Ukraina, Medan Persaingan Negara Adidaya


Oleh: Fatma Jamil

Aktivis Muslimah

 

Jika kita cermati, sejatinya Ukraina telah lama menjadi medan persaingan bagi negara-negara adidaya. Tidak hanya Rusia, Amerika dengan Uni Eropa, bahkan Cina sebagai sekutu politik dan ekonomi Rusia. Dari sisi geostrategi, Ukraina memang memiliki wilayah terbesar kedua di Eropa setelah Rusia. Posisinya berada di Eropa Timur bagian tengah, bersisian dengan Laut Hitam dan Laut Avoz, serta beberapa negara Eropa Timur lainnya seperti Polandia, Slovakia, Hongaria, Belarus, Rumania, dan Moldova.

Ternyata, Ukraina bagi Rusia merupakan benteng, sekaligus garda terdepan yang bisa melindunginya dari ancaman Uni Eropa dan NATO (AS). Apalagi saat dalam pangkuan Soviet, Ukraina menjadi gudang penyimpanan nuklir terbesar setelah Rusia. Dari sisi ekonomi, Ukraina memiliki kekayaan alam yang melimpah ruah dan posisinya sebagai jalur pipa gas ke Eropa, sehingga Rusia begitu serius mempertahankan pengaruhnya di sana.

Itulah sebabnya Ukraina menjadi incaran Amerika yang masih berposisi sebagai negara pertama dan menginginkan pengaruhnya tetap kokoh di kawasan Eurasia. Apalagi sebelumnya Rusia diketahui bekerja sama dengan Cina menggoyah kekuatan ekonomi Amerika. Rusia membuka wilayahnya untuk proyek jalur sutra dan menggunakan uang lokal dalam perdagangan di antara keduanya. Namun, Amerika berusaha mencegah pengaruh Rusia dengan cara mendekati dan memanfaatkan Ukraina dengan menggelontorkan dana untuk membantu ekonomi dan militer, serta mendorong demokratisasi di Ukraina. Oleh karenanya, Ukraina lebih dekat kepada Amerika dan aliansi-aliansinya.

Dalam analisisnya Syekh ‘Atha’ Abu Rasytah menyebutkan, Amerika cenderung terus memanaskan situasi di Ukraina agar menjadi jebakan tersendiri bagi Rusia. Ia menyebutkan sejak sebelum KTT, Amerika secara halus mengancam Rusia dengan sanksi yang tidak terbayangkan sebelumnya, yakni pemotongan jalur pipa gas ke Jerman yang bersekutu dengan Amerika. Juga memotong jalur pengiriman uang dari bank-bank utama Rusia ke luar Rusia.

Rusia pun seperti kehilangan akal sehatnya. Ia justru mengambil risiko besar menyerang Ukraina. Sebuah keputusan yang diprediksi akan merugikan Rusia dan justru diinginkan Amerika. Selain akan menguras biaya dan energi, situasi ini akan mudah dimanfaatkan Amerika melalui NATO untuk membawa kembali Uni Eropa ke dalam jubahnya dengan dalih melawan agresi Rusia. Amerika juga bisa menekan Rusia mengurangi hubungan baiknya dengan Cina yang kini sedang menjadi ancaman bagi ekonomi Amerika.

Perilaku negara adidaya memang demikian. Mereka terus bersaing demi merebut posisi negara pertama dan berebut kekayaan alam di negeri-negeri lainnya. Inilah akibat dari ideologi kapitalisme yang merasuki tubuh mereka yang meniscayakan melakukan segala cara, termasuk menciptakan perang yang memunculkan penderitaan bagi rakyat tidak berdosa.

Krisis Ukraina tentu bukan yang pertama. Konflik-konflik yang terjadi Timur Tengah, Afrika, Asia Tengah, dan Asia Tenggara dari masa ke masa selalu saja melibatkan mereka, meskipun tentu saja aktornya bisa berubah tergantung kuat lemahnya posisi politik mereka di kancah internasional.

Sejak selesai Perang Dunia Kedua, Amerika berhasil menggeser kedudukan Inggris dan negara-negara Eropa. Dan bersama Uni Soviet mengendalikan dunia dalam dua blok yang saling bertentangan dan menciptakan ketakutan secara global.

Namun, sejak Soviet runtuh, Amerika tampil sebagai penguasa tunggal. Negara-negara lainnya, terbagi menjadi negara satelit atau pengekor yang siap mendukung keinginannya. Adapun Rusia, tetap berusaha membangun kekuasaan, setidaknya di negara-negara bekas jajahan Uni Soviet yang diklaim telah diwarisinya, bersama dengan negara-negara yang bisa diajak kerja sama.

Mereka berusaha memengaruhi dunia dengan berbagai cara. Seperti mengikat dengan berbagai perjanjian. Targetnya menjadikan negeri-negeri lemah namun kaya, sebagai jajahan yang mengabdi pada kepentingan politik ekonomi mereka. Mereka pun tidak jarang menciptakan berbagai perang dan meneror dunia dengan ketakutan. Perang Ukraina salah satunya.

Berbagai kecaman terkait krisis Ukraina datang dari para pemimpin negari Islam se dunia, tak ketinggalan Indonesia juga. Tapi mereka lebih tak bisa berbuat apa-apa hanya diam saja dan mencari posisi aman. Seperti halnya Indonesia hanya bisa mengecam invasi Rusia ke Ukraina.

Semestinya para pemimpin Muslim merujuk pada ajaran Islam. Meski Ukraina dan Rusia sama-sama negara kafir dan perang ini tidak ada hubungan langsung dengan umat Islam sehingga haram bagi umat Islam terlibat di dalamnya atau mendukung salah satunya, tapi perang semacam ini serta konspirasi di baliknya akan menjerumuskan dunia, termasuk umat Islam, pada kehancuran.

Seharusnya pemimpin Muslim harus aktif membongkar motif ekonomi-politik negara besar (Rusia dan AS) sekaligus menjelaskan kerusakan ideologi yang mereka emban. Juga perlu menjelaskan bagaimana dampak perang dan ideologi ini bagi masyarakat dunia, khususnya umat Islam.

Tapi, apa yang bisa diharapkan? Tentu tidak. Mereka hanyalah pengekor kepada negara adidaya yang menjadi kaki tangan penjajahan dan penjarahan harta kekayaan milik rakyatnya. Ini semua terjadi akibat kaum Muslim mencampakkan Islam sebagai ideologi negara, dan menerapkan sekularisme kapitalisme yang rusak dan merusak.

Hal ini sangat berbeda kepemimpinan dalam Islam. Dalam Islam (yakni khilafah) bertugas menegakkan kewibawaan Islam dengan menjadikan ideologi Islam satu-satunya asas dalam mengatur seluruh urusan rakyatnya. Khilafah berfungsi sebagai pengurus sekaligus sebagai pelindung bagi rakyatnya.

Negara seperti ini akan memiliki kekuatan menghadapi setiap tantangan dan mampu membangun posisi tawar dalam konstelasi politik internasional. Khilafah bahkan dengan kekuatannya tampil sebagai pemecah masalah dengan kekuatannya akan mampu mencegah kezaliman yang dilakukan oleh negara-negara besar.[]

Post a Comment

Previous Post Next Post