Menghentikan Karhutla Butuh Keseriusan Penguasa


By : Fatimatuz Zahro
 (Komunitas Muslimah Rindu Jannah)


Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang terjadi di Provinsi Riau mencapai 1.060,85 hektar. Angka luas Karhutla tersebut dihimpun selama periode Januari hingga Juli 2022.

Hal tersebut diungkapkan oleh Kepala Pelaksana (Karlaksa)  Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPPD) Provinsi Riau, Edy Afrizal Jumat, 5 Agustus 2022.

Edy menyampaikan rekapitulasi luas lahan kejadian Karhutla tersebut tersebar di berbagai kabupaten dan kota di Riau.

Disebutkan Edy, terdapat 12 kabupaten dan kota yang mengalami  Karhutla. Empat kabupaten diantaranya menjadi kawasan paling luas mengalami Karhutla. 

"Rokan hulu (Rohul) 302, 50 hektare, Kampar 139,47 hektare, Bengkalis 136,70 hektare, Rokan Hilir (Rohil) 147 hektare, Pelalawan 113,20 hektare ungkapnya saat dihubungi SELASAR RIAU .

Karhutla juga terjadi di Indragiri Hulu (Inhu) seluas 31,90 hektare, Indragiri hilir (Inhil) 80, 50 hektare, Kuansing 0,50 hektare, Meranti 32,10 hektare, Siak 13,24 hektare, Pekanbaru 13,79 hektare, Dumai 49,95 hektare.

Selama rentang waktu terhitung setengah tahun satu bulan tersebut, Edy menyebutkan kendala yang kerap dihadapi timnya saat melakukan operasi pemadaman titik api dan firespot adalah kondisi alam dan trek lokasi kejadian Karhutla.

"Akses menuju lokasi Karhutla sulit dijangkau tim darat, kondisi angin kencang dan sumber air,"  sebutnya.

Kendati demikian, ada kemajuan yang dirasakan tim satgas selama beroperasi di lapangan bersama masyarakat.  Edy mengaku bahwa kesadaran masyarakat dalam mencegah Karhutla lebih baik dari sebelumnya.

Dengan kondisi itu pula Tim Satgas Karhutla turut melakukan imbauan secara masif kepada masyarakat terkait pencegahan Karhutla.

Disebutkan Edy, salah satu upaya seperti mengingatkan masyarakat dan meningkatkan kewaspadaan terhadap risiko Karhutla.

"Tidak membuka lahan dengan cara membakar dan berhati-hati dalam beraktivitas sehari-hari,  jangan sampai menimbulkan Karhutla," katanya.

Menurutnya, Karhutla tidak selalu diakibatkan oleh faktor kondisi cuaca. Di beberapa kasus Karhutla, lanjutnya disebabkan ulah  manusia.

Sementara itu Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen TNI Suharyanto dalam Rapat Koordinasi Khusus Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan pada Kamis 28 Juli 2022 mengatakan, "BNPB telah menyiapkan beberapa langkah dukungan untuk pengendalian kebakaran hutan dan lahan. 

Sebagai upaya pencegahan BNPB telah membentuk Desa Tangguh Bencana Karhutla serta melakukan edukasi kepada pabrik terkait matigasi Karhutla.

Selain itu BNPB juga mendorong pemerintah daerah untuk melakukan mitigasi jangka panjang berbasis vegetasi.

Problem Sistemis

Karhutla memang membawa dampak kesengsaraan kesehatan dan ekonomi bagi masyarakat hingga hilang nyawa.

Namun tindakan pemerintah dalam mengatasi persoalan Karhutla saat ini tidak menyentuh persoalan mendasar.

Manajer Kajian Kegiatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Boy Even Sembiring pernah mengatakan kebakaran hutan bukan saja ulah manusia tetapi juga ulah negara sebagai pembuat kebijakan.

Even mencontohkan kebijakan ini mencakup pemberian izin yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat dan daerah terkait pemanfaatan lahan pembukaan perkebunan dan berbagai kebijakan yang berimbas pada pembakaran hutan.

Sebagaimana diketahui bahwa ketentuan pasal 51 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2015 malah melegalkan keterlanjutan perkebunan di kawasan hutan bahkan di fungsi lindung dan konservasi.

Karena itulah problem ini problem yang sistemis, yakni akibat penerapan sistem ekonomi kapitalis.

Dalam sistem ekonomi kapitalis hutan dan lahan dipandang sebagai milik negara bukan milik rakyat.

Karena itu negara dipandang berwenang menyerahkannya kepada pihak swasta atau korporasi dalam mengelola dan pemanfaatan hutan dan lahan yang ada.

Tentu saja mindset  korporasi sebagai pemilik modal adalah untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya tanpa mengeluarkan modal yang besar.

Sementara aktivitas pembakaran hutan dalam pembukaan lahan adalah cara termudah dan sesuai target bisnis para korporate.

Karena itu akar persoalannya adalah penerapan sistem kapitalis yang telah membiarkan kaum kapitalis mengeruk untung dari petak umpet kebakaran hutan.

