Petisi Tolak IKN, Mampukah Menggoyang Proyek Oligharkhi?


Hingga Selasa (8/2) pukul 19.00 WIB, petisi dengan judul 'Pak Presiden, 2022-2024 Bukan Waktunya Memindahkan Ibukota Negara' tersebut telah diteken lebih dari 18 ribu orang. Petisi tersebut digalang sejumlah guru besar, beberapa ekonom senior dan purnawirawan TNI. Wakil Ketua DPR RI Sufmi DASCO Ahmad  menganggap  petisi ini sebagai tolok ukur jumlah masyarakat yang menolak pemindahan ibu kota. Pengajuan pendapat dijamin haknya di dalam konstitusi, jadi harus dihargai. (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220209060512-32-756755/pimpinan-dpr-petisi-tolak-pindah-ikn-jadi-tolak-ukur-suara-rakyat.)

 
Ketika kaum intelektual dan tokoh masyarakat bersuara, masihkah bebal penguasa?

Azyumardi Azra  mengatakan bahwa Petisi ini adalah bentuk keprihatinan atas sikap pemerintah yang mengambil keputusan di waktu yang tidak tepat. Sejumlah alasan logis dikemukakan dalam petisi ini melalui pengkajian berbagai tokoh. Harapan besarnya pemerintah tidak memaksakan rencana pemindahan ibu kota. Keputusan ini adalah keputusan yang salah.
Beberapa alasan logis yang dikemukakan antara lain : kondisi rakyat dalam keadaan sulit secara ekonomi sehingga tak ada urgensi bagi pemerintah memindahkan ibu kota negara. Terlebih, saat ini pemerintah harus fokus menangani varian baru Omicron yang membutuhkan dana besar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Selain itu, pemerintah punya utang luar negeri yang cukup besar, defisit APBN melebar di atas 3 persen, dan penerimaan negara turun.

 *Kekuatan oligharkhi mencengkeram petinggi negeri* 
Jika penguasa masih saja bebal dengan seruan dalam petisi tersebut, lantas untuk siapa keputusan itu dibuat? Petisi yang ditanda tangani delapan belas ribu rakyat, tentu belumlah mewakili suara hati rakyat sesungguhnya. Jikalau pun seluruh rakyat menolak, apakah keputusan akan ditangguhkan? Jika ditangguhkan, apakah penangguhannya juga untuk kepentingan rakyat? Ataukah penangguhannya hanya untuk pencitraan rezim? Pertanyaan-pertanyaan ini menggelayut dalam pikiran saya.
 Awal tahun 2022, opini politik tentang pilpres 2024 saja sudah mewarnai berita politik negeri ini. Meski rakyat masih di kungkung pandemi dan persoalan multidimensi, para politisi negeri menampilkan drama tak elok. Sebut saja ketua pansus RUU IKN Ahmad Doli, yang membantah bahwa pembahasan RUU IKN ini tergesa-gesa. Sebaliknya pembahasan RUU IKN ini dengan konsentrasi tinggi.
Konsentrasi tinggi untuk kepentingan siapa? Hingga dalam waktu sebulan, diketokpalulah RUU ini menjadi UU. Rakyat tidak pernah menuntut, yang dituntut rakyat hanyalah terpenuhinya kebutuhan mereka, terjaminnya kesehatan, pendidikan dan keamanan mereka. Rakyat terus disuguhi opini membingungkan tentang narasi radikalisme yang ditujukan untuk mengkriminalisasi Islam. Hingga timbullah rasa saling curiga sesama anak umat Islam. 
Betulkah rakyat menuntut pemindahan ibu kota?
Di saat rakyat menderita akibat mencekiknya harga minyak, dan beberapa komoditi sembako. Di saat problem sosial dan problem ekonomi  menjadi akibat pandemi.
Betulkah rakyat menuntut demikian? Jika betul rakyat yang mana?
Maka perlu ditelisik kembali pernyataan Ahmad Doli, bahwa UU IKN dipercepat untuk memenuhi tuntutan investor. 
Jadi inikah alasannya? Investasi, investor di balik oligharkhi, merongrong kekuasan demi meraih keuntungan materi.

 *Pemimpin adalah pengatur urusan umat, bukan budak oligharkhi* 
Negeri ini mayoritas muslim, berharap sekali dipimpin oleh pemimpin dan sistem kepemimpinan yang Islami. Sehingga ketaatan terhadap ajaran agama akan terwujud sesuai harapan dalam sila pertama Pancasila. Meski negeri ini beragam keyakinan, maka Islam sangat percaya diri mampu m ngatur semuanya. Mengapa? Karena Islam adalah agama yang mengatur kehidupan, bukan hanya agama ritual, mengatur urusan manusia dengan Pencipta, tapi mengatur semua elemen dalam kehidupan. 

Sehingga wajar, ketika Allah menjadikan manusia sebagai Khalifah di dunia, yakni sebagai pengelola dunia, biar dunia memberi maslahat bukan mudharat. Lantas sistem apa yang dipakai untuk mengatur? Tentu sistem yang sudah teruji berabad-abad. Itulah sistem khilafah.bukan sistem yang lain. Sistem Islam akan memudahkan pemimpin mengatur masyarakat yg beragam. Bukanlah semakin terpecah belah bangsa ini ketika Islam ditegakkan. Namun bangsa ini akan menjadi bangsa besar, beradab, dan disegani.
Jika petisi hanya sekedar petisi tanpa solusi mendasar, maka bukan tidak mungkin petisi ini hanya sekedar pencitraan, tak mampu menggoyang proyek oligharkhi. 
Maka petisi harus sarat solusi atas problem multidimensi. Petisi harus  lahir dari pemikiran mendasar, mengajak pada perubahan mendasar, membangun nyali demi visi masa depan. Bukan hanya masa depan dunia tapi menembus masa depan akhirat.

Post a Comment

Previous Post Next Post