GENERASI MUSLIM DI SIMPANG ISU TERORISME : QUO VA DIS?


By : Nisrina Nitisastro

Ada kelu yang menyelinap ketika kita membaca berita tentang anak-anak yang mengadang truk untuk kepentingan konten. Beberapa dari mereka bahkan ada yang kehilangan nyawa akibat tertabrak dan terlindas. Ada rasa pilu yang kian mengiris ketika mendengar puluhan remaja di Tangerang ditangkap polisi kala hendak tawuran. Beberapa dari mereka membawa senjata tajam.
Oh, atau lihatlah ketika seorang pelajar SMP di Magelang diduga melakukan pembunuhan terhadap bayi yang baru dilahirkan. Pacar yang menghamilinya tak bersedia menikahi. Mulut bayi merah itu dibekap selimut hingga tewas. Mayatnya dibungkus dan dimasukkan ke dalam kuali. Kepada neneknya, pelaku yang masih belia mengaku itu adalah darah haid yang menggumpal.
Apa gerangankah yang berkecamuk di benak mereka kala melakukan semua itu? Sebagai orangtua kita jelas prihatin. Namun rasa prihatin kadang tak lebih dari sebuah itikad baik seseorang yang tak mampu berbuat apa-apa…….
Di sisi lain, narasi tentang pemuda di media kini beranjak ke makna yang peyoratif. Pemuda dianggap harus dilindungi dari paham radikalisme. “Penyebaran faham radikalisme saat ini menempatkan pemuda sebagai sasaran,” begitu ucap Kasubdit Kontra Propaganda Direktorat Pencegahan BNPT (www.antaranews.com  23/5). Lebih jauh, Kepala BNPT mengaku memiliki data kampus dan mahasiswa yang terpapar radikalisme. Menurutnya, mahasiswa dan mahasiswi merupakan kelompok yang rentan terhadap ajaran radikalisme  (Tempo.co 25/5).
Tidakkah ini ironi? Yang dihadapi generasi muda saat ini adalah krisis akidah, pemikiran, dan krisis akhlak yang fatal---bayangkan, seorang anak remaja mencegat truk demi konten tanpa memedulikan keselamatan jiwanya---namun yang dipermasalahkan adalah generasi muda terpapar radikalisme. Wacana yang setali tiga uang dengan yang kita rasakan belakangan ini. Rakyat berjibaku dengan harga-harga yang tinggi dan ketidakbecusan penguasa, namun yang selalu dijadikan musuh bersama adalah terorisme. Celakanya, stempel terorisme, radikalisme, atau apapun kita menyebutnya hanya ditempelkan kepada kaum muslim yang berusaha konsisten terhadap ajaran agamanya.
Narasi bahwa pemuda adalah sasaran gerakan radikal diperkuat data beragai pihak. Berdasarkan data Badan Intelijen Negara (BIN) pada 2017, sekitar 39 persen mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi terpapar radikalisme (www.cnnindonesia.com). Survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian yang diketuai Prof. Dr. Bambang Pranowo, pada Oktober 2010 sampai Januari 2011 di Jabodetabek, menyatakan bahwa 50% pelajar menyetujui tindakan radikal. Sebanyak 52,3% siswa setuju dengan kekerasan dalam rangka solidaritas agama. Sebanyak 14,2% siswa membenarkan serangan bom.
Survei The Pew Research Center pada 2015 menyatakan bahwa ada sekitar 4% atau sekitar 10 juta orang Indonesia mendukung ISIS dan sebagian besar adalah kaum muda (www.bbc.com 15/7/19). Dari data program deradikalisasi BNPT Februari 2017 didapatkan bahwa teroris yang ada di LP yang berusia antara 17-34 tahun mencapai 52%. Jika mengacu pada UU No 40/2009 tentang Kepemudaan---yang menyatakan bahwa pemuda adalah mereka yang berusia 16-30 tahun---maka menjadi lumrah jika BNPT menyimpulkan bahwa pemahaman radikal banyak ditemui di kalangan kaum muda.
