Demokrasi Sistem Ramah Koruptor, Negara Tekor


Oleh Nur Fitriyah Asri
Penulis Opini Bela Islam

"Setiap regulasi adalah pisau bermata dua, bisa jadi objek transaksi dan korupsi." Pangkas regulasi yang membebani masyarakat." (Joko Widodo)
Regulasi adalah seperangkat peraturan (undang-undang) untuk mengendalikan suatu tatanan yang dibuat supaya bebas dari pelanggaran dan harus dipatuhi.

Bagaimana jika undang-undangnya saling kontradiktif? Satu sisi, seruan berantas korupsi hingga ke akarnya. Di sisi lain berikan remisi untuk bebas dari bui. Ironis bukan? Inilah fenomena undang-undang di negara demokrasi.

Pada tanggal 6 September 2022, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham memberikan remisi kepada 23 narapidana kasus korupsi berdasarkan Pasal 19 UU Nomor 22 Tahun 2022. Dalam pasal itu disebutkan bahwa narapidana yang telah memenuhi persyaratan tertentu tanpa terkecuali diberikan sejumlah hak, salah satunya remisi yaitu pengurangan menjalani masa pidana dengan  pembebasan bersyarat sesuai peraturan perundang-undangan.

Persyaratan dimaksud, antara lain tertuang pada Pasal 34 b. Oleh karenanya, Menkumham menegaskan bagi napi koruptor wajib membayar lunas denda dan uang pengganti untuk mendapatkan hak remisi maupun integrasi (pembebasan bersyarat, cuti bersyarat, dan cuti menjelang bebas), kata Koordinator Humas dan Protokol Ditjen Pas, Rika Apriani dalam siaran persnya, Minggu (31/1/2022).

Mereka yang mendapatkan remisi kebebasan bersyarat antara lain: Mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, mantan Jaksa Pinangki Sirna Malasari, mantan hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar, mantan Menteri Agama Suryadharma Ali, dan mantan Gubernur Jambi Zumi Zola. 

Sistem Demokrasi Ramah Terhadap Koruptor

Indonesia Corruption Watch (ICW) ikut menyorot pemberian remisi koruptor yang tidak masuk akal. Contohnya, mantan jaksa Pinangki Sirna Malasari divonis 10 tahun, disunat jadi 4 tahun, kini bebas bersyarat yang baru dua tahun dipenjara. Padahal, terjerat kasus korupsi yang tergolong berat. (Kompas.com, 6/9/2022). 

Ketidakadilan hukum telah dipertontonkan ke publik. Tidak hanya masalah remisi tapi banyak kasus. Di antaranya, kasus Samin Tan pengusaha batubara koruptor yang melarikan diri dan masuk Daftar Pencarian Orang (DPO), pada 19 Juni 2022 diputus bebas.   Brotoseno, eks napi korupsi dibui 5 tahun, sebelumnya menjabat sebagai Kepala Unit V Subdit III Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri. Sudah  korupsi tapi tidak dipecat. Jelas bertentangan dengan Pasal 12 ayat (1) huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian RI (PP 1/2003), telah dijelaskan bahwa anggota Polri yang diberhentikan tidak dengan hormat apalagi dipidana penjara, tidak dapat dipertahankan berada  dalam dinas kepolisian. Hal ini dinilai janggal dan kontradiksi, membuktikan bahwa semangat anti-korupsi di Institusi Polri dinilai sangat buruk.

Ironisnya lagi, eks napi korupsi masih bisa menjadi calon anggota legislatif (caleg) di DPR RI, DPRD pada Pemilu 2024. Hal ini dikarenakan UU Pemilu tidak melarang eks koruptor maju menjadi caleg. Bukan rahasia umum, bahwa biaya politik sangat tinggi, bisa jadi setelah terpilih yang dipikirkan bagaimana bisa balik modal. Faktanya banyak anggota dewan yang terjerat korupsi.

Korupsi Menggurita Rugikan Negara

Indonesia Corruption Watch (ICW) juga melaporkan potensi kerugian keuangan negara akibat korupsi di Indonesia pada tahun 2021 sebesar Rp62,93 triliun. Meningkat 10,9% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Ini menandakan jika pemberantasan korupsi tidak serius dan vonis dari perkara korupsi belum memberikan efek jera pada para pelaku korupsi. Ini terlihat dari potensi kerugian negara yang mencapai Rp62 triliun, tetapi uang pengganti yang diputus hanya sebesar Rp1,4 triliun.

Belum terhitung kerugian akibat dari mega korupsi seperti Surya Darmadi yang mencapai Rp78 triliun, Asabri senilai Rp23 triliun Jiwasraya Rp17 triliun, dan masih banyak lagi. Selain itu ICW menyebut ada 18 kasus korupsi kakap yang belum dituntaskan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Di antaranya: Korupsi Bank Century, Pelindo II, Proyek Hambalang, rekening gendut oknum Jenderal Polisi, Suap Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan lainnya. 

Padahal, setiap perkara dibatasi dengan kadaluwarsa yang tertuang dalam Pasal 78 ayat (1) angka 4 KUHP, "Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup, masa kedaluwarsa adalah delapan belas tahun." Sedangkan sebagian dari kasus-kasus mega korupsi itu mendekati masa kedaluwarsa, ungkap Kurnia Ramadhana, Peneliti ICW Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan. (tirto.id, 12/5/2019)

Semua ini merupakan representatif betapa buruknya hukum akibat negara mengadopsi sekularisme, yakni memisahkan agama dari kehidupan. Sistem ini menafikan agama, sehingga wajar jika menghalalkan segala cara. Wajar pula jika undang-undang yang dihasilkan ibarat pisau bermata dua. Karena dibuat oleh manusia yang bersumber dari akalnya yang terbatas berdasarkan asas manfaat dan hawa nafsunya, bukan atas dasar haram dan halal. Alhasil, hukum yang dihasilkan  ramah bagi penjahat korupsi. Akibatnya korupsi malah menjadi-jadi.
Inilah yang membuat publik geram dan marah. Sebab, korupsi merupakan kejahatan luar biasa ibarat kanker ganas menyerang negeri ini. Akibatnya APBN bocor,  devisit, dan  menyengsarakan rakyat. 

Apalagi korupsi tidak dilakukan secara individu, tapi sudah bersifat sistemik. Bahkan, korupsi sudah masuk ke setiap instansi pemerintah (ekskutif), DPR (legislatif), peradilan (yudikatif), dan juga swasta. Terjadilah kolaborasi korupsi berjamaah. Ini merupakan bukti kongkret bahwa undang-undang yang dihasilkan oleh produk akal manusia sejatinya berasal dari warisan kafir penjajah yakni  sistem demokrasi kapitalis yang menghasilkan kerusakan di semua lini kehidupan.
.
Sebab, demokrasi kapitalisme juga mewariskan paham kebebasan. Akibatnya, bebas berbuat apa saja. Adapun korupsi merupakan salah satu kerusakan akibat kebebasan kepemilikan yang menjadikan manusia rakus dan tamak. (Abdul Qadim Zallum, ad Dimuqrathiyah Nizdam Kufr, 1990) 

Korupsi yang sudah demikian mengakar dan sistemik dilakukan secara berjamaah, tentu tidak akan bisa diberantas kecuali dengan sistemik pula, yakni sistem yang sahih terintegrasi berasal dari Sang Khalik yaitu sistem Islam (khilafah).

Seharusnya sumber hukum mengacu pada Al-Qur'an dan hadis. Sebagaimana firman Allah, "Allah tidak mengambil seorang pun sebagai sekutu-Nya dalam menetapkan hukum." (QS. al-Kahfi [18]: 26)
Oleh karenanya, sistem hukum sekuler demokrasi kapitalis adalah sistem kufur bertentangan dengan Islam harusnya dicampakkan dari muka bumi. Melaksanakan sistem kufur sama dengan melanggengkan penjajahan di negeri ini.

Sistem Islam Solusi Tuntas Korupsi

Islam adalah agama sekaligus ideologi yang mengatur dan memiliki solusi dalam seluruh aspek kehidupan termasuk  perihal korupsi.

Sistem Islam (khilafah) telah terbukti melahirkan individu-individu dan para pemimpin yang beriman dan taat pada Allah dan Rasul-Nya. Sebab, akidah Islam sebagai asasnya. Keimanan inilah yang mencegah rakyat dan pejabat melakukan kemaksiatan termasuk korupsi.

Menurut syariat Islam, setidaknya ada enam langkah untuk pencegahan korupsi yaitu:
Pertama, rekrutmen Sumber Daya Manusia (SDM), melalui seleksi berdasarkan profesionalitas, integritas, serta punya kapabilitas dan berkepribadian Islam. Rasulullah bersabda, " Jika urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya." (HR. Bukhari)

Kedua, sistem penggajian yang layak sehingga tercegah dari korupsi.

Ketiga, kontrol yang ketat. Sebelum dan sesudah menjabat ada penghitungan kekayaan. Oleh karenanya, ada daftar dan catatan kekayaan pejabat dan aparat yang diperbarui dan diaudit secara berkala. Khalifah Umar bin Khaththab pernah menghitung kekayaan para pejabat di awal dan di akhir jabatannya.

Keempat, pemimpin adalah teladan. Sehingga seorang pemimpin memahami bahwa kekuasaan adalah amanah yang harus ditunaikan berdasarkan syarak dan di akhirat akan dimintai pertanggungjawaban. Dengan demikian, perbuatannya senantiasa dalam koridor syarak. Artinya sebagai pemimpin  memberikan teladan yang baik, tentu akan diikuti oleh pejabat dan rakyatnya. Dalam hal ini Khalifah Umar menyita sendiri seekor unta gemuk milik putranya, Abdullah bin Umar, karena kedapatan digembalakan bersama di padang rumput milik Baitul Mal. Hal ini dinilai Khalifah Umar sebagai bentuk penyalahgunaan fasilitas negara.

Kelima, Islam melarang menerima suap dan hadiah bagi aparat negara. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. "Barang siapa yang menjadi pegawai kami dan sudah kami beri gaji, maka apa saja ia ambil diluar itu adalah harta yang curang." (HR. Abu Dawud)
Adapun dalil larangan aparat pemerintah menerima hadiah, adalah sabda Rasulullah saw., "Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kekufuran." (HR. Ahmad)

Keenam, memberi hukuman yang tegas dan setimpal sesuai syariat Islam. Hukuman untuk koruptor masuk kategori ta'zir, hukuman yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Adapun berat ringannya hukuman disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan. Misalnya sanksi yang paling ringan dengan diberikan nasihat atau teguran, sampai hukuman yang paling tegas, yaitu hukuman mati. (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm.78-89)

Demikianlah syariat Islam memberikan solusi tuntas dalam memberantas korupsi sampai seakar-akarnya. Hanya saja untuk penerapannya harus dibarengi dengan penerapan hukum yang lainnya. Hal ini hanya bisa diterapkan oleh sebuah negara Islam, yakni khilafah ala minhajjin nubuwwah. Untuk itu, wajib hukumnya semua umat Islam memperjuangkan tegaknya kembali khilafah. 
Wallahu a'lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post