Stop Bayar Pajak hanya Ilusi


Oleh :  Marinawati

Pemerintah resmi meluncurkan penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang berlaku mulai 14 Juli 2022. Penggunaan NIK sebagai NPWP tersebut akan ditransisikan sampai dengan 2023, dan berlaku 1 Januari 2024 secara penuh. 
Namun menurut staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo menegaskan, setiap orang pribadi yang memiliki NIK tidak otomatis menjadi wajib pajak dan tidak diharuskan membayar pajak. Yustinus menuturkan dalam Undang-Undang Perpajakan telah mengatur dengan jelas bahwa wajib pajak orang pribadi adalah mereka yang bertempat tinggal di Indonesia dan mempunyai penghasilan melebihi PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) Rp54 juta setahun atau Rp4,5 juta per bulan. Penghasilan di bawah angka tersebut, tentu tidak wajib mendaftarkan diri sebagai wajib pajak.

Menanggapi hal demikian beberapa waktu lalu viral seruan untuk berhenti membayar pajak dengan hastag stop Bayar pajak. Menunjukkan betapa beratnya kondisi masyarakat dengan pungutan ini. Kondisi ekonomi yang sulit dimana harga bahan pokok melejit, beratnya beban membuat rakyat menjerit. Ditambah pada bulan April lalu tarif pajak pertambahan nilai (PPN) naik dari 10% menjadi 11% berdampak pada kenaikan harga berbagai komoditas. Dengan kebijakan ini tentu pengeluaran rakyat semakin bertambah, sedangkan pendapatan "segitu-segitunya", maka wajar jika seruan untuk tidak membayar pajak viral di dunia Maya. Ditambah banyak kasus korupsi yang terjadi sehingga membuat rakyat semakin skeptis terhadap penggunaan dana pajak.

Inilah model negara yang menganut sistem ekonomi kapitalis. Pajak menjadi sumber pendapatan utama negara. Padahal Negera ini memiliki kekayaan alam yang sangat melimpah, tapi justru di serahkan ke asing dengan nilai yang sangat murah. Dalam sistem kapitalisme pajak berlaku selamanya, subjek dan objek pajak akan terus diperluas  hingga tidak ada satu celah yang lolos dari pajak. Kapitalisme menjadikan semua warga negara yang memiliki NIK menjadi wajib pajak dan calon wajib pajak, sehingga mungkin nanti "emak-emak" berdaster yang berjualan online pun akan terkena pajak. Selamanya rakyat akan dikejar pajak, ibarat nyemplung sumur pun akan tetap di kejar pajak. Sehingga stop Bayar pajak itu hanya ilusi.

Kehidupan yang sempit, mungkin inilah yang dirasakan oleh masyarakat saat ini dengan beratnya beban ekonomi. Namun kesempitan ini akan berganti ketika umat mau mengganti sistem kapitalis menjadi sistem Islam. Dimana sistem ekonomi Islam tidak mengenal konsep pajak sebagaimana kapitalisme. Dalam Islam memang ada "dharibah" yang di artikan sebagai pajak, namun konsepnya sangat berbeda dengan konsep pajak dalam sistem kapitalisme. Pertama, dharibah hanya berlaku secara temporal ketika kas negara mengalami kekosongan sedangkan di saat itu ada kebutuhan darurat yang harus segera di tunaikan, barulah dharibah dipungut. Ketika kas negara tidak kosong tidak ada pungutan dharibah. Kedua, dharibah hanya di pungut dari warga negara yang kaya saja tidak kepada seluruh warga negara. Standar kaya dalam Islam sendiri sangat tinggi yakni ketika seluruh kebutuhan dasarnya terpenuhi berupa sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan, juga memiliki harta simpanan yang mencukupi. Inilah keadilan dalam pungutan dharibah.

Lebih dari itu, negara yang menerapkan Islam tidak menjadikan dharibah sebagai pemasukan. Negara akan mengelola kekayaan alam dengan sendiri tidak menyerahkan kepada pihak swasta apalagi asing. Dengan demikian hasilnya akan cukup untuk memakmurkan seluruh rakyat.

Wallahu'alam bish shawaab.

Post a Comment

Previous Post Next Post