Melihat paparan data di atas, menilai permasalahan kepemudaan jadi tak sesederhana yang kita bayangkan sebelumnya. Jika ini berkaitan dengan narasi terorisme, maka kita harus mengaitkannya dengan rangkaian strategi kontra radikalisme yang diembuskan di dunia internasional. Setiap narasi kontra radikalisme adalah pemikiran yang harus disikapi oleh setiap muslim dengan kesadaran geopolitis yang diukur dengan ajaran Islam. Kita tidak dapat memisahkan narasi kontra radikalisme dari kondisi geopolitis kaum muslimin saat ini jika hendak mendapatkan gambaran yang utuh.
Setelah menggelontorkan War on Terrorism (WoT) pada 2002 lalu, AS memperlunak narasinya menjadi perlawanan terhadap ekstremisme (Counter Violent Extremism/CVE) yang mendorong keterlibatan komunitas muslim di negeri-negeri berpenduduk mayoritas muslim. Gerakan ini berupaya mengatasi akar penyebab ekstremisme melalui pelibatan aktor di luar pemerintah, yaitu: media sosial, civil society, pemimpin agama, dan pemuda.[1] Implementasinya menggunakan “tangan” PBB dalam bentuk kerangka global
Dalam Sidang Umum PBB Februari 2016, diadopsi Plan of Action to Prevent Violent Extremism (Pan PVE) dengan tujuh program utama, yaitu: (1) Dialog dan Pencegahan Konflik, (2) Memperkuat Tata Pemerintahan yang Baik, Hak Asasi Manusia, dan Supremasi Hukum, (3) Melibatkan Komunitas, (4) Memberdayakan Pemuda, (5) Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan, (6) Pendidikan, Pengembangan Keterampilan dan Fasilitas Lapangan Kerja, (7) Komunikasi Strategis, Internet, dan Media Sosial.
Munculnya elemen pemuda dan komunitas (masyarakat) sudah barang tentu akan membuat rencana PBB ini memiliki daya jangkau yang sangat luas. Dapat dikatakan tidak ada kalangan yang tidak terjangkau oleh program ini.
Sebagaimana yang kita tahu, sebagai anggota masyarakat internasional, Indonesia diwajibkan meratifikasi Pan PVE ke dalam sistem perundang-undangan negeri ini. Bersama empat negara Asia Tenggara lainnya, Thailand, Philipina, dan Malaysia, Indonesia telah berpartisipasi sebagai mitra PROTECT (Preventing Violent Extremism Through Promoting Tolerance and Respect for Diversity). Pada tanggal 6 Januari 2021, Presiden Republik Indonesia telah menandatangani Peraturan Presiden No 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional tentang Mencegah dan Melawan Ekstremisme Kekerasan yang Berujung pada Terorisme (RAN-PE). Dengan kata lain, Indonesia telah meratifikasi Pan PVE ke dalam sistem hukum nasional.
RAN-PE selanjutnya menjadi payung hukum upaya pencegahan dan melawan ekstremisme kekerasan yang mengarah pada terorisme. BNPT melakukan soft approach dengan strategi kontra radikalisme. Strategi ini dijalankan dengan gagasan penanaman nilai-nilai keindonesiaan (kebangsaan) melalui kontra narasi menghidupkan nilai-nilai Pancasila, kontra propaganda membumikan Islam damai, dan menegaskan ideologi Pancasila dan empat pilar.
Opini antiterorisme sendiri gencar dilancarkan AS pasca runtuhnya Uni Soviet 1992. Sebagai sebuah negara adikuasa sekaligus gembong kapitalisme, praktis AS sudah tak lagi menjadikan komunisme sebagai musuh terbesarnya. AS kini memandang Islam politik sebagai rival berikutnya. Karena setelah komunisme, hanya Islam politiklah yang mampu merongrong hegemoninya di negara-negara dunia ketiga yang sebagian besarnya dihuni kaum muslim. Dalam konteks semacam inilah kita mesti memperhatikan keterkaitan antara kondisi generasi muda muslim dengan isu radikalisme dan terorisme. Terlebih, Indonesia merupakan negara muslim terbesar yang kelak di 2045 akan mendapatkan bonus demografi yang luar biasa.
