Bansos Salah Sasaran Rugi Triliunan, Diembat Pejabat?


Oleh Nur Fitriyah Asri
Penulis Opini Bela Islam AMK

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam laporan pemeriksaan semester II tahun 2021, mengungkap adanya Bantuan Sosial (Bansos) yang seharusnya menjadi jaring pengaman masyarakat saat pandemi, banyak yang salah sasaran. Negara terancam rugi Rp6,93 triliun.

Ada tiga jenis bantuan sosial di era Jokowi yang salah sasaran dalam penyalurannya. Berdasarkan laporan BPK, disebutkan penetapan dan penyaluran bansos yang tidak sesuai ketentuan, yakni Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan NonTunai (BPNT), dan Bantuan Sosial Tunai (BST). Hal ini yang menyebabkan negara terancam rugi hingga Rp6,93 triliun. (Kompas.com, 26/5/2022)

Sementara, mencuat dugaan korupsi bansos di tubuh Kemenag sebesar Rp2,5 triliun atas korupsi dana Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) untuk pesantren dan lembaga pendidikan Islam pada tahun anggaran 2020. Temuan kasus dugaan korupsi BOP disampaikan oleh Center For Buget Analysis (CBA) meminta KPK untuk melakukan penyelidikan.

Berdasarkan laporan Kemenag bahwa bansos program BOP yang mendapatkan kucuran dana sejumlah 21.173 pondok pesantren (ponpes). Terdiri dari 14.906 ponpes kecil, 4.032 ponpes sedang, dan 2.235 ponpes besar. Selain itu, 62.514 madrasah diniyah dan 112.08 lembaga pendidikan Al-Qur'an. Untuk pesantren rata-rata dikucurkan bantuan Rp25 juta hingga Rp50 juta. Sedangkan madrasah dan lembaga pendidikan antara Rp10 juta hingga Rp50 juta.

Terjadinya dugaan korupsi BOP dengan cara pembuatan pesantren fiktif, bantuan tidak tepat sasaran, dan program yang diduga dimanfaatkan untuk kepentingan kampanye. (MonitorIndonesia.com, 31/5/2022)

Korupsi di tubuh Kemenag tidak hanya terjadi sekali. Inilah yang bikin kaget publik dan menimbulkan pertanyaan, kok bisa-bisanya lembaga yang berkutat mengurusi keagamaan menjadi sarang korupsi.

Tidak bisa dimungkiri penyebabnya adalah masalah klise yang terjadi secara berulang dari pihak pemerintah terkait integrasi data. Ketidaksesuaian data disebabkan karena tidak terintegrasi nomor induk kependudukan dengan KTP. Selain itu, masalah identitas kependudukan yang tidak valid. Hal ini disebabkan karena pendataan data yang amburadul tidak sesuai dengan petunjuk. Sistem KKN (kolusi-korupsi-nepotisme) masih menggurita, akibatnya sanak saudara, kerabat, orang-orang terdekat yang berpenghasilan di atas UMR diberikan bantuan. PNS yang masih aktif, maupun orang-orang yang meninggal dunia masih didata dan dilaporkan. Hal ini menunjukkan lemahnya proses verifikasi dan validasi data yang dilakukan negara. Selain itu, praktik penyelewengan dana bansos, BOP, dan bantuan insentif lainnya yang terjadi di lembaga pemerintahan hingga di level bawah disebabkan karena mental para petugas sudah bobrok.

Akar masalah semua itu karena sekularisme yang diadopsi negeri ini, yakni sistem yang memisahkan agama dari kehidupan. Artinya, sistem ini mencampakkan aturan-aturan Allah. Wajar, jika demokrasi-sekuler melahirkan pemimpin, para pejabat, dan petugas yang jauh dari agamanya. Akibatnya, berlaku zalim, tamak, rakus, dan keji. Karena tolok ukur perbuatannya bukan berdasarkan haram dan halal, melainkan berdasarkan manfaat dan hawa nafsunya. Hal ini diperparah dengan filosofi kedaulatan berada di tangan rakyat. Artinya, yang berhak membuat hukum adalah rakyat yang diwakili oleh wakil rakyat (legislatif). Hal yang lumrah, jika hukum berpihak pada oligarki untuk balas budi saat pemilu. Besarnya ongkos pemilu membuat para penguasa atau pejabat yang dipikirkan adalah bagaimana cara balik modal (mengembalikan modal). Jalan pintas pun diambil yakni dengan korupsi, memanipulasi data, dan lainnya. Apalagi ditopang dengan pilar kebebasan, sehingga semua cara dihalalkan guna mendapatkan materi sebanyak-banyaknya. Kemudian muncullah paradigma hubungan rakyat dengan penguasa tidak lebih dari hubungan bisnis belaka.

