Absurd! Ciri Penceramah Radikal Ala BNPT


Oleh Nur Fitriyah Asri
Penulis Opini Bela Islam AMK

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan sambutan berupa pesan antara lain jangan mengundang penceramah radikal. Larangan tersebut bagi jajaran TNI dan Polri yang disampaikan Jokowi pada pembukaan Rapat Pimpinan TNI-Polri 2022 di Markas Besar TNI pada Selasa (1/3/2022). 

Larangan Jokowi terkait jangan mengundang penceramah radikal, kemudian direspon oleh Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Pol. R. Ahmad Nurwahid, menyebut ada lima ciri penceramah radikal ala BNPT. Tentu, menimbulkan polemik di tengah masyarakat.

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220305154627-12-767166/bnpt-keluarkan-ciri-ciri-penceramah-radikal-usai-sindiran-jokowi

Ciri Penceramah Radikal Ala BNPT, dapat dianalisis sebagai berikut:

Pertama, menurut BNPT penceramah itu mengajarkan anti-Pancasila dan pro terhadap ideologi khilafah transnasional atau yang ingin mendirikan negara Islam. 
Pernyataan ini berbahaya karena bisa dijadikan alat gebuk rezim pada khilafah ajaran Islam dan pengembannya. Adakah pesanan atau skenario di balik itu?

Padahal, oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Ijmak Ulama Komisi Fatwa MUI ke-7, ditegaskan bahwa jihad dan khilafah adalah ajaran Islam. Oleh sebab itu, MUI merekomendasikan pada masyarakat dan pemerintah dilarang menstigma buruk khilafah karena ajaran Islam. Hal tersebut bisa dilihat di buku fikih yang diajarkan di sekolah-sekolah. Misalnya, kitab fikih Islam karangan H. Sulaiman Rasjid, menjelaskan bahwa menegakkan khilafah hukumnya fardu kifayah. Apa buku itu perlu ditarik? Sungguh absurd (tidak masuk akal).

Bagaimana dengan RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) dalam pasal 7, tertuang konsep Trisila dan Ekasila yang menuai polemik di masyarakat. Sebab, memeras Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila jelas sekali itu merongrong Pancasila. Di mana peran Pemerintah dan BNPT, hingga sekarang pun tidak ada tindakan hukum.

Begitu pun juga dengan kebijakan rezim yang tidak pro rakyat, seperti UU Omnibus Law, UU ibu kota negara (IKN), UU Jaminan Hari Tua (JHT), SDA dikuasai asing dan asing, minyak goreng mahal dan langka karena dikuasai kartel kapitalis, dan lainnya, apa sesuai dengan tabiat Pancasila?
Muncul pertanyaan, siapa sebenarnya yang anti-Pancasila? 

Kedua, BNPT menyebut penceramah radikal  biasanya mengajarkan paham takfiri atau mengafirkan pihak lain yang berbeda paham ataupun agama. Ini sungguh tidak masuk akal.

Di dalam Islam, telah disebutkan dengan jelas bahwa agama di luar Islam disebut kafir. Ada dua macam, yakni kafir harbi dan kafir dzimmi. Jika memerangi umat Islam disebut kafir harbi. Jika hidup berdampingan dengan umat Islam disebut kafir dzimmi. Penyebutannya harus jelas dan ini penting karena syariat mengatur bagaimana sikap dan tindakan kita dalam menghadapi kaum kafir.

Bagaimana dengan Ahmadiyah, apakah kita salah jika menyebutnya kafir? Faktanya, Ahmadiyah mengakui adanya Nabi setelah Muhammad Rasulullah saw. dan mengimani kitab selain Al-Qur'an. Penceramah harus berani menyebutkan Ahmadiyah itu kafir dalam rangka melindungi akidah umat Islam. Akibat negara ini sekuler, aliran sesat menjamur, dan semua agama dianggap sama benar, ini berbahaya sekali. Seharusnya negara berfungsi menjaga dan melindungi akidah rakyatnya, bukan menghancurkannya. Padahal, secara tegas dalam surat al-Kafirun, Allah menyebutnya kafir. Tampaknya, BNPT kurang piknik sehingga kebijakannya absurd alias tidak masuk akal.

Ketiga, BNPT menyebut penceramah radikal adalah mereka yang menanamkan sikap anti-pemimpin atau pemerintahan yang sah, dengan sikap membenci dan membangun ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintahan maupun negara melalui propaganda fitnah, adu domba, hate speech, dan sebaran hoaks.

BNPT kurang cerdas dalam memaknai arti agama. Agama itu nasihat, ruhnya beramar makruf nahi mungkar. Pemimpin itu manusia biasa, bukan malaikat. Artinya bisa melakukan kesalahan. Apakah rakyat tidak boleh mengingatkan penguasa yang menyimpang dari koridor konstitusi apalagi melanggar syariat Islam? Faktanya UU Omnibus Law inkonstitusional, IKN diduga melanggar konstitusi, Jaminan Hari Tua (JHT) yang menyengsarakan rakyat, dan masih banyak lagi. Mengkritik penguasa atau siapapun yang salah, itu bukti kasih sayang sesama muslim. Sesungguhnya mengingatkan atau menasehati itu bentuk ingin menyelamatkan penguasa dari kezaliman dan siksa api neraka yang pedih.
Oleh sebab itu, dakwah hukumnya wajib. Rasulullah saw. bersabda, "Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran (berkata yang baik) di hadapan penguasa yang zalim." (HR Abu Daud) 

Keempat, BNPT menyebut penceramah radikal itu memiliki sikap eksklusif terhadap lingkungannya. Mereka dinilai bersikap intoleransi terhadap perbedaan maupun keberagaman.

Dalam masalah akidah dan ibadah, umat Islam memang eksklusif. Karena dalam Islam tidak ada kebebasan, semua terikat dengan hukum syarak.

Umat Islam tidak boleh mencampuri apalagi mengganggu ibadah agama lain. Sebaliknya, agama lain juga tidak boleh ikut ibadah umat Islam. Sebab, telah dijelaskan dalam surat al-Kafirun ayat lakum dinukum waliyadin, artinya untukmu agamamu dan untukku agamaku. Apakah tidak mengucapkan selamat natal akan dituding radikal? Maklum BNPT sekuler, jadi pemikirannya absurd dan tidak berdasar.

Kelima, BNPT menyebut penceramah radikal adalah mereka yang bias berpandangan anti budaya atau kearifan lokal keagamaan.
 
Tidak semua budaya itu benar dan harus kita terima dan diikuti. Jika budaya tersebut tidak bertentangan dengan syariat Islam tidak masalah. Tetapi, jika budaya tersebut merusak akidah dan melanggar hukum syarak, umat Islam dilarang mengikuti. Contohnya, ruwatan desa, petik laut, petik Dewi Sri (panen padi), siraman manten, mengorbankan hewan untuk sesembahan, dan lainnya. Budaya seperti ini syirik, umat Islam dilarang mengikutinya.

Semua itu disebabkan karena negara ini berasaskan sekularisme, yakni memisahkan agama dari kehidupan. Agama dilarang mengatur urusan publik. Agama hanya diberikan peran dalam urusan akidah dan ibadah ritual saja. Wajar, jika penguasa tidak paham agama, begitu pun rakyatnya. Sebab, sekularisme adalah alat penjajahan ideologi kapitalisme. Dampaknya, umat Islam jauh dari agamanya. Tidak paham agama hingga tidak mengenal khilafah itu sistem pemerintahan Islam warisan Rasulullah saw. Bahkan, umat Islam takut dengan agamanya sendiri (islamofobia).

BNPT belum lama ini meminta maaf pada publik atas tudingannya pada 198 pesantren yang terafiliasi dengan terorisme, sehingga menimbulkan kegaduhan dan ketakutan di masyarakat. Kini, kembali mengulang membuat polemik dengan pernyataannya lima ciri penceramah radikal yang absurd. Ini berbahaya, dapat mengadu domba umat Islam di akar rumput karena saling mencurigai dan menimbulkan ketakutan. Oleh sebab itu, BNPT harus mencabut pernyataan tersebut. 

Sejatinya pernyataan rezim Jokowi yang gemar memberi label dan stigma radikal dan hoaks adalah cara untuk membungkam orang-orang yang kritis terhadap pemerintah. Ini membuktikan rezim fobia terhadap Islam. Rezim Jokowi juga takut kehilangan kekuasaannya dan takut akan kebangkitan Islam. Jadi, sumber hoaks, dan pelaku teroris sejatinya pemerintah sendiri, yang selalu membuat rakyat ketakutan.

Pada intinya rezim ketakutan akan kebangkitan Islam. Ada skenario global untuk menghadang tegaknya khilafah. Mereka musuh-musuh Islam meyakini bahwa khilafah akan tegak kembali. Oleh sebab itu, melihat geliat umat Islam bangkit berusaha untuk memfitnah dan menghadang tegaknya khilafah. Ini tersurat pada pernyataan Menag Yaqut yang memfitnah khilafah menjadi bencana umat Islam. Begitu pula BNPT menstigma buruk penceramah tentang khilafah adalah radikal dan anti-Pancasila. Sungguh fitnah yang keji.

Ironisnya, penguasa sekuler berani menantang hukum Allah dengan mengingkari firman Allah dan sabda Rasulullah saw. Padahal, khilafah telah termaktub di dalam Al-Qur'an.

Allah Swt. berfirman:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sungguh Aku akan menjadikan di muka bumi Khalifah….” (QS. al-Baqarah [2]: 30).

Imam al-Qurthubi, ahli tafsir yang sangat otoritatif, menjelaskan, “Ayat ini merupakan hukum asal tentang kewajiban mengangkat khalifah.” Bahkan beliau kemudian menegaskan, “Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban (mengangkat khalifah) ini di kalangan umat dan para imam mazhab, kecuali pendapat yang diriwayatkan dari al-‘Asham (yang tuli tentang syariah)….” (Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, I/264).

Dalil Al-Qur'an lainnya di antaranya QS. an-Nisa’ (4) ayat 59; QS. al-Maidah (5) ayat 48; dll (Lihat: Syaikh ad-Dumaji, Al–Imâmah al–‘Uzhma ‘inda Ahl as–Sunnah wa al–Jamâ’ah, hlm. 49).

Adapun dalil As-Sunah,
Rasulullah saw. juga mengisyaratkan bahwa sepeninggal beliau harus ada yang memelihara agama ini dan mengurus urusan dunia. Mereka adalah para khalifah. 

Nabi saw. bersabda:
"Bani Israil dulu telah diurus oleh para nabi. Ketika seorang nabi wafat, dia akan digantikan oleh nabi yang lain. Dan sungguh tidak ada seorang nabi pun setelahku. Yang akan ada adalah para khalifah sehingga jumlah mereka banyak. (HR. Muslim)

Dalam hadis lain, Rasulullah saw. bersabda:

"Siapa saja yang mati, sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada imam/khalifah), maka ia mati jahiliah." (HR. Muslim)

Berdasarkan hadis di atas, menurut Syaikh ad-Dumaiji, mengangkat seorang imam (khalifah) hukumnya wajib (Ad-Dumaiji, Al-Imâmah al-‘Uzhma ‘inda Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, hlm. 49).

Walhasil, umat Islam tidak boleh takut mendakwahkan khilafah. Khilafah janji Allah dan bisyarah Rasulullah yang akan tegak kembali. Menegakkan khilafah hukumnya wajib. Untuk itu, kita harus tetap berani menyerukan kebenaran, beramar makruf nahi mungkar. Mewaspadai upaya penghancuran oleh musuh-musuh Islam melalui devide at impera. Dengan membentengi dan memperkokoh akidahnya, serta taat pada syariat-Nya.
Saatnya kita rapatkan barisan, bersatu saling membahu, kita perjuangkan bersama khilafah a'la minhajjin nubuwwah yang akan menyejahterakan seluruh umat manusia.

Wallahu a'lam bish-shawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post