Mafia Tanah Menggurita Bukti Bobroknya Birokrasi dan Penyelenggara Negara


Oleh: Ummu Asma (Pengamat Sosial)


Praktik mafia tanah semakin terasa lumrah di negeri ini. Jaksa agung ST Burhanudin menyatakan mafia tanah ini tidak terlihat, tetapi praktiknya sungguh terasa. (liputan6.com, 11 november 2021)

Praktik Mafia tanah dilakukan dua orang atau lebih yang bekerja sama untuk merebut tanah milik orang lain. Menurut jampidum kejaksaan agung fadil jumhana mafia tanah kerap merekayasa seolah-olah ada sengketa tanah yang harus diselesaikan lewat pengadilan, sebagaimana yang terjadi pada tanah milik TNI AL seluas 32 hektar di kelapa gading. Tanah TNI AL di Kelapa  Gading mulai diklaim oleh berbagai pihak sejak tahun 1996. Tanah TNI AL kemudian digugat oleh tujuh pihak, semua kalah, tetapi tinggal 1 yaitu soemardjo. Beliau menambahkan, "Dulu Soemardjo ini kalah, tapi pas perjalanan waktu, tahu-tahunya ia bisa menang". (viva.co.id, kamis 21 november 2021).


Menurut Sekretaris Jendral Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika yang menyebabkan mafia tanah tetap bertahan, Pertama, tidak ada transparansi terkait administrasi dan tertutupnya informasi tentang pertanahan. Akibatnya mafia tanah bisa bekerja dengan leluasa karena sulitnya pembuktian karena minimnya data terkait pertanahan.


Kedua, adanya keterlibatan orang dalam ATR/BPN yang menyebabkan banyaknya beredar sertifikat ganda di masyarakat. Hal senada diungkap oleh Anggota Komisi II DPR dan Anggota Panja Mafia Tanah, Guspardi Gaus menyatakan praktik mafia tanah tidak mungkin tidak melibatkan orang dalam (Kementerian ATR/BPN). Karena itu Panja Mafia Tanah akan fokus membasmi mafia tanah serta mendorong Kementerian ATR/BPN melakukan pembersihan pegawai yang menjadi mafia tanah di kementerian terkait. Kalau ada indikasi praktik mafia tanah, maka harus diproses sesuai dengan peraturan dan ketentuan yang berlaku.


Fokus pertanyaan selanjutnya, mungkinkah transparansi data tanah maupun perbaikan akhlak individu pegawai pemerintah bisa dilaksanakan dengan mengakarnya sistem kapitalis saat ini? Tentu tidak, karena permasalahan mafia tanah ini telah menggurita dan bersifat sistemik. Sehingga penyelesaian harus menyeluruh dan revolusioner. Terutama terkait bagaimana penetapan hak atas tanah, menetapkan system administrasi yg mapan dan menciptakan masyarakat Islam yg melahirkan individu warga hingga pejabat negara yg Amanah.


Syariah Islam telah mengatur persoalan kepemilikan tanah secara rinci, berdasarkan dua aspek, yaitu pertama zat tanah (raqabah al-ardh), dan kedua manfaat tanah (manfaah al-ardh), yakni penggunaan tanah untuk pertanian dan sebagainya.


Selain itu Syariah Islam mengelompokkan tanah menjadi dua macam tanah yaitu, pertama tanah usyriah (al-ardhu al-‘usyriyah), dan kedua tanah kharajiyah (al-ardhu al-kharajiyah). (Al-Nabhani, Al-Syakhshiyah Al-Islamiyah, Juz II hal. 237).


Tanah Usyriah merupakan tanah yang penduduknya masuk Islam secara damai tanpa peperangan, misalnya Madinah Munawwarah dan Indonesia. tanah usyriyah dapat dimiliki individu, baik zatnya (raqabah), maupun pemanfaatannya (manfaah). Maka individu boleh memperjualbelikan, menggadaikan, menghibahkan, mewariskan, dan sebagainya.


Sedangkan tanah Kharajiyah merupakan tanah yang dikuasai kaum muslimin melalui peperangan (al-harb), contohnya tanah Irak, Syam, dan Mesir kecuali Jazirah Arab, atau tanah yang dikuasai melalui perdamaian (al-shulhu), contohnya tanah Bahrain dan Khurasan. (Al-Nabhani, ibid., Juz II hal. 248).


Maka, zatnya tanah kharajiyah adalah milik seluruh kaum muslimin, negara melalui Baitul Mal bertindak mewakili kaum muslimin dalam mengelolanya. Karena zatnya adalah milik negara, maka tanah kharajiyah zatnya bukan milik individu seperti tanah usyriyah. Namun manfaatnya saja milik individu. Meskipun demikian tanah kharajiyah dapat diperjualbelikan, dihibahkan, dan diwariskan, tetapi tanah kharajiyah tidak boleh diwakafkan, sebab zatnya milik negara. Sedang tanah usyriyah boleh diwakafkan sebab zatnya milik individu. (Al- Nabhani, Muqaddimah Ad-Dustur, hal. 303)


Adapun dari sudut kepemilikan, maka ada kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Pemilikan umum tidak boleh dimiliki oleh seorang pun baik individu maupun kelompok karena benda- benda tersebut menjadi milik umum negara hanya mengelolanya saja. Seperti laut, gunung, sungai, hutan belantara, lapangan, mata air, barang tambang yang jumlahnya sangat banyak, masjid, padang gembala, semua itu tidak boleh dimiliki oleh individu atau perorangan.