Alhasil, penguasa bukan pengurus urusan umat. Justru sebaliknya, sering kali rakyat dijadikan obyek eksploitasi untuk memperoleh keuntungan. Seperti pada kasus perpajakan, BPJS, dan lainnya rakyat dijadikan sapi perah. Negara tidak serius memberikan bantuan kepada rakyatnya, atau memberikan bantuan hanya sekadar untuk pemanis saja. Faktanya, dana bansos dan BOP ikut diembat melalui korupsi pejabat. Tidak heran jika harta kekayaan pejabat di masa pandemi Covid mengalami peningkatan luar biasa. KPK mengungkapkan sebanyak 70,3 persen harta kekayaan pejabat melejit setahun terakhir pada masa pandemi Covid-19 di tengah ekonomi rakyat yang sulit, menurut LHKPN Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara. (Suara.com, 22/4/2022)

Mirisnya lagi, distribusi bansos dan BOP, di samping dikorupsi, digunakan untuk membangun citra positif penguasa dan partai pengusungnya untuk dana pemilu. Inilah lingkaran setan terjadinya korupsi yang sulit diputus atau dihentikan dalam sistem demokrasi. Pemilu adalah pintu masuk terjadinya kongkalikong politik uang di antara calon penguasa (pejabat), pengusaha, dan rakyat.

Masihkah percaya pada sistem demokrasi yang notabene bertentangan dengan Islam? Padahal yang berhak membuat hukum adalah Allah Swt. (QS. al-An'am [6]: 57). Oleh sebab itu, demokrasi-sekuler adalah sistem yang rusak dan merusak, karena menjauhkan individu dari agamanya. Karenanya, menghasilkan pemimpin yang tidak amanah, zalim, tamak, dan rakus. 

Islam Solusinya

Islam adalah agama yang sempurna  mengatur semua lini kehidupan dengan Al-Qur'an dan hadis, termasuk pemenuhan kebutuhan dasar rakyatnya.

Islam mewajibkan pada penguasa (khalifah) sebagai pelaksana syariat Islam, yakni mengatur urusan umat dengan hukum-hukum Allah Swt. Karenanya akidah Islam sebagai dasarnya. Dengan demikian, semua umat Islam tidak terkecuali para penguasa dan pejabat didorong memiliki akidah Islam yang kuat dan senantiasa mengikatkan diri pada syariat Islam. 

Dalam Islam, jabatan adalah sebuah amanah yang nantinya dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Oleh sebab itu, seorang khalifah bersungguh-sungguh dalam melaksanakan amanah. Islam mewajibkan khalifah untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya seperti pangan, sandang, dan papan melalui mekanisme yang jelas. Dengan cara, seorang khalifah memberikan pekerjaan kepada kepala keluarga agar dapat bekerja untuk memenuhi kebutuhannya. Dalam hal ini, negara harus menyediakan lapangan pekerjaan seluas-luasnya bagi rakyatnya.

Dengan menerapkan sistem ekonomi Islam, negara akan mampu mengelola sumber daya alam (SDA) yang melimpah-ruah untuk kesejahteraan rakyatnya. Dengan demikian, baik kebutuhan dasar (pangan, sandang, papan) dan kebutuhan  publik seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan menjadi tanggung jawab negara (khilafah) akan terpenuhi.

Dengan adanya struktur negara yakni baitulmal, pemasukan dan pengeluaran diatur sesuai syariat Islam. Sehingga akan memberikan solusi bagi negara dalam berbagai keadaan seperti banjir, wabah, paceklik, bencana alam, dan lainnya.

Inilah gambaran Islam menempatkan rakyatnya bukan sebagai sapi perah, melainkan penguasa sebagai pelayan rakyatnya, sebagaimana sabda Rasulullah saw. 

"Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka." (HR. Abu Nu'aim)

Jadi, Islam menjadikan kepemimpinan sebagai periayah (pengurus) urusan rakyat. Seorang pemimpin yang amanah tidak akan berani membebani rakyat dengan beban sekecil apa pun. Hanya dalam sistem khilafah akan lahir pemimpin amanah yang menyejahterakan rakyatnya. Saatnya kita tegakkan kembali khilafah ala minhajjin nubuwwah.

Allah Swt. berfirman:

فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ

“Putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepada kamu.” (QS. al-Maidah [5]: 48)

Wallahua'lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post