid-19 yang telah banyak dialokasikan namun banyak pula BLT yang tidak tepat sasaran. Menurut Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah yang mengatakan sebaiknya pemerintah mengalokasikan anggaran BLT untuk penambahan subsidi energi saja sehingga kenaikan harga BBM subsidi tidak perlu dilakukan. Jika pemerintah sudah menyadari bahwa bantuan lewat pemberian dana langsung kepada masyarakat sering salah sasaran lalu mengapa harus menempuh jalan itu lagi, sama saja seperti masuk ke dalam lubang yang sama untuk kedua kalinya. Lagipula bantuan semacam ini hanya diperuntukkan untuk kalangan masyarakat yang diklasifikasikan sendiri oleh pemerintah sebagai masyarakat tidak mampu padahal hak subsidi sebenarnya adalah untuk semua lapisan masyarakat bukan yang masuk kategori oleh negara saja.  



Beginilah hasil dari sistem yang dianut oleh negara yakni sistem kapitalisme, dimana hak rakyat untuk mendapat subsidi dianggap beban oleh negara. Doktrin ideologi kapitalisme mengajarkan bahwa negara menyerahkan kegiatan ekonomi sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Salah satu dampak yang khas yakni adanya liberalisasi migas dimana swasta dilegalkan untuk menguasai dan mengendalikan SDA secara personal termasuk juga migas. Padahal migas adalah salah satu kekayaan alam yang seharusnya dinikmati bersama, namun dalam sistem kapitalisme hubungan antara negara dengan rakyat tak ayal seperti hubungan penjual dengan pembeli. Rakyat dibebankan harga sekian rupiah untuk sekedar mendapatkan BBM yang memang merupakan haknya. Sangat jauh berbeda antara pemerintahan sistem kapitalisme jika dibandingkan dengan sistem pemerintahan dalam Islam. Sistem Islam tidak akan membiarkan SDA diprivatisasi oleh swasta sebagaimana dalam sistem kapitalis, karena bersandar pada sabda Rasul Shallallahu 'Alayhi wa Sallam: " manusia berserikat (punya andil) dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput, dan api" (HR.a Abu Dawud). Tambang migas termasuk kedalamya. Migas termasuk kedalam kekayan umum yang tidak bisa langsung dinikmati karena pengelolaannya membutuhkan biaya yang besar, alat yang canggih serta tenaga yang profesional. Untuk itu negara yang akan mengambil peran dalam proses pengeloalannya sehingga ketika migas tersebut telah menjadi barang jadi yang siap pakai barulah diberikan kepada rakyat dengan harga yang terjangkau karena rakyat hanya dibebani biaya produksi saja. Dengan cara yang sama juga akan diberlakukan hal serupa terhadap semua kebutuhan rakyat sehingga tak ada lagi rakyat yang tidak terpenuhi kebutuhannya dengan alasan harga jual yang sangat tinggi seperti hari ini.        


Wallahu'allam bi As-shawwab     



Post a Comment

Previous Post Next Post