Adapun kepemilikan negara adalah sesuatu yang juga termasuk ke dalam milik perorangan seperti tanah, bangunan dan barang- barang yang dapat dipindahkan. Jadi khalifah dapat menjadikan tanah atau bangunan yang termasuk milik negara, dimiliki oleh orang-orang tertentu, baik bendanya maupun manfaatnya, atau manfaatnya saja tanpa memiliki bendanya demi kebaikan dan kemaslahatan umat.


Cara-Cara Memperoleh kepemilikan Tanah

Menurut Abdurrahman Al-Maliki, tanah dapat dimiliki dengan enam cara menurut hukum Islam, yaitu melalui : (1) jual beli, (2) waris, (3) hibah (hadiah) (4) ihya`ul mawat (menghidupkan tanah mati), (5) tahjir (membuat batas pada tanah mati), (6) iqtha` (pemberian negara kepada rakyat). (Al-Maliki, As-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mustla, hal. 51).

Sebagaimana Sabda Nabi SAW, ”Barangsiapa yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR Bukhari) (Al-Nabhani, An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, hal. 79).


Tahjir artinya membuat batas pada suatu tanah. Nabi SAW bersabda, ”Barangsiapa membuat suatu batas pada suatu tanah (mati), maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR Ahmad).


Sedang iqtha`, artinya pemberian tanah milik negara kepada rakyat. Sebagaimana di masa Rosulullah dan khulafaurrasyidin, yang membagi-bagikan tanah kepada masyarakat yang berjasa kepada islam dan kaum muslim atau yang memiliki keutamaan seperti muallaf. Pembagian tanah dilakukan atas tanah yang memang dimiliki atau berada di tangan negara. Nabi SAW pada saat tiba di kota Madinah, pernah memberikan tanah kepada Abu Bakar As-Shiddiq dan Umar bin Khaththab. Nabi SAW juga pernah memberikan tanah yang luas kepada Zubair bin Awwam. (Al-Nabhani, ibid., hal. 119).


Pengelolaan harta milik negara bukan berarti negara bertindak seperti pedagang, produsen atau pengusaha sebagaimana dalam sistem kapitalis, dalam islam negara tetap sebagai pengatur, sehingga aspek yang ditonjolkan adalah pengaturan bukan mencari keuntungan. Hal ini terlihat pada sistem administrasi yang sederhana, bebas biaya atau biayanya kecil, dan tidak berbelit-belit.


Selain itu negara mendorong masyarakat untuk tidak melalaikan tanah yang dimilikinya lebih dari tiga tahun, karena jika hal itu terjadi maka negara dengan tegas akan mengambil kembali tanah tersebut. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh khalifah Umar bin Khaththab pernah berkata,”Orang yang membuat batas pada tanah (muhtajir) tak berhak lagi atas tanah itu setelah tiga tahun ditelantarkan.” Umar pun melaksanakan ketentuan ini dengan menarik tanah pertanian milik Bilal bin Al-Harits Al-Muzni yang ditelantarkan selama tiga tahun berturut turut. Para sahabat menyetujuinya sehingga menjadi Ijma’ Sahabat (kesepakatan para sahabat Nabi SAW) dalam masalah ini. (Al-Nabhani, ibid., Juz II hal. 241).


Syariah islam juga mendorong pemilik tanah untuk mengolah tanah menjadi produktif, sebagaimana khalifah umar membantu penduduk irak menyediakan sarana pertanian. Jika pemilik tanah itu tidak mampu mengolahnya, dianjurkan untuk diberikan kepada orang lain tanpa kompensasi. Nabi SAW bersabda, ”Barangsiapa mempunyai tanah (pertanian), hendaklah ia mengolahnya, atau memberikan kepada saudaranya.” (HR Bukhari).


Islam juga melarang untuk mengambil tanah orang lain tanpa alasan yang dibenarkan oleh syara' sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa’salam, “Barangsiapa yang merampas sejengkal tanah (milik orang lain) secara zhalim, Maka Allah akan memikulkannya di atas pundaknya tujuh lapis tanah pada hari kiamat nanti"


Hal ini menunjukkan betapa Allah sangat adil. Orang yang mengubah dan memindahkan batas-batas tanah saja mendapat ancaman sekeras itu. Apalagi dengan orang yang mengambil paksa atau merampas semua tanah orang lain?


Karena itu islam sangat keras menentang aktivitas adanya mafia tanah, karena negara benar-benar hadir sebagai pengatur (peri'ayah) bukan sebagai pemilik tanah yang menjual kepada rakyatnya, sebagaimana yang terjadi saat ini. Dan ini hanya bisa terwujud dengan diterapkannya islam secara kaffah dalam naungan khilafah.

Wallahu'alam bi showab. 

Post a Comment

Previous Post Next Post