Pelegalan Miras juga Bentuk Penistaan Agama


Oleh: Ayu Fitria Hasanah S.Pd
(Pemerhati pendidikan dan sosial politik)
         
Baru-baru ini viral kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Perusahaan Holywings, disebabkan Holywings melalui akun instagram @holywingindonesia mengunggah promosi minuman alkohol yang dinilai mengandung sara. Dalam unggahan tersebut, Holywings menggratiskan satu botol minuman beralkohol atau minuman keras (miras) bagi yang memiliki nama Muhammad dan Maria. Meski unggahan ini telah dihapus dan diganti dengan permohonan maaf, tetapi konfliknya justru semakin memanas. Beberapa Ormas melaporkan ke polisi dan menuntut agar Holywings ditutup serta meminta masalah ini diusut hingga tuntas.
Penggunaan nama Muhammad dan Maria dalam konten promosi miras memamg pantas dinilai sebagai bentuk penistaan agama, sebab jelas mengandung kontroversi atau penghinaan terhadap Rasulullah Muhammad SAW. Dalam ajaran Islam jelas terdapat hukum yang mengharamkan minuman keras yaitu pada surat Al-Baqarah ayat 219 "Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah: "pada keduanya terdapat dosa yang besar". Serta hadist dari Rasulullah "Tidak akan masuk surga orang yang senantiasa minum khamr, diriwayatkan oleh Ahmad (4/399), Al-Hakim (4/146), Ibnu Hibban (5346). Logikanya diantara banyaknya nama, mengapa harus Muhammad dan Maria? Padahal jelas dua nama ini adalah nama orang yang diagungkan, disucikan, dihormati, dan dalam Islam Muhammad adalah nabi yang melarang umatnya meminum miras. Dalam hal ini, jelas bentuk penistaannya adalah karena menggunakan nama Muhammad untuk mempromosikan minuman haram yakni miras. Andaikan digunakan pada minuman lain, misalnya seperti minuman jahe dan susu yang halal dan mengandung banyak manfaat, maka bisa jadi tidak akan berujung pada dugaan penistaan agama, justru sebaliknya, dapat berujung pada keberkahan.
Berdasarkan hal di atas, unsur yang menjadikannya nista atau hina adalah miras itu sendiri. Karena itu, bukan hanya penggunaan nama Muhammad pada konten promosi miras yang harusnya diperkarakan sebagai bentuk penistaan agama, tetapi pelegalan produksi, peredaran dan konsumsi miras itu juga merupakan bentuk penistaan terhadap agama atau ajaran Muhammad. Karena pelegalan miras sama halnya menghalalkan apa yang nabi Muhammad haramkan, bukankah itu sebuah bentuk penistaan? Mengapa kaum muslim marah karena nama nabinya digunakan pada konten promosi miras, tetapi tidak marah dan membiarkan larangan nabinya bebas dilakukan. Berdasarkan hal ini pula, bukankah jelas bahwa peraturan hidup saat ini tidak berdasar pada apa yang datang dari Allah dan Rasulullah, standart halal haram berdasarkan Alquran dan hadist tidak menjadi ukuran dalam peraturan yang ada saat ini. Melainkan peraturan saat ini berdasar pada sesuka manusia, melalui sistem demokrasi yang cara pembuatan hukumnya berdasar pada suara manusia bukan apa yang dikatakan Allah sebagai penciptanya. Sistem demokrasi dan cara pembuatan hukumnya inilah yang menjadi biang kerusakan, masalah yang banyak menjadikan kemaksiatan bebas dilakukan, keharaman menjadi halal. 
Melalui kemaksiatan miras, banyak kerusakan lain yang ditimbulkan diantaranya kekerasan seksual karena mabuk, hilangnya akal sehat sehingga melakukan tindakan-tindakan menyimpang lainnya. Karena itu sudah seharusnya masyarakat kembali kepada aturan hidup yang menjaga akal, jiwa, kehormatan, keamanan manusia, yaitu aturan yang diciptakan oleh Sang Pencipta manusia Allah SWT, Tuhan yang paling tahu atas ciptaanNya. Kembali kepada aturan Islam yang mengatur aktivitas manusia berdasarkan halal haram menurut Allah. Bagi kaum muslim sejatinya tidak ada pilihan selain hidup dalam aturan yang telah Allah berikan, karena hal itu adalah kewajiban. Maka dari itu, ketiadaan aturan Islam dalam realitas kehidupan saat ini adalah bukti panggilan iman untuk berusaha bersama mewujudkan kembali aturan Islam dalam kehidupan kita.

Post a Comment

Previous Post Next Post