Pemuda yang digadang-gadang akan mampu membawa perubahan itu mestilah menjadi sosok yang tidak berbahaya dalam pandangan AS. Untuk itu, ide formalitas syariat Islam, politik Islam, dan yang sejalan harus dibersihkan dari benak para pemuda muslim. Berbagai label dan stigma dilekatkan kepada mereka yang mencoba menyerukan Islam kaffah dan formalisasi hukum-hukum Islam. Singkatnya, saat ini, pemuda dijadikan kata kunci dalam isu perang melawan terorisme dan ekstremisme.
Maka tidak heran jika AS mendukung para pemimpin muda di Timur Tengah dan Afrika Utara, Afrika sub-Sahara, dan Asia Tenggara untuk ikut serta dalam proyek-proyek keterampilan teknis dan kepemimpinan, bea siswa, dan kesempatan untuk terlibat di masyarakat yang seluruhnya bermuara untuk melawan narasi ekstremisme, mengintegrasikan kembali mantan ektremis kekerasan, dan mempromosikan toleransi dan penyelesaian  tanpa kekerasan. [2]
Saat ini yang tengah terjadi di tengah kita adalah pembajakan potensi pemuda muslim. Kita sama tahu kondisi negeri ini sedang tidak baik-baik saja. Berbagai persoalan terus-menerus menggerus kehidupan kita sebagai sebuah bangsa dan umat. Ketidakmampuan penguasa dalam menangani berbagai persoalan membuat masalah bertambah runyam. Hutang luar negeri yang terus naik, harga pangan yang kian tak realistis, dunia pendidikan yang carut-marut, belum lagi masalah kesehatan dan kriminalitas yang tak lagi bisa dikalkulasi. Dari tangan para pemuda muslimlah diharapkan perbaikan itu muncul. Mereka adalah pemuda yang berani menyodorkan solusi yang berasal dari Islam untuk mengatasi problem multidimensi di negeri ini. Apakah yang dapat disodorkan oleh para pemuda muslim ini jika justru merekalah yang emoh menyuarakan Islam politik dengan alasan radikalisme?
Bagaimana mungkin mereka dapat maju ke garda terdepan jika setiap isu formalisasi Islam selalu dituding radikal dan pembawanya dicap teroris? Bagaimana mungkin mereka akan mampu mengetengahkan Islam sebagai solusi jika mereka hanya fasih bertutur tentang narasi antiterosime? Tanpa disadari mereka telah turut mempropagandakan Islam sebagai biang keladi terorisme sambil turut menari mengikuti tabuhan genderang AS.
Sementara dijauhkan dari konsep Islam kaffah, pada waktu yang sama benak para pemuda muslim ini dikotori pemahaman rusak sekularisme- liberalisme. Tolok ukur perilaku mereka bukan lagi benar-salah dalam timbangan syariat. Halal dan haram tak ada tempat dalam pikiran mereka. Media sosial dan televisi menjelma berhala baru. Sehingga kini kita menyaksikan anak-anak mengadang bus yang tengah melaju kencang dan remaja yang membunuh anak hasil zinanya. Identitas sebagai seorang muslim telah pupus dari jiwa mereka. Konsep bahwa mereka adalah hamba Allah yang kelak akan dihisab sama sekali tak ada di kepala. Mereka sudah gagal dari mula pertama yaitu ketika akidah tak tertancap sempurna.
Bagaimana Seharusnya?
Sudah selayaknya generasi muda muslim menyadari bahwa potensi mereka bak pedang bermata dua. Di satu sisi mereka bisa menjadi agen propaganda antiterorime besutan AS, di sisi lain justru mereka bisa menjadi penyelamat umat dari berbagai krisis yang saat ini terjadi. Keduanya adalah peran politik. Generasi muda muslim tidak boleh alergi terhadap kata “politik”. Mereka harus sadar bahwa politik tidak boleh diletakkan terlalu jauh dari jangkauan karena dapat menyebabkan kelumpuhan dan kematian bagi umat. 
Politik akan bermakna negatif jika kita menyempitkannya menjadi sekadar perebutan kekuasaan dan bagaimana mempertahankannya. Namun politik akan bermakna positif bahkan mulia jika kita mengartikannya sebagai perihal pengurusan berbagai kepentingan masyarakat. Dalam makna kedua inilah seharusnya numenklatur politik diletakkan, karena hanya dengan cara demikian pemuda muslim akan peka dan terbangun kesadaran politiknya. Kesadaran politik ini yang nantinya membuat mereka memahami di mana mereka berdiri dan apa yang dituntut dari mereka.
Sejarah panjang kegemilangan Islam mencatat nama-nama pemuda berkesadaran politik tinggi. Kita mengenal Mush’ab bin Umair r.a. duta Rasulullah yang pertama. Ia baru menginjak …. tahun kala diutus menemui seorang pembesar Habasyah. Di sana pula ia beradu argumentasi dengan para pemuka Quraisy. Mush’ab r.a. tidak akan berhasil mematahkan hujah Quraisy jika ia memiliki kesadaran politik yang rendah. Begitu pun seorang al-Fatih takkan tergerak hatinya untuk menaklukkan Konstantinopel jika ia tak menyadari posisinya yang begitu strategis dalam meninggikan kalimat Allah.
Setidaknya ada tiga komponen penting yang dapat menunjang terbentuknya kesadaran politik pemuda: pertama, ketakwaan individu. Energi takwa yang dimiliki setiap muslim akan menjaga pemikiran dan perbuatan seseorang dari kemaksiatan. Pemuda yang menjadikan akidah sebagai panduan hidup tidak akan mudah galau dalam menentukan sikap karena benar dan salah telah jelas di matanya. Kedua, kontrol masyarakat yang dinamis. Amar makruf nahyi munkar harus menjadi atmosfer kehidupan bermasyarakat. Ketiadaan atmosfer ini akan membuat masyarakat menjadi begitu individualis dan tidak peduli terhadap lingkungannya. Ketiga, Negara sebagai penentu kebijakan. Produk kebijakan negara erat kaitannya dengan pembentukan generasi. Negara harus memiliki visi mengenai generasi macam apa yang dikehendaki dan berupaya mewujudkannya.
Sudah waktunya generasi muda muslim menegakkan punggungnya dan melihat lebih jauh ke depan. Mereka haarus didorong untuk mengenal Islam lebih dalam agar dapat meluaskan pandang. Bukannya malah ditakut-takuti agar tak berbicara tentang Islam dengan alasan radikalisme dan terorisme. Hanya dengan pemahaman Islam yang lurus mereka dapat mengenali jati diri, mengenali potensi, dan menentukan peran strategis apa yang harus diambil. Pilihan selalu ada, dengan berpegang pada Islam mereka takkan mau dijadikan corong AS memerangi muslim dengan wacana terorisme; sebagaimana mereka juga tak mau melakukan perbuatan sia-sia mengadang truk yang melaju kencang. 
وَلْيَخْشَ الَّذِيْنَ لَوْ تَرَكُوْا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعٰفًا خَافُوْا عَلَيْهِمْۖ فَلْيَتَّقُوا اللّٰهَ وَلْيَقُوْلُوْا قَوْلًا سَدِيْدًا

Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar.

*Penulis adalah konsultan hukum, pemerhati dunia remaja, tinggal di Tangerang.
1] https://obamawhitehouse-archives-gov.translate.goog/the-press-office/2015/02/18/fact-sheet-white-house-summit-countering-violent-extremism?_x_tr_sl=en&_x_tr_tl=id&_x_tr_hl=id&_x_tr_pto=sc
2] opcit.

Post a Comment

Previous Post Next Post