Ketika Muslim Dirundung Perbedaan

Oleh: Ade Damayanti

Anggota Komunitas Muslimah Menulis Depok

 

Dalam keseharian kita sering ditemui masalah yang hingga kini masih jadi sekat-sekat di tengah umat Muslim menjadi polemik yang tak berujung yakni masalah  furu'iyah khilafiyah. Seperti masalah qunut. Sebagian umat Muslim ada yang melaksanakan dan ada juga yang tidak, duduk sejenak sebelum berdiri dari tasyahud dalam shalat, bacaan doa iftitah shalat yang berbeda, pelafazan basmalah dalam shalat  dan masih banyak lagi.

Sebenarnya, masalah tersebut tidak usah diributkan, selama masalah-masalah cabang tersebut didukung oleh dalilnya masing-masing, karena bagaimana pun juga suatu hal yang mustahil bagi seseorang jika ingin menghilangkan perbedaan terkait furu’iyah khilafiyah ini.  Bahkan upaya keras untuk menghapuskan perbedaan tersebut hanya akan menimbulkan perselisihan. Padahal sejatinya dalam Islam perihal khilafiyah ijtihadiyah merupakan sunatullah yang tidak dapat dihindarkan.

Untuk menghindari perselisihan yang menyebabkan ketidakkondusifan maka umat harus dipahamkan bagaimana menyikapi perbedaan-perbedaan tersebut. Umat harus mencontoh para ulama dan orang-orang shalih terdahulu. Dengan cerdas, santun dan legowo mereka menyikapi berbagai perbedaan pendapat terkait masalah furui’yah. Selama perbedaan tersebut tidak menyentuh dimensi akidah dan ibadah pokok.

Di sinilah pentingnya kita mempelajari sejarah terdahulu yang terpercaya, salah satunya untuk mencontoh adab-adab mulia para ulama dan orang-orang shalih terdahulu. Di antaranya, selalu berprasangka baik, tidak fanatik terhadap individu atau golongan, dan menjauhi perdebatan yang sia-sia.

Selain itu satu hal penting lainnya dalam menyikapi masalah furu’iyah khilafiyah yaitu dengan mengetahui dalil-dalil yang terkuat untuk menguatkan pendapat yang dipilih. Sudah saatnya kita tingkatkan level kita menjadi seorang muqallid muttabi’ yaitu orang yang memiliki sebagian ilmu yang diperlukan dalam berijtihad, dan ia bertaklid kepada seorang mujtahid (orang yang memiliki kemampuan dalam melakukan ijtihad) setelah ia mengetahui dalilnya.

Adapun ijtihad itu sendiri secara umum adalah proses menetapkan hukum syariat Islam dengan mencurahkan semua pikiran dan tenaga secara sungguh-sungguh. Jadi, dapat dikatakan bahwa ijtihad merupakan penetapan sumber hukum Islam.

Dengan level mujtahid muttabi' seorang Muslim akan lebih berhati-hati dan bijaksana dalam mengambil keputusan dan menyikapi perbedaan pendapat dalam masalah furu’iyah khilafiyah. Ia akan paham bagaimana suatu ijtihad dikeluarkan, ditetapkan dan difatwakan. Dengan menjadi seorang muqallid muttabi' akan membantunya menghadapi kebingungan jika dihadapkan dengan perbedaan pendapat terkait masalah furu’iyah. 

Namun ia juga tidak boleh merasa dirinya yang paling benar atau bahkan mengklaim dosa terhadap pendapat lain yang tidak sejalan dengan dirinya, selama kedua perbedaan pendapat tersebut sama-sama didukung oleh dalil yang benar dan berasal dari sumber yang terkualifikasi.

Sebagaimana hadits Nabi Saw sebagai berikut

عَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ: أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ

إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ.

Dari Amr ibn al-‘Ash: Bahwa ia mendengar Rasulullah SAWbersabda: “Jika seorang hakim mengadili dan berijtihad dan ternyata ia benar, maka ia mendapat dua pahala, dan jika seorang hakim mengadili dan berijtihad lantas ia salah, baginya satu pahala” (Hadits Sahih Riwayat al-Bukhari no.6805).

Hadits tersebut dapat dimaknai jika seorang mujtahid berijtihad dan benar, maka ia akan mendapatkan dua pahala, namun jika ia ber HYPERLINK "https://risalahmuslim.id/kamus/berijtihad/"ijtihad dan ternyata ijtihadnya salah, maka ia mendapatkan satu pahala bukan dosa.

Maka dari itu setelah kita mengetahui dalil-dalil pendukung yang terkuat, ikuti saja ijtihad yang kita yakini masing-masing, selama ijtihad tersebut berasal dari sumber yang terpercaya. Tak perlu dibingungkan atau mempermasalahkan keyakinan orang lain. Karena ibadah itu berdasarkan keyakinan individu.

Jadi perlu diingat, perbedaan pendapat khususnya masalah furu’iyah itu selamanya akan selalu ada. Dan kerap kali rentan dijadikan ajang untuk memecah belah umat oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Untuk itu pandai-pandailah kita sebagai seorang Muslim dalam menyikapi hal tersebut sebagaimana yang telah penulis paparkan di atas. Karena sejatinya Islam agama yang sangat menghargai perbedaan bahkan menilainya sebagai rahmat dan keluasan khazanah keilmuan. Itulah indahnya Islam.[]

Post a Comment

Previous Post Next Post