Sementara negara hanya bertindak sebagai regulator yang memuluskan penguasaan lahan oleh para korporate melalui kebijakan negara.

Pengelolaan hutla yang berparadigma sekuler kapitalistik neoliberal rupanya telah menjadi bencana besar.

Dengan dalih mendongkrak pertumbuhan ekonomi, meningkatkan pendapatan dan penciptaan lapangan kerja, pengelolaan mayoritas hutla telah diserahkan kepada korporasi baik lokal maupun multinasional.

Hal ini terjadi sejak orde baru berkuasa. Saat itu pemerintah Indonesia sangat mengakomodasi segala usaha pengelolaan hasil hutan dengan berbagai pemberian konservasi pada korporasi. Misalnya Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hak Pemungutan Hasil Hutan hingga konsensi Hutan Tanaman Industri (HTI).

Sehingga tidak heran sejak 1986 hingga sebelum industri hutan lindung pada 1998, ada sekitar 600 perusahaan yang diberi hak mengelola hutla dengan luas lebih dari 64 juta hektare. Sementara saat ini tersisa 201 perusahaan yang mengelola konsensi seluas 19 juta hektare.

Inilah yang menyebabkan puluhan juta hektare hutla berubah menjadi objek eksploitasi dan kapitalisasi. Korporasi-korporasi itu bergerak di bidang industri kayu, sawit, food estate, pertambangan dan lain-lain. Bahkan terkait proyek IKN banyak perusahaan yang menerima hak membuka hutan untuk kawasan bisnis dan perumahan.

Ganti Paradigma dan Islam Pilihan Solusi

Dilema ini akan terus terjadi ketika negara dan dunia internasional masih dicengkeram paradigma berpikir sekuler kapitalistik neo liberal. Paradigma inilah yang memunculkan sifat-sifat rakus dan nir adab termasuk pada lingkungan yang dampak ekonomi dan sosialnya terbukti sangat besar, serta berjangka panjang.

Terkait hal ini Allah ta'ala telah mengingatkan :
"Dan apabila dikatakan kepada mereka, "Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi mereka menjawab sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan. "Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar." (QS. Al-Baqarah: 11-12).

Oleh karenanya, menyetop kebakaran hutan dan segala jenis problem lingkungan harus dimulai dari perubahan paradigma yakni dengan mencampakkan paradigma sekuler kapitalistik neoliberal dan menggantinya dengan paradigma Islam.

Menurut Islam, manusia diciptakan sebagai hamba sekaligus khalifah pengurus alam. Untuk itu Allah Swt. menurunkan risalah Islam sebagai tuntunan hidup agar tujuan tersebut dapat direalisasikan dan tercipta rahmat bagi seluruh alam.

Salah satunya Islam mengatur soal kepemilikan harta kekayaan dan bagaimana pengelolaannya, termasuk mengatur soal kepemilikan dan pengelolaan hutan dan lahan.

Menurut Islam, hutan dan lahan adalah milik umum, bukan milik individu/milik asing.

Rasulullah saw. bersabda yang artinya: "Kaum muslimin berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput/hutan, air dan api." (HR. Abu Dawud).

Negara adalah pihak yang bertanggung jawab terhadap kelestarian fungsi hutan.

Rasulullah saw. bersabda yang artinya: "Imam adalah ibarat penggembala dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya (rakyatnya)," (HR. Muslim). 

Artinya, apapun alasannya negara haram bertindak sebagai regulator bagi kepentingan korporasi dalam mengelola hutan.

Sebaliknya negara wajib bertanggung jawab langsung dan sepenuhnya dalam pengelolaan fungsi hutan termasuk pemulihan fungsi hutan serta mengantisipasi pemadamannya apabila terbakar.

Selain itu penyerahan pengelolaan hutan tidak diserahkan pada pihak korporasi hingga pembukaan dan pembakaran akan jadi bencana bagi orang-orang yang hal itu diharamkan dalam Islam.

Rasulullah saw. bersabda yang artinya: "Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun membahayakan orang lain." (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).

Hak konsensi tidak dikenal dalam Islam karena pemanfaatan secara istimewa (himmah) hanyalah pada negara dengan tujuan untuk kemaslahatan Islam dan kaum muslimin.

Rasulullah saw. bersabda yang artinya: "Tidak ada himmah (hak pemanfaatan khusus) kecuali bagi Allah dan Rasul-Nya," (HR. Abu Dawud).

Jika ternyata masih kebakaran hutan dan lahan maka wajib segera ditangani oleh pemerintah. Karena pemerintah wajib memperhatikan urusan rakyatnya dan kemaslahatan mereka.

Namun, tentu saja didukung oleh pendidikan untuk membangun kesadaran masyarakat dalam mewujudkan kelestarian hutan dan manfaatnya untuk generasi demi generasi.

Semua ini hanya bisa diwujudkan dalam penerapan secara menyeluruh yaitu melalui penerapan syariah Islam dalam sistem Khilafah Rosyidah yang mengikuti manhaj kenabian.

Wallahu a'lam bishshowab

Post a Comment

Previous Post Next Post