Kemiskinan dan Solusi Perut lapar


Oleh Nazwa Hasna Humaira
Pelajar dan aktivis Dakwah

Mi instan adalah makanan yang banyak digemari masyarakat Indonesia, karena harganya murah, mengenyangkan, dan penyajiannya praktis. Walaupun begitu, terlalu banyak mengkonsumsinya tentu tidak baik bagi kesehatan. Bila terlalu sering akan menyebabkan terjadinya berbagai penyakit yang menyerang di dalam tubuh kita. Seorang dokter ahli kanker, dr. Denny Handoyo Kirana, menyarankan untuk memakan mi instan hanya 2x dalam sepekan.
 
Namun menurut data, dalam rentang waktu 2020-2021, Kabupaten Bandung menjadi daerah dengan tingkat konsumsi mi instan  tertinggi se-Jawa Barat, yaitu mencapai lebih dari 1-4 bungkus per pekan. (detikjabar.com, 20/08/2022) 

Untuk mengurangi konsumsi pernah diwacanakan mi instan akan naik 3 kali lipat, walaupun akhirnya tidak terealisasi. Mi instan di samping termasuk makanan yang digemari, ada pula yang mengaitkan dengan naiknya tingkat kemiskinan. Ketika harga beras tinggi, belum lagi lauk pauknya, maka mi instan bisa menjadi solusi pengganjal perut yang lapar tanpa memedulikan bahaya yang ditimbulkannya. 

Solusi agar mi instan tidak terlalu banyak dikonsumsi dengan cara menaikkan harga berkali lipat sangatlah tidak tepat. Karena kemiskinanlah yang menjadikan sebagian masyarakat tidak mampu memenuhi kebutuhan perutnya dan keluarga dengan makanan sehat bergizi.
 
Pertanyaannya mengapa kemiskinan terus bertambah? Padahal sumber daya alam begitu melimpah. Tentu saja jawabannya karena Indonesia menerapkan sistem kapitalisme sekular. SDA  yang ada diserahkan pengelolaannya kepada para kapital atau pemilik modal besar, baik asing maupun lokal. Sehingga keuntungan mengalir kepada mereka, sementara rakyat harus membayar mahal, mulai air bersih, gas, bensin, dan kebutuhan lainnya. Belum lagi harus membayar pajak yang sangat memberatkan.

Penyebab kemiskinan selain pengelolaan SDA ala kapitalisme juga ditambah sikap para pemimpin yang abai terhadap kondisi rakyat. Kenaikan BBM beberapa hari lalu, walaupun disampaikan sebagai pilihan pahit, sebenarnya masih ada opsi yang bisa dipilih, andaikan mereka lebih memperhatikan perut masyarakat. Pembangunan IKN dan infrastruktur terus melaju di tengah jeritan warga miskin yang makin kesulitan. Perut lapar masyarakat tidak lebih penting dibanding pembangunan yang dibangga-banggakan.

Berbeda halnya dengan sistem Islam. SDA yang melimpah akan dikelola sesuai ketentuan syariat, yaitu dikelola negara dan hasilnya diperuntukkan untuk kepentingan rakyat. 

Selain itu, pemimpin dalam sistem Islam adalah penanggung jawab penuh seluruh rakyatnya, kaya ataupun miskin, muslim maupun non muslim. Apa yang akan dikonsumsi rakyatnya harus dipastikan halal dan menyehatkan.
 
Seorang pemimpin Islam sangat menyadari bahwasanya pengayoman terhadap rakyatnya kelak akan dimintai pertanggungjawaban dihadapan Allah Swt. Maka, ia akan berusaha keras untuk menunaikan semua kewajiban-kewajibannya terhadap rakyat. Tidak bermewah-mewahan, tidak korupsi, dan tidak menyalahgunakan jabatan untuk memperkaya diri. Sifat terpuji akan terbentuk karena akidah sebagai pijakan, bukan sekuler yang meminggirkan aturan agama. 

Cukuplah firman Allah menjadi pengingat untuk segera kembali kepada aturan Allah yang penuh rahmat.
 
"Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya."
(TQS. Al-A'raf:96) 

Sejarah kegemilangan Islam telah mengabadikan kisah sebagian para pemimpin pemerintahan Islam seperti Umar bin Khattab, Abu Bakar, Umar bin Abdul Aziz, dan masih banyak lagi. Mereka adalah sosok pemimpin yang mendahulukan kepentingan rakyatnya dibanding diri pribadi dan keluarganya. Khalifah Umar bin Khattab melalui pernyataannya, bahwa jika negara dalam keadaan pailit, biarlah dia yang akan merasakan pertama kali kelaparan. Sebaliknya jika negara sejahtera, maka rakyatlah yang terlebih dulu merasakannya. Maa syaa Allah. Tentu saja pemimpin seperti ini sulit ditemukan saat ini.

Di masa Umar bin Abdul Aziz bahkan tidak ditemukan satu orang pun rakyat yang berhak menerima zakat. Zakat dijadikan sebagai tolok ukur bagi kesejahteraan pada waktu itu.

Demikianlah, hanya Islam satu-satunya pilihan yang terbaik bagi umat. Kalau pun sistem ini belum hadir kembali di tengah-tengah masyarakat, hal yang harus dilakukan adalah memperjuangkannya kembali.   

Wallahua'alam bi ash-Shawwab

Post a Comment

Previous Post Next Post