Ada Apa dengan Fenomena CFW?


Oleh Yuli Ummu Raihan
Penggiat Literasi

Citayam Fashion Week (CFW) akhir-akhir ini menjadi perbincangan publik. Sebuah fenomena komunitas anak-anak yang berkumpul (nongkrong) di wilayah Dukuh Atas atau yang dikenal dengan kawasan Sudirman Central Business District (SCBD) yang berasal dari wilayah pinggiran ibukota seperti Citayam, Bojonggede Depok, dan sekitarnya. 

Awalnya healing ala anak pinggiran ibukota dengan biaya minimalis ini sekadar aktivitas datang, duduk, foto-foto, bikin konten, dan jajan serta aktivitas remaja pada umumnya. Komunitas ini menjadi viral sejak video Tiktok dari akun bernama Bara mewawancarai sepasang muda-mudi bernama Nadia dan Tegar. Video Tiktok ini menjadi FYP (viral) dan banyak diparodikan oleh konten kreator lainnya termasuk para selebritis. 

Sebuah fenomena yang biasa, bahkan sempat dicibir norak tersebut akhirnya menjadi pusat perhatian dan rebutan panggung oleh banyak pihak. Bahkan kini menjadi pemberitaan berbagai media dalam  hingga luar negeri. Sepasang selebritis yang juga konten kreator bahkan telah mendaftarkan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) untuk CFW ini. Namun hal ini menimbulkan banyak kriktik dari berbagai pihak karena dianggap bukan hak mereka. 

Realitas darah muda yang sedang galau mencari jati diri dan haus perhatian ini telah membuka mata kita semua. CFW ibarat magnet yang menarik perhatian banyak pihak dan menyebarkan pengaruh sangat cepat kepada masyarakat baik rakyat biasa, publik figur, hingga pejabat. 
Mereka antusias dalam pagelaran ini dan membuat konten dengan berbagai motif seperti eksistensi diri, ekonomi, dan lainnya. 

Pro dan Kontra CFW

Munculnya fenomena CFW tidak terlepas dari pro dan kontra di masyarakat. Mereka yang pro menilai ini adalah bentuk penyaluran kreativitas remaja, ajang silaturahmi, dan diharapkan bisa menjadi sarana penyaluran aspirasi dan bakat anak muda. CFW juga diharapkan bisa menjadi sarana promosi produk lokal, UMKM dan bisa mengangkat pariwisata perkotaan yang nantinya bisa jadi contoh untuk daerah lain. 

Gubernur DKI Jakarta, Anis Baswedan mengapresiasi fenomena CFW ini dengan sengaja menyambangi SCBD dan berinteraksi serta membuat konten di sana. Menurutnya Jalan Sudirman kini bisa dinikmati semua orang, tidak hanya warga ibukota. 

Sementara pihak yang kontra menganggap ajang CFW ini mengganggu kenyamanan publik, khususnya masyarakat yang beraktivitas dan tinggal di sekitar kawasan itu. Jalanan menjadi macet karena ramainya pengunjung, terlebih ajang fashion show yang diadakan di jalan utama berakibat pada kemacetan. 

Masalah lain adalah kebersihan dan keindahan tata kota di sekitar ajang ini. Banyaknya pengunjung berimbas pada berserakannya sampah yang tentu menimbulkan ketidaknyamanan. 

Ajang yang menampilkan berbagai ekspresi kaum muda ini juga rentan akan perilaku menyimpang, seperti LGBT. Sangat banyak dijumpai laki-laki yang berpenampilan perempuan dan sebaliknya. Busana kurang bahan atau sengaja tampil mencolok (aneh) agar menarik perhatian dan menjadi viral. Semua ini seperti sebuah kepuasan untuk mereka. Belum lagi dengan norma kesopanan dan agama tentu banyak yang dilanggar. Mereka menghabiskan banyak waktu, biaya, untuk hal-hal yang unfaedah. Tidak ada yang tau pasti apakah mereka masih menyandang status pelajar atau mayoritas putus sekolah. Bahkan dalam sebuah wawancara seseorang dari mereka menolak ketika diberikan beasiswa pendidikan karena lebih memilih menjadi konten kreator. 

Dengan banyaknya keresahan yang ditimbulkan oleh ajang ini, maka Polsek Metro Menteng melakukan penutupan CFW pada Senin, 25 Juli 2022 petang. Menurut AKBP Netty Rosdiana, Kapolsek Metro Menteng, sejak diadakan CFW, tingkat kriminalitas di daerah itu meningkat khususnya kasus pencurian motor dan ponsel. (Wartakotalive.com, 27/7/2022) 

Generasi dalam Jeratan Liberalisme dan Kapitalisme

Fenomena CFW dan permasalahan yang ditimbulkan telah menambah panjang masalah pemuda di negeri ini. Mereka kehilangan visi hidup dan pegangan moral sehingga menjadi generasi labil, latah, caper, tidak punya tujuan hidup, serba instan. Mereka tidak mau berlelah-lelah menjalani proses agar bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Mereka tumbuh menjadi generasi yang kurang bertanggungjawab terhadap diri, keluarga, masyarakat apalagi negara. 

Mereka dijerat oleh arus liberalisasi berupa pergaulan bebas, budaya hedonisme, bahkan disibukkan dengan aktivitas seputar food, fashion, fun, seks, song, dan sport. Mereka mengekspresikan diri dengan berbagai gaya sebagai bentuk penyaluran naluri eksistensi diri. 

Menurut sosiolog dari Universitas Indonesia, Hari Nugroho, fenomena CFW ini merupakan tren yang muncul akibat ketiadaan ruang publik bagi remaja di daerah. 

Mereka juga menjadi korban dari media sosial yang sangat vulgar membahas gaya hidup kapitalis. Betapa banyak selebritis atau konten kreator yang memamerkan gaya hidup hedon mulai dari aksesoris, pakaian, kendaraan, tempat tinggal, liburan dan lainnya. Keterbatasan ekonomi membuat mereka bekreasi agar bisa tampil eksis juga meski dengan budget seadanya. 

Paradigma sekuler kapitalis menjadikan potensi pemuda lebih dinilai dari aspek ekonomi. Program-program pemberdayaan pemuda yang dideraskan juga sekadar fokus para peran mereka dalam aspek perekonomian.

Di sisi lain, sistem pendidikan yang ada didesain untuk menunjang hal ini. Sehingga output pendidikan lebih mementingkan keterlibatan dalam sektor ekonomi. Pendidikan vokasional dan pelatihan kewirausahaan kini semakin digencarkan. Apalagi saat ini, dengan kurikulum merdeka belajar, hanya ditujukan untuk menciptakan generasi produktif dan memiliki daya saing serta kemandirian di bidang ekonomi semata. 

Nilai moral dan agama semakin dijauhkan dari dunia pendidikan. Program moderasi agama juga semakin mengokohkan sistem sekuler kapitalis. Akibatnya, muncul berbagai permasalahan di negeri ini dan solusi yang ditawarkan hanya bersifat tambal sulam

Sungguh kita tidak rela jika potensi pemuda di negeri ini terus dibajak oleh sistem rusak ini. Akan jadi apakah negeri ini sepuluh atau dua puluh tahun lagi? 

Pandangan Islam untuk Generasi Muda

Pemuda dalam Islam adalah aset berharga. Mereka adalah pemegang estafet kepemimpinan di masa yang akan datang. Oleh karena itu Islam sangat memerhatikan masalah pemuda ini. Islam telah mengatur segala hal agar lahir pemuda-pemuda cemerlang yang akan menjadi mutiara umat. Dari pemilihan calon pasangan (suami dan istri) ketika akan masuk ke gerbang rumah tangga, Islam sangat menekankan faktor agama sebagai fokus utama di samping faktor lain seperti keturunan, kecantikan, kekayaan dan lainnya. Islam juga mengatur pergaulan suami-istri, pengasuhan anak, penafkahan, sistem pendidikan, dan pergaulan di tengah masyarakat. Setiap individu akan berusaha mencetak generasi terbaik, masyarakat saling beramar makruf nahi mungkar, serta ada peran negara yang besar. 

Negara akan menjamin kebutuhan pokok setiap individu, di antaranya pendidikan. Dengan begitu tidak akan ada anak-anak yang tidak mengenyam bangku sekolah dan berkeliaran di jalan serta menghabiskan waktu dengan hal sia-sia. 

Pendidikan juga dirancang sedemikian rupa agar menghasillan output yang faqih fiddin dan mahir dalam berbagai bidang. 

Generasi muda akan mendapatkan penyaluran terbaik atas bakat dan kemampuan mereka karena difasilitasi penuh oleh negara. 

Negara juga akan menindak tegas segala hal yang bertentangan dengan syarak seperti LGBT, pergaulan bebas, dan kemaksiatan lainnya. 

Semua ini hanya bisa kita dapatkan tatkala aturan Islam diterapkan secara kafah dalam segala aspek kehidupan. Wallahu a'lam bishawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post