Sistem Islam : Pelindung Terbaik terhadap Anak*


Oleh : Srihartati Hasir
 (The Voice of Muslimah Papua Barat)

Masyarakat belakangan ini dikejutkan dengan kasus pelecehan seksual terhadap santri oleh pengasuh hingga pemilik pondok pesantren yang terjadi diberbagai wilayah yang mengorbankan anak di bawah umur dan beberapa korban sampai hamil dan melahirkan anak. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mengungkapkan bahwa angka kekerasan pada anak disebut meningkat dalam rentang waktu 2019-2021. Jenis kekerasan seksual dan eksploitasi pada anak terlihat mengalami peningkatan di masa pandemi Covid-19.

Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Nahar menyebut selama pandemi, sistem informasi online (Simfoni) perlindungan perempuan dan anak mencatat ada lebih dari enam ribu laporan bentuk kekerasan terhadap anak. (http://cnnindonesia.com, 02/11/2021).

Menurut data KemenPPPA, jumlah kekerasan terhadap anak pada 2019 sebanyak 11.057 kasus terdiri dari kekerasan fisik 3.401 kasus, kekerasan psikis 2.527 kasus, seksual 6.454, eksploitasi 106 kasus, tindak pidana perdagangan orang (TPPO) 111 kasus, penelantaran 850 kasus, dan kasus kekerasan lainnya 1.065 kasus.

Kemudian pada 2020, jumlah kekerasan terhadap anak meningkat menjadi 11.278 kasus, di antaranya kekerasan fisik 2.900 kasus, psikis 2.737 kasus, kekerasan seksual 6.980 kasus, eksploitasi 133 kasus, TPPO 213 kasus, penelantaran 864 kasus, dan kasus kekerasan lainnya sebanyak 1.121.

Terbaru pada 2021 data Januari-September, jumlah kekerasan pada anak sebanyak 9.428 kasus. Terdiri dari kekerasan fisik 2.274 kasus, psikis 2.332, seksual 5.628 kasus, eksploitasi anak 165 kasus, TPPO 256 kasus, penelantaran 652 kasus, dan kasus kekerasan lainnya sebanyak 1.270 kasus.
Menurut temuan KemenPPPA di lapangan, beberapa kasus kekerasan terjadi karena faktor kesulitan ekonomi, dan kurangnya pengawasan orang tua. "Karena beberapa kasus ditemukan ada karena kebutuhan soal ekonomi, kemudian rendahnya pengawasan orang tua, juga ada kebutuhan lain dari anak misalnya untuk kehidupannya untuk sekolah," ujar Nahar. (http://cnnindonesia.com, 02/11/2021).

Secara umum, pemicu kekerasan terhadap anak di antaranya: KDRT, disfungsi keluarga yaitu peran orangtua tidak berjalan sebagaimana seharusnya, tekanan ekonomi atau kemiskinan, salah pola asuh dan terinspirasi tayangan media. Semua itu hanyalah faktor penyebab atau lebih tepatnya merupakan faktor pemicu. Semua faktor itu merupakan akibat dari pembangunan masyarakat bercorak kapitalistik dan akibat dari penerapan sistem sekular kapitalisme liberal di segala sisi kehidupan.

*Sistem Kapitalisme Gagal Melindungi Anak*
Makin banyak kasus kekerasan terhadap anak menguatkan bukti bahwa sistem dan negara gagal melindungi anak. Kegagalan itu karena upaya yang dilakukan tidak pernah menyentuh faktor penyebab apalagi akar masalahnya. Negara juga telah dilucuti fungsinya sekadar sebagai pembuat regulasi (aturan) dan bukan sebagai penanggung jawab dalam perlindungan warganya, terutama anak-anak. Negara pun banyak melempar tanggung jawab penyelesaian pada peran keluarga dan keterlibatan masyarakat.

Berbagai kebijakan pemerintah selama ini juga gagal. Banyak kebijakan bahkan saling bertabrakan. Pemerintah mengandalkan keluarga sebagai pemeran penting dalam pendidikan dan perlindungan anak. Namun, itu dinihilkan oleh kebijakan yang mengaruskan para ibu untuk memasuki dunia kerja demi kepentingan ekonomi dan mengejar eksistensi diri dengan program pemberdayaan ekonomi perempuan. Akibatnya, ibu dipisahkan dari anak. Fungsi ibu dalam mendidik anak pun tak terlaksana. Pemerintah meminta keluarga agar menjadi pembina dan penjaga moral anak. Namun, pemerintah pun memfasilitasi bisnis dan media yang menawarkan racun kepornoan. Berbagai pemicu hasrat seksual juga dibiarkan tersebar luas.

Negara memiliki program untuk membangun ketahanan keluarga. Namun, alih-alih menguatkan, pemerintah justru menguatkan ide-ide penghancuran keluarga melalui pengarusutamaan gender. Negara juga tidak memiliki kurikulum yang berorientasi menghasilkan individu calon orangtua yang mampu mendidik dan melindungi anak.

Sistem yang tidak memadai itu masih diperparah oleh pelaksanaan kebijakan yang juga banyak bermasalah. Anggota Komisi VIII DPR RI, Asli Chaidir, sebagaimana diberitakan dpr.go.id (19/02/2021), menyebut banyak kendala baik pada tataran implementasi (pelaksanaan) maupun penganggaran. Banyak program pemerintah yang dinilai tak tepat dalam mengatasi persoalan anak. Pada tataran pelaksanaan, banyak aturan dan kebijakan yang belum dijalankan dengan baik. Padahal aturan dan kebijakan itu banyak yang diarahkan pada upaya perlindungan anak-anak.

*Sistem Islam : Pelindung Terbaik*
Semua masalah terkait anak itu berakar pada sistem sekular kapitalis liberal yang diterapkan di berbagai lini kehidupan saat ini. Selama sistem sekular kapitalis liberal itu terus dipertahankan maka perlindungan terhadap anak akan terus menjadi problem.
Perlindungan anak hanya bisa diwujudkan dengan menerapkan sistem Islam. sistem Islam akan mampu mewujudkan perlindungan terhadap anak dengan tiga pilar: ketakwaan individu, kontrol masyarakat serta penerapan sistem dan hukum Islam oleh negara.
Islam mewajibkan Negara untuk terus membina ketakwaan individu rakyatnya. Negara menanamkan ketakwaan individu melalui kurikulum pendidikan, seluruh perangkat yang dimiliki dan sistem pendidikan baik formal maupun informal. Negara menjaga suasana ketakwaan di masyarakat antara lain dengan melarang bisnis dan media yang tak berguna dan berbahaya, semisal menampilkan kekerasan dan kepornoan.

Individu rakyat yang bertakwa tidak akan melakukan kekerasan terhadap anak. Masyarakat bertakwa juga akan selalu mengontrol agar individu masyarakat tidak melakukan pelanggaran terhadap hak anak. Masyarakat juga akan mengontrol negara atas berbagai kebijakan negara dan pelaksanaan hukum-hukum Islam.

Negara menerapkan sistem dan hukum Islam secara menyeluruh. sistem ekonomi Islam yang diterapkan negara akan mendistribusikan kekayaan secara berkeadilan dan merealisasi kesejahteraan. Kekayaan alam dan harta milik umum dikuasai dan dikelola langsung oleh negara. Seluruh hasilnya dikembalikan kepada rakyat baik langsung maupun dalam bentuk berbagai pelayanan.

Dengan menerapkan sistem ekonomi Islam, Negara akan mampu menjamin pemenuhan kebutuhan pokok tiap individu (pangan, sandang dan papan); juga akan mampu menjamin pemenuhan kebutuhan dasar akan kesehatan, pendidikan dan keamanan. Dengan begitu tekanan ekonomi sebagai salah satu faktor pemicu besar munculnya pelanggaran terhadap hak anak bisa dicegah sedari awal. Kaum ibu juga tidak akan dipisahkan dari anak-anak mereka. Kaum ibu bisa melaksanakan fungsinya sepenuhnya dalam merawat dan mendidik anak-anak mereka.

Penerapan sistem Islam akan meminimalkan faktor-faktor yang bisa memicu kasus pelanggaran dan kekerasan terhadap anak. Namun, jika masih ada yang melakukan itu, maka sistem ‘uqûbat (sanksi hukum) Islam akan menjadi benteng yang bisa melindungi masyarakat. Caranya adalah dengan pemberian sanksi hukum yang berat, yang bisa memberikan efek jera bagi pelaku kriminal dan mencegah orang lain melakukan kejahatan serupa.

Pelaku kekerasan yang menyebabkan kematian anak, tanpa kekerasan seksual, akan dijatuhi hukuman qishâsh. Pelaku pedofilia dalam bentuk sodomi, meski korban tidak sampai meninggal, akan dijatuhi hukuman mati. Rasul saw bersabda:
« مَنْ وَجَدْتُمُوهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ فَاقْتُلُوا الْفَاعِلَ وَالْمَفْعُولَ بِهِ »
Siapa saja yang kalian temukan melakukan perbuatan kaum Luth (homoseksual) maka bunuhlah pelaku (yang menyodomi) dan pasangannya (yang disodomi).” (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibn Majah, Ahmad, al-Hakim dan al-Baihaqi).

Tentu anak sebagai korban tidak akan dikenai sanksi itu. Sebaliknya, ia akan dijaga kehormatan dan martabatnya. Jika kekerasan seksual terhadap anak itu dalam bentuk perkosaan, maka pelakunya, jika muhshân, akan dirajam hingga mati; sedangkan jika ghayr muhshân, akan dicambuk seratus kali. Jika pelecehan seksual tidak sampai tingkat itu maka pelakunya akan dijatuhi sanksi ta’zîr, yang bentuk dan kadar sanksinya diserahkan kepada ijtihad khalifah dan qâdhi (hakim). Pelaksanaan semua sanksi itu dilakukan secara terbuka, dilihat oleh masyarakat dan segera dilaksanakan tanpa penundaan lama. Dengan itu pelaku kekerasan terhadap anak tidak akan bisa mengulangi tindakannya. Anggota masyarakat lainnya juga tercegah dari melakukan tindakan kejahatan serupa. Wallahu ‘Alam

Post a Comment

Previous Post Next Post