BBM Naik, Haruskah Masyarakat Diam ?


Oleh. Fani Ratu Rahmani 
(Aktivis Muslimah dan Pendidik PKBM) 

Isu kenaikan BBM telah mencuat mulai dari akhir Agustus lalu. Isu ini pun akhirya direspon oleh puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Kaltim. Mereka menggugat dengan menggelar aksi unjuk rasa penolakan kenaikan harga bahan bakar minya (BBM), Kamis (1/9/2022). 

Unjuk rasa ini dilakukan di Fly Over Jalan Juanda, Kecamatan Samarinda Ulu. Aliansi mahasiswa ini menunjukkan bentuk kepedulian terhadap kesejahteraan rakyat dan juga bentuk pengawasan kepada pemerintah atas kebijakan kenaikan BBM. Terdapat tiga tuntutan yang disuarakan, pertama, menolak kebijakan pemerintah untuk menaikan harga BBM, kedua, mendesak pemerintah agar mencabut kebijakan tarif dasar listrik, dan ketiga meminta pemerintah membuat pansus terhadap mafia migas dan tambang. 

Ketika sudah mulai panas di berbagai daerah dengan isu kenaikan BBM pada tanggal 1 September, ternyata kebijakan ini ketok palu pada Sabtu (3/9). Presiden Jokowi mengumumkan kenaikan harga BBM. Jokowi mengatakan subsidi BBM akan dialihkan untuk bantuan yang lebih tepat sasaran. 

Dalam komentarnya, Jokowi menyampaikan keinginannya agar harga BBM di dalam negeri tetap terjangkau dengan memberikan subsidi. Namun, setelah Ia perhatikan ternyata anggaran subsidi BBM terus naik. Bahkan subsidi seringkali tidak tepat sasaran, ungkapnya. 

Namun, uniknya, justru Pemerintah menaikkan harga BBM saat harga minyak dunia turun. Dan suntikan dana subsidi ternyata tidak sebesar yang disampaikan. Bagaimana rakyatnya tidak menjerit melihat ini semua ? 

Kenaikan harga BBM ini tentu membuat masyarakat protes. Sejak Kamis (6/9) sejumlah elemen masyarakat menggelar demo. Demo penolakan kenaikan harga BBM itu terus berlanjut hingga hari ini di Patung Kuda, Jakarta Pusat. 

Bahkan, Presidium Alumni (PA) 212 bersama sejumlah ormas lainnya akan menggelar demo di Istana Negara, Jakarta. Demo berkaitan dengan kenaikan harga BBM. 

Dalam poster yang tersebar tertulis aksi itu bernama 'Aksi 1209' Akbar Aksi Bela Rakyat. Demo akan berlangsung pada Senin (12/9/2022). Dalam sebaran poster demo itu, terdapat tiga tuntutan, yakni menuntut pemerintah menurunkan harga BBM dan harga lainnya serta menegakkan supremasi hukum. 

Naiknya harga BBM sebenarnya merupakan hal yang niscaya dalam sistem kapitalisme. Sistem ini memposisikan kekayaan alam sebagai komoditas yang bisa dikuasai oleh para pemilik modal, negara pun seolah menjadi pihak yang menguasai, sehingga minyak bumi yang merupakan ciptaan Allah tidak dapat dijangkau umat dengan mudah dan gratis. 

Terlebih, sistem ini telah mencetak pemimpin yang zalim dan tidak berempati pada kondisi umat. Bagaimana mungkin mereka menaikkan BBM yang akan berdampak besar bagi kehidupan masyarakat? Di sisi lain, kehidupan ekonomi umat berada jauh dari kesejahteraan. Dimana hati nurani para pemimpin dalam sistem ini? 

Negara berlepas tangan dalam urusan pelayanan umat. Yang seharusnya negara melayani umat dengan penuh tanggung jawab, mengelola kekayaan alam untuk dinikmati oleh umat, justru menyerahkan pada swasta dan kebijakan global yang menyengsarakan rakyat. Inilah potret nyata negara dalam sistem kapitalisme. Lantas, apakah masyarakat hanya diam dengan berbagai kebijakan yang zalim ini? 

Jawabannya, Rakyat tidak boleh diam. Pada hakikatnya, unjuk rasa atau demonstrasi adalah aktivitas yang dibolehkan dalam ruang demokrasi. Demonstrasi atau unjuk rasa merupakan hal yang pasti terjadi dalam sebuah negara. Sebab, dengan adanya unjuk rasa, maka perubahan menuju perbaikan akan terjadi. Jika masyarakat diam dan legowo dengan kezaliman, sama saja membuka peluang lebih besar terjadi kezaliman lagi. 

Dalam Islam sendiri, istilah unjuk rasa dikenal dengan muhasabah lil hukam. Muhasabah lil hukam merupakan aktivitas yang biasa dilakukan oleh umat Islam dari masa Rasulullah dan para sahabat. Bahkan hal ini merupakan kewajiban seorang muslim ketika melihat kemunkaran dan kezaliman. Muhasabah lil hukam atau aktivitas mengoreksi penguasa merupakan upaya untuk melakukan perbaikan yang tujuannya agar terjadi perbaikan dalam kehidupan bernegara, bukan ditujukan untuk membenci individu penguasanya. 

Fokus Muhasabah lil hukam adalah pada kebijakan, bukan pada personal penguasa. Sebab, aktivitas mengoreksi ini untuk menyelamatkan agar kondisi negeri tidak semakin zalim dan kacau. Kita harus bijak, bahwa ketika ada bagian masyarakat yang menyampaikan kritikan atau masukan asalkan disampaikan secara santun dengan disertai argumen yang jelas dan memiliki solusi yang ditawarkan, maka sebenarnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan. 

Salah satu hadis yang mendorong untuk mengoreksi penguasa, menasihati mereka, adalah hadis dari Tamim al-Dari radhiyallâhu ’anhu bahwa Nabi Muhammad shallallâhu ’alayhi wa sallam bersabda:
«Ø§Ù„دِّينُ النَّصِيحَØ©ُ» 

“Agama itu adalah nasihat.” 

Para sahabat bertanya: “Untuk siapa?” Nabi shallallâhu ’alayhi wa sallam bersabda: 

«Ù„ِÙ„ّÙ‡ِ، ÙˆَÙ„ِÙƒِتَابِÙ‡ِ، ÙˆَÙ„ِرَسُÙˆْÙ„ِÙ‡ِ، ÙˆَÙ„ِØ£َئِÙ…َّØ©ِ المُسْÙ„ِÙ…ِÙŠْÙ†َ، ÙˆَعَامَتِÙ‡ِÙ…ْ» 

“Untuk Allah, kitab suci-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum muslim dan kaum nonmuslim pada umumnya.”(HR. Muslim, Abu Dawud, Ahmad. Lafal Muslim) 

Selain masyarakat melakukan muhasabah lil hukam, maka solusi akhirnya adalah pemerintah harus kembali pada sistem islam. Kita harus meninggalkan sistem kufur kapitalisme ini dan kembali pada aturan Al khaliq Al Mudabbir. Kita mesti menerapkan islam secara kaffah, agar persoalan kenaikan BBM dan harga bahan pokok tidak terulang kembali. Karena hanya islam, satu-satunya aturan yang mampu mengelola urusan umat dengan baik, bahkan membawa umat pada puncak kesejahteraan dan kegemilangan. Wallahu a'lam bish